Monday, December 01, 2008

Media Gosip: 'secuil' Fakta berbumbu Isapan Jempol & Fitnah

Entah sudah beberapa tahun di Indonesia, kita memperhatikan fenomena dan sepak terjang dunia pergosipan (baca: infotainment). Saya masih ingat suatu waktu ketika keluarga saya sendiri seringkali menikmati tayangan kehidupan figur publik tanah air, setiap hari. Saya sendiri sejak dahulu tidak terlalu menikmatinya, karena menurut saya buat apa mengintip urusan pribadi orang lain. Begitu banyak urusan sendiri yang masih perlu perhatian. Namun karena tinggal di satu rumah, saya akhirnya memutuskan untuk latihan bertoleransi terhadap kebiasaan keluarga tersebut.

Saya tidak pernah menyangka bahwa observasi saya pada saat itu, ternyata berkembang menjadi suatu pengalaman, bahkan pelajaran, yang cukup mendalam. Pengalaman selama beberapa bulan terakhir ini dipicu oleh perubahan baru dalam kehidupan pribadi saya. Rasa pahit, sedih, bercampur marah tidak jarang menghampiri. Memang benar kata orang bijak, kita belajar bukan dari pengalaman yang manis, namun justru yang berat dan pahit.

Jarak dan Keterlibatan Mempengaruhi Strategi

Dahulu, mudah sekali saya menyimpulkan dalam hati ketika teman-teman figur publik menyampaikan uneg-unegnya diburu pers. Dalam benak saya berkata “ah, itu kan resikomu menjalani peran sebagai figur publik, mau tidak mau harus belajar menerimanya kan?” Hidup memang lucu, ketika kita mengamati suatu pengalaman dari jarak tertentu, dengan kadar keterlibatan tertentu, maka rasa, pengalaman dan kesimpulan yang kita petik bisa jauh berbeda begitu jarak dan keterlibatan kita mengental. Itupun terjadi pada saya, sekarang saya belajar memelihara kewarasan dengan kadar keterlibatan yang baru.

Menurut pengamatan saya, yang juga diperkuat dengan saran berbagai pihak, untuk menghadapi buruan serigala pelaku infotainment, strategi yang paling jitu adalah “cuekin aja”, atau “no comment”, atau “diam itu emas”. Boleh dibilang sebagian besar figur publik menggunakan strategi ini sebagai “agama”-nya.

Entah apa alasannya, saya merasa cuek itu berbahaya. Memang kita jadi lebih terlihat dari luar seperti tenang, seperti tak terpengaruh, dan seperti kuat. Namun ketika rasa tidak nyaman tersebut terus menerus diacuhkan, dia mulai menyelinap ke bawah sadar, dan mulai menggerogoti ketenangan sejati, bahkan kesehatan fisik dan mental.

Diam itu emas pun, bilamana tidak ditakar dengan bijaksana, seringkali bagaikan menumpuk bom waktu. Saya sudah beberapa kali mengalami ini. Justru ketika saya mengizinkan diri untuk berbicara, tanpa diikuti harapan untuk mengubah orang lain, hanya sekadar mengkomunikasikan isi hati, di saat itulah saya berhasil memulihkan ketenangan dan kedamaian.

Dalam ilmu terapi, kita bisa lega ketika berkesempatan mengekspresikan diri secara jujur, apakah itu melalui menulis, berbicara, melukis, menari, bernyanyi, dll. Selama ekspresi tersebut tidak diikuti harapan hati untuk mengubah pendapat dan sikap orang lain, dia tidak akan menumpuk lebih banyak stres, justru mencairkan beban yang sudah ada.

Agaknya inilah satu-satunya alasan mengapa saya menulis, terkadang tentang kehidupan pribadi saya, karena bagi saya, menulis adalah terapi untuk diri sendiri. Ketika jarak dan keterlibatan narasumber dengan pelaku infotainment sudah sedemikian dekat, maka strategi cuek dan diam sudah kehilangan efektivitasnya bagi saya.

Berita infotainment: lebih banyak fakta atau fiksi?

Kalau dari kata ‘gosip’, sebenarnya kita semua tahu bahwa gosip tidaklah selalu faktual, namun saya sering mendapati bahwa tanpa sadar, saat kita duduk depan televisi yang menyiarkan acara gosip, atau membaca tabloid gosip, sulit sekali untuk tidak berpendapat tentang liputan tersebut, atau bisa menikmatinya dari posisi yang netral. Bahkan tidak mudah juga untuk menerimanya sebagai gosip (baca: belum tentu fakta).

Saya ingin berbagi pengalaman pribadi tentang proses peliputan berita gosip yang saya alami. Tentunya belum tentu setiap figur publik mengalami persis sama dengan yang saya alami. Sebelum pengalaman ini, saya pun sudah cukup sering menghadapi media cetak maupun televisi (yang bukan media gosip) untuk keperluan liputan seputar kesehatan holistik.

Dari pengalaman media umum (bukan media gosip), tidak jarang ada pemberitaan yang melenceng dari wawancara. Ini cukup saya bisa maklumi karena terkadang pewawancara kurang jeli atau kurang mengerti, sehingga ketika dia menuangkan tulisannya, terpaksa memang menggunakan interpretasi subjektifnya sendiri.

Namun dalam pengalaman dengan media gosip, sungguh luar biasa derajat pemutarbalikan fakta, dan berikut ini saya ingin berbagi beberapa strategi peliputan gosip yang sudah pernah terjadi. Ini hanya sebagian contoh yang kami alami, saya hanya ingin memberikan gambaran nyata proses peliputannya saja:

1. Pemalsuan suara narasumber

Dalam suatu kesempatan, asisten Dewi Lestari ditelepon oleh salah satu infotainment yang meminta kesempatan wawancara, sekaligus klarifikasi berita pernikahan kami. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ternyata percakapan telepon tersebut direkam oleh pihak infotainment. Ini belum apa-apa, karena begitu keesokan harinya ketika rekaman percakapan tersebut ditayangkan, di akhir komentar sang asisten tersebut, ada lanjutan suara wanita lain yang mirip dengannya, memberikan komentar dan pernyataan tambahan yang tidak pernah disebutkan oleh sang asisten, dan dibuat seolah-olah menjadi satu komentar utuh dari pihak yang sama.

2. Pelencengan drama melalui narator

Pernahkah Anda memperhatikan suara narator dalam liputan infotainment, dengan intonasi dramatis? Itu juga salah satu alat pembentukan opini dalam liputan infotainment. Ketika sudah diselipkan di antara komentar langsung dari narasumber, maka pemirsa sulit membedakan lagi yang mana fakta, dan yang mana fiksi.

3. Fitnah yang sengaja, maupun (barangkali) tidak disengaja

Baru-baru ini, ada sebuah insiden antara saya dengan peliput gambar infotainment. Saat shooting acara televisi di panggung, saya berbicara baik-baik untuk meminta agar pengambilan gambar tidak dilakukan dengan jarak sangat dekat. Awalnya, kedua peliput gambar dari Indigo Production tersebut mau mengerti, dan kemudian meliput dari jarak yang lebih renggang, sehingga kami lebih nyaman dalam melaksanakan pekerjaan kami. Ini sangat saya hargai.

Namun ketika saya dan Dewi berjalan dari panggung menuju ruang rias, dan kemudian menuju mobil, kamera tersebut terus mengikuti kami dengan jarak sangat dekat, sekitar 30-50 cm dari tubuh kami, dan saya hanya bicara berulang kali agar peliputan gambar sudah cukup. Si peliput gambar hanya sekadar mengiyakan di mulut, tanpa mematikan kamera atau mengambil jarak yang lebih santun. Akhirnya saya memegang lensa kamera dengan permintaan yang sama, sambil memasuki mobil. Tiba-tiba si peliput gambar justru marah, memaki-maki kasar, bahkan memukul mobil saya dengan peralatannya.

Begitu keluar di liputan gosip online 'artistainment.wordpress.com', justru saya yang dinyatakan marah tanpa sebab yang jelas, dan bahkan dicurigai bahwa sayalah yang menghantamkan peralatan kamera ke mobil saya sendiri. Ini tidak mungkin terjadi karena waktu saya mendengar bunyi peralatan bertumbukan dengan mobil, kami semua sudah berada dalam mobil dengan pintu dan jendela tertutup. Saya punya minimal 3 saksi langsung dalam insiden ini. Entah karena dendam atau alasan apa, berita yang keluar justru sangat jauh dari kronologisnya.

4. Wawancara imajiner

Dalam tabloid C&R, pernah sekali Dewi Lestari muncul dalam sebuah artikel yang dikemas dalam bentuk wawancara langsung tentang kedekatan Dewi dengan saya. Ini sudah dibahas sebelumnya dalam posting Dewi di dee-idea.blogspot.com. Wawancara tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Tidak pernah ada kontak bicara, email atau telpon dengan sang wartawan. Bahkan beberapa waktu kemudian, kami mendapat input dari salah seorang mantan peliput infotainment, bahwa memang ada teknik ‘wawancara imajiner’, yang dihalalkan (baca: dianggap lazim dan boleh) dalam dunia peliputan gosip, karena teknik ini meningkatkan nilai berita yang disajikan.

5. Bongkar pasang komentar narasumber dan mengubah judul liputannya.

Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota keluarga Marcell diwawancara infotainment dengan pertanyaan apakah dirinya kecewa dengan perceraian Dewi-Marcell, dan dengan tenang dia menjawab di depan kamera bahwa dalam setiap perpisahan tentu ada kekecewaan, namun agaknya kedua pihak sudah memutuskan bahwa itulah yang terbaik, jadi pihak keluarga tentunya juga tidak menghalangi bilamana itulah jalan yang membuat kedua pihak bahagia.

Tetapi dalam liputan infotainment, keluarlah teks “Keluarga Marcell kecewa dengan keputusan Dewi”, didukung narator yang mengatakan bahwa pihak keluarga Marcell kecewa karena Dewi memutuskan untuk menikah dengan saya, bukannya kecewa karena keputusan Marcell dan Dewi untuk berpisah, sebagaimana liputan wawancara yang sebenarnya.

Jadi dalam hasil bongkar pasang tersebut, muncullah kesan adanya kekecewaan keluarga Marcell atas pernikahan kami, bukan atas perceraian sebelumnya. Bongkar pasang komentar dan narasi seperti ini, mungkin juga lazim dan lumrah.

6. Salah menangkap fakta

Kalau kategori terakhir ini, terus terang lebih banyak mengundang gelak tawa dan senyum bagi kami yang diliput. Meskipun saya akui, mungkin saja ini lebih banyak tidak disengaja. Di tengah keterbatasan informasi, keluarlah berbagai liputan maha meleset seperti:

“Marcell dan Dewi tukar pasangan, karena Reza Gunawan dan Rima Adams dulu adalah pasangan suami istri.”

Fakta: Reza dan Rima baru kenal beberapa bulan yang lalu, ketika Marcell memperkenalkan Rima sebagai kekasihnya. Rima memang sudah pernah menikah, dan kemudian bercerai dengan mantan suaminya yang tinggal di luar negeri. Tetapi mantan suami tersebut bukanlah Reza.

“Ketika Reza sudah mengakui hubungan cintanya dengan Dewi Lestari, justru Dewi MENYANGKAL dengan pernyataan blognya ‘There’s nothing unspecial between me and Reza’ yang artinya tidak ada yang istimewa dengan hubungan saya dan Reza”

Fakta: salah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Nothing unspecial” artinya tidak ada yang tidak istimewa. Ini cukup membuat kami terpingkal-pingkal karena liputannya menggunakan narator dramatis yang membacakan skrip salah terjemahan tersebut. Ini membuat Dewi dituduh menyangkal, bahkan dicap munafik. Bagi kami, rasanya seperti ada lomba adu bodoh antar infotainment, dan mereka saling mengungguli satu sama lain, sehingga kami sulit menentukan “siapa yang jadi juaranyaaa…”

“Balada wanita paruh baya berusia hampir 50 tahun”

Oh, ada satu lagi. Dulu sekali, Rima sempat diliput sebagai wanita paruh baya yang ada di dalam mobil Marcell. Dengan bermodal niat baik, dalam blognya, Dewi berusaha menjelaskan bahwa Dewi kenal langsung dengan Rima yang begitu baik dan ramah, dan juga Rima itu “nowhere near half century old”. Begitu keluar di salah satu media online, tulisannya menjadi “Kabarnya Rima ini sudah berusia hampir 50 tahun / setengah abad”. Saya langsung menyerah dan angkat tangan.

“Nama anak kami sering sekali salah liput”

Entah mengapa di berbagai media keluar nama “Keenan Sidharta, 3 tahun”, padahal nama aslinya “Keenan Avalokita Kirana” dan dia sudah berusia 4 tahun lebih.

“Seringnya komentar yang tertukar dan/atau ditambah”

Sewaktu saya dan Dewi diwawancari di Blitz Megaplex, dan kami membaca liputan tertulisnya di beberapa media, banyak sekali komentar yang tertukar. Pernyataan yang saya buat, justru diliput seolah Dewi yang berbicara dan juga sebaliknya. Bukankah kalau memang wawancara tersebut direkam gambar dan/atau suaranya, peliput bisa membedakan siapakah yang sedang membuat pernyataan? Bahkan banyak juga pernyataan yang tidak pernah kami sampaikan, tetapi diliput seolah kami mengatakan hal-hal yang sebenarnya isapan jempol sang peliput.

Pernyataan Terpenting yang Perlu Perenungan

Saya belajar untuk realistis. Di tengah praktek pelaku liputan gosip yang seringkali menjengkelkan karena melanggar etika dan privasi, saya tidak menuntut atau meminta mereka berhenti, atau menjadi lebih etis dan cerdas. Itu cukup menjadi doa dalam hati saya saja.

Fokus yang terpenting saat ini adalah bukan pada para peliput gosip, namun pada saya dan Anda sebagai publik. Ketika kita terekspos dengan informasi gosip terkini setiap hari, tentunya merupakan pilihan bebas kita masing-masing untuk mengonsumsinya (baca: lihat, baca dan dengar) atau tidak.

Namun pertanyaan maha pentingnya adalah, setelah kita tahu bagaimana proses peliputan di balik produk berita-jadi-siap-saji tersebut, apakah kita masih bisa berasumsi bahwa apa yang kita tangkap dari media gosip, merupakan fakta, atau minimal lebih banyak faktanya?

Dan lebih lanjut lagi, kalau kita bisa melihat bahwa kadar fakta dalam liputan gosip seringkali sangatlah sedikit, masihkah kita bisa mempertahankan bahkan menganggap benar pendapat, reaksi, dukungan, cibiran, pujian, hinaan, dan sederet penilaian kita yang didasari oleh berita-minim-fakta tersebut?

Hanya diri kita yang bisa menjawabnya dengan hati yang jujur.

Yang saya tahu pasti, sebagai pihak yang terlibat langsung dengan jarak dekat, sekarang saya menyadari bahwa kesehatan mental saya sendiri, berbanding terbalik dengan konsumsi infotainment yang saya terima. Bahkan saya telah mencabut ulang semua penilaian dan pendapat saya terhadap setiap figur publik yang diliput infotainment, karena sejujurnya saya tidak tahu apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi secara faktual dalam hidup dan pilihan mereka.

Bagi saya, mengkonsumsi informasi gosip dengan terus membacanya, menyaksikannya, bahkan menceritakannya pada orang lain, secara tidak langsung menjadikan saya berpartisipasi aktif sebagai pelaku gosip, yang memang terkadang lebih enak daripada membicarakan kelemahan dan permasalahan diri dan keluarga kita sendiri.

Bagi saya, biarlah ukuran baik-buruk dan benar-salah dalam kehidupan mereka tidak diukur oleh kesadaran manusiawi yang tidak lepas dari keterbatasan. Bagi saya, itu urusan pribadi antara mereka dan Sang Maha. Read More ..

Thursday, September 04, 2008

Bersahabat dengan Nafsu

Siapa manusia yang tidak kenal dengan nafsu? Nafsu adalah bagian alami semua makhluk hidup. Nafsu adalah energi yang mampu menggerakkan kita dalam hidup ini. Dia sanggup mendorong sepotong buah pikiran menjadi minat, dan kemudian menghasilkan tindakan, yang akhirnya berbuah menjadi hobi, pola dan kebiasaan.

Dalam hakikatnya, nafsu adalah daya semangat yang memberikan bensin bagi perjalanan hidup dan pertumbuhan kita. Lihatlah sekitar Anda, hampir tidak ada keberhasilan atau kemajuan bisa dicapai bila tidak disemangati oleh nafsu dan keinginan.

Nafsu Sebagai Sumber Masalah

Tidak jarang juga ketika kita salah dalam mengelola energi nafsu kita sendiri, beragam masalah pun timbul, padahal sebenarnya nafsu itu bersifat alami dan netral. Contoh, nafsu makan. Ketika dikelola dengan baik, nafsu makan memberikan asupan makanan yang lezat dan gizi yang menyehatkan tubuh. Namun bila salah kelola, bisa menyebabkan adiksi makanan, kebiasaan ‘ngemil’ berlebih, bahkan penyakit akibat kelebihan gizi.

Contoh lain, nafsu birahi. Ketika disalurkan dengan baik maka nafsu ini menjadi sarana untuk memproduksi cinta, keintiman hati, dan penciptaan keturunan. Ketika birahi salah dikelola, dia bisa menjadi akar pelarian stres, pemuasan kebutuhan secara dangkal, menimbulkan kecanduan seks, atau bahkan perilaku seksual yang tidak sehat.

Belum contoh terakhir berikut, nafsu emosi. Ketika emosi dirasakan dan disalurkan dengan sehat, apa pun bentuknya, maka emosi menjadi sarana untuk mengenal diri sendiri secara cermat, menjadi jembatan komunikasi hati dalam setiap hubungan, dan juga menjadi dinamika yang membuat hidup ‘lebih hidup’. Akan tetapi, emosi yang tidak dikelola dengan baik begitu mudah menciptakan kerenggangan, pertikaian, dan stres dalam hidup kita.

Tidak terlalu meleset rasanya untuk menyimpulkan bahwa setiap masalah yang kita miliki, bisa dirunut lapis demi lapis hingga kita tiba pada satu ujung yang biasanya sama: nafsu yang salah dikelola.

Yang lebih menyulitkan lagi, lingkungan telah mengondisikan kita untuk memberikan penilaian negatif pada nafsu. Nafsu telah memperoleh cap buruk dari masyarakat, budaya dan agama. Padahal, sesuatu yang sudah bercap buruk, biasanya malah semakin sulit untuk dikelola dengan baik.

Jadikan Musuh, Atasan, atau Sahabat?

Kalau kita periksa dengan jeli, maka ada 2 pendekatan paling populer untuk menghadapi nafsu, yaitu memperlakukan nafsu bagaikan MUSUH, dan memperlakukan nafsu bagaikan ATASAN.

Ketika nafsu dijadikan MUSUH, kita cenderung ingin mengendalikannya, menaklukkannya, menekannya hingga nafsu tak punya kuasa untuk berekspresi dalam diri kita. Pendekatan ini sangat sulit karena semakin kuat kita bermusuhan, berusaha mengusir dan mengalahkan nafsu, maka semakin kuat pula nafsu berceloteh dan meronta. Di puncak adu kuat antara diri dengan nafsu ini, seringkali kita pun menyalahkan diri, atau orang lain, atau situasi, terutama saat nafsu kita ‘menang’. Inilah pendekatan yang paling umum, sekaligus juga sangat tidak natural, sehingga rentan memicu stres.

Sebaliknya, ketika nafsu dijadikan ATASAN, kita cenderung mengikuti dan mengalir dengan apa pun yang diminta oleh sang nafsu. Tentu kita semua tahu bahwa menuruti semua tuntutan nafsu tentunya akan menghasilkan problema yang lebih banyak lagi. Namun kita kadang tak punya jurus lain selain menuruti nafsu yang mungkin saja memang terlanjur kuat karena dipupuk kebiasaan.

Kalau memang demikian, adakah jalan yang bisa kita tempuh demi mengelola nafsu secara sehat dan natural? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana, yaitu belajarlah mengenal nafsu sebagai SAHABAT kita.

Ini berarti pertama-tama kita perlu melepas dahulu cap buruk dan negatif atas segala nafsu. Semua nafsu adalah alamiah dan netral nilainya. Positif atau negatif itu tergantung persepsi dan keberhasilan kita dalam mengelolanya. Bersahabat dengan nafsu berarti kita belajar untuk mengenal, merasakan, memahami dan merawatnya dengan perhatian yang jernih dan hati yang berkesadaran.

Memahami Kebutuhan Sebenarnya Di Balik Nafsu

Setelah Anda mengerti bahwa semua nafsu pada dasarnya adalah netral, cobalah belajar mengenali kembali setiap energi nafsu yang datang dan pergi dalam diri kita. Ini tentu butuh latihan yang sederhana, namun sangat mencerahkan bila dilatih dengan tekun.

Ketika muncul nafsu tertentu, apa pun bentuknya, coba rasakan, sadari dan amati. Kenali dia apa adanya, tanpa memberikan pemenuhan atas tuntutannya. Kuncinya adalah merasakan tanpa langsung memenuhinya.

Mari kita praktekkan langsung. Anda sedang merasa lapar. Remlah sedikit refleks Anda untuk mengambil makanan terdekat, tetapi rasakan dulu dan kenali benar pengalaman lapar tersebut dengan penuh perhatian.

Mungkinkah tubuh Anda sebenarnya sedang tidak butuh makanan? Barangkali Anda hanya ‘merasa’ lapar karena sedang kesal hati dan mengunyah makanan terasa pas sebagai obat kesal?

Ketika muncul nafsu birahi, berhentilah sejenak. Benarkah Anda sedang merasakan energi cinta yang ingin dipadu? Barangkali Anda sebenarnya sedang merasa stres atau tegang, dan butuh pelarian nikmat sejenak?

Suatu saat Anda ingin sekali merokok. Stop dan bernafaslah sebentar. Benarkah tubuh Anda membutuhkannya? Mungkinkah Anda sebenarnya sedang merasa jenuh atau bosan, dan merokok menjanjikan terusirnya rasa bosan tersebut?

Ketika Anda mulai kenal dengan rasanya ‘nafsu’, maka lapisan-lapisan selanjutnya di balik nafsu tersebut seringkali akan menunjukkan dirinya. Dengan kata lain, apa yang DIMINTA oleh nafsu seringkali tanpa kita sadari bukanlah hal yang sebenarnya kita BUTUHKAN.

Jika seandainya hanya atas nama refleks dan pemenuhan instan kita sekadar mengikuti permintaan nafsu, tanpa sadar dan merawat kebutuhan yang sebenarnya, tidak heran kalau kita tidak pernah bebas dari perbudakan sang nafsu. Ketika ‘kebutuhan sebenarnya’ di balik lapisan-lapisan nafsu sudah bisa kita sadari dan rawat, maka permintaan nafsu di permukaan menjadi semakin tidak relevan dan tidak merongrong lagi untuk dipenuhi.

Sekadar Memulihkan Kepekaan Alami yang Hilang

Proses menyadari lapis demi lapis, dari nafsu sepintas hingga bisa tiba pada kebutuhan diri yang sebenarnya, bukanlah suatu hal yang biasa kita lakukan. Membutuhkan latihan untuk bisa perlahan-lahan bersahabat dengan nafsu dan merawat diri kita hingga pada kebutuhan sebenarnya. Tidak perlu kecil hati, karena keterampilan untuk merasakan diri ke dalam bukanlah hal asing.

Pada saat bayi, kita semua sangat peka untuk merasakan ke dalam diri, hanya saja kebiasaan ini mulai pudar ketika kita semakin dewasa. Latihan ini tidaklah sulit sulit karena tidak ditujukan untuk memperoleh keterampilan baru, tapi sekadar untuk memulihkan kepekaan alamiah yang sempat hilang akibat proses kehidupan menjadi orang dewasa.

Selamat berlatih, selamat belajar kembali untuk bersahabat dengan nafsu yang secara alamiah dalam diri Anda. Melatih diri akan mengembalikan kepekaan jiwa dan menghidupkan kembali hati kita. Hati yang hidup adalah hati yang semakin mudah bersyukur dan merayakan hidup itu sendiri. Read More ..

Thursday, July 17, 2008

Respons Reza Gunawan tentang Perceraian Dewi & Marcell

Tulisan ini saya buat sebagai respons atas berita tentang keterlibatan saya dalam kasus perceraian kedua sahabat dekat saya, Dewi Lestari dan Marcell Siahaan. Awalnya ketika dihubungi beberapa media, saya memilih untuk bungkam karena tidak ingin mengusik ketenteraman proses mereka dengan bumbu-bumbu sensasi pemberitaan. Setelah waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini.

Setelah beberapa waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini, demi mempertahankan keaslian komentar saya tanpa menjadi komoditas infotainment yang seru bagi sebagian konsumennya, meskipun tidak selalu faktual dan cenderung menyesatkan.

Distorsi Pemberitaan di Media Gosip

Selama beberapa waktu terakhir, saya menyaksikan betapa tingginya distorsi pemberitaan yang terjadi di berbagai media tentang kasus ini.

Yang saya amati, kebenaran sesungguhnya menjadi terdistorsi karena: (1) pernyataan asli dipotong-potong dari kalimat yang utuh, menjadi berbeda artinya karena disajikan secara parsial, (2) pernyataan jujur menjadi bias karena ditambahi atau bahkan dibuat-buat media sehingga memojokkan pihak di luar proporsinya, (3) kisah yang disampaikan jujur dan benar tidak bisa dijual sehingga harus dibumbui agar menjadi berita yang fiktif dan penuh sensasi.

Dari mulai pernyataan yang tidak pernah dituturkan bisa tampil seolah-olah terjadi dialog antara narasumber, klarifikasi jujur yang tidak diterima sebagai pernyataan kebenaran, karena terkadang wartawan dan publik lebih suka mencari ‘sensasi’ ketimbang kebenaran, hingga muncul berbagai pelanggaran etika dan privasi yang menyebabkan stres yang lebih besar daripada keputusan dan proses perceraian itu sendiri bagi para pihak.

Apa yang saya tulis di blog ini bisa dipertahankan kemurniannya, karena meskipun barangkali tulisan ini akan diputarbalik lagi untuk memenuhi standar komoditas gosip, minimal publik setiap saat bisa mengakses blog ini dan melihat versi aslinya.

Bagi yang berminat pada kisah yang parsial, bias, fiktif penuh sensasi, silakan “beli” apa yang Anda cari di toko gosip langganan Anda, namun tulisan ini saya sajikan sebagai upaya untuk memberikan informasi yang lebih utuh, murni dan faktual.

Saya hanya bisa berpesan, jangan telan dan percaya bulat-bulat apa yang Anda baca, simak, tonton di media gosip. Tentunya percaya atau tidak adalah pilihan Anda, saya hanya sekadar menggarisbawahi bahwa banyak porsi pemberitaan yang disajikan bukanlah fakta apalagi kebenaran. Itulah kenyataan dunia pemberitaan figur publik, sebagai bisnis citra yang bisa laku karena menjadikan rumor sebagai komoditi, demi honor, rating dan oplah.

Komentar Saya Tentang Isu Pihak Ketiga

Dalam pertemuan pers yang dilakukan Dewi dan Marcell baru-baru ini, dari mulut mereka sendiri telah disampaikan bahwa tidak ada pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian mereka. Setelah pernyataan tersebut disampaikan, beberapa media sibuk mengutak-utik kebenaran dari pernyataan tersebut, termasuk kepada saya, yang diberitakan sebagai pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian tersebut.

Bersama ini, saya sebagai diri sendiri, maupun sebagai sahabat Dewi dan Marcell, serta sebagai pihak yang dituding, menyatakan sejauh pengetahuan saya, pernyataan Dewi dan Marcell tentang tidak adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, adalah benar. Sekali lagi, saya tegaskan bahwa rumor tentang adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, baik itu saya sendiri maupun pihak lain, adalah salah.

Saya sadar bahwa pernyataan ini bisa saja mengundang reaksi percaya maupun tidak percaya, dan rentang diantara rasa percaya dan tidak percaya ini menjadi ruang yang bisa dikomoditaskan kembali oleh ‘pedagang drama dan gosip’ di manapun mereka berada. Saya hanya bisa menyatakan kebenaran, percaya atau tidak kembali kepada pilihan masing-masing individu.

Bagi yang haus drama dan gosip, entah karena kisah ini memberikan nafkah bagi mereka yang berdagang rumor, atau karena kisah ini memberikan Anda kesempatan untuk berpaling dari kerumitan hidup Anda sendiri, silakan percaya apa yang ingin Anda yakini, silakan berikan cap yang ingin Anda sematkan. Bilamana gosip ini memberikan manfaat buat Anda, anggaplah itu kepedulian sosial saya yang merelakan diri untuk berperan menjadi objek kesimpangsiuran suasana.

Komentar Saya Tentang Perceraian

Saya sependapat dengan Dewi Lestari, sebagaimana pernyataan yang dia buat di tulisan “Catatan tentang Perpisahan” baru-baru ini dalam blog pribadinya dee-idea.blogspot.com.

Segala perpisahan, apakah itu perceraian, putus pacaran maupun kematian, pada hakikatnya yang paling sederhana, hanya bisa dicetuskan oleh penyebab yang paling mendasar: memang sudah waktunya. Ketika sudah waktunya berpisah, kita bisa meronta disertai dengan berbagai bumbu ‘gejala’, namun pertemuan dan perpisahan sebenarnya sama-sama kehendak Tuhan, sama-sama jalan takdir.

Tentang dampak negatif terhadap anak dan keutuhan jiwa para pihak, saya merasa kita perlu lebih jeli. Yang menimbulkan efek negatif bukanlah perpisahan itu sendiri, namun pertikaian dan ketidakjujuran hati dari para pihak yang terlibat.

Memang barangkali 95% perpisahan pernikahan bisa saja selalu disertai dengan pertikaian tersebut, sehingga kita lompat pada kesimpulan bahwa perceraian itu berdampak negatif, namun sesungguhnya bukan perceraian itu sendiri yang merusak jiwa, dan sepengetahuan saya, baik Dewi maupun Marcell menyadari betul hal ini.

Itu juga yang membawa saya pada poin bahwa ketika mereka bisa menjalani perpisahan ini dengan damai, tanpa bertikai dan jujur dengan hati masing-masing, memang ini sesuatu yang langka. Justru melalui kelangkaan “cerai damai” ini muncul harapan positif bahwa dalam keputusan mereka yang memilih untuk berpisah tanpa bertikai, mungkin efek negatif pada jiwa yang terlibat, termasuk Keenan, bisa diminimalkan ketimbang mempertahankan pernikahan yang dari luar terlihat manis, namun di dalamnya menyimpan pertikaian dan kepalsuan hati.

Bagi saya, bersatu dalam pernikahan tidak selamanya pasti baik, dan berpisah melalui perceraian tidak selamanya pasti buruk. Setiap pihak berhak punya pendapat sendiri tentang hal ini.

Menghargai Privasi, Pilihan dan Proses

Kepada teman-teman di media, saya meminta kerelaannya untuk menghargai privasi, pilihan dan proses yang saat ini sedang dilakoni para pihak yang terlibat. Saya bisa memahami bahwa Anda sedang menjalankan pekerjaan masing-masing dengan sebaik-baiknya, namun kami pun demikian. Pekerjaan saya sebagai terapis (praktisi penyembuhan holistik) menuntut adanya ketenangan yang setiap hari perlu kami sajikan bagi para klien kami. Mohon jangan desak saya untuk mengambil langkah lebih tegas dan akhirnya mengusik keharmonisan hubungan saya dengan pihak media selama ini.

Bersama ini saya tegaskan bahwa saya tidak bersedia untuk dihubungi, ditemui maupun diwawancara dalam format apa pun oleh media mana pun, hingga proses perpisahan kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell, selesai dengan tuntas.

Bagaimanapun juga, kita semua membuat pilihan dan keputusan berdasarkan apa yang kita yakini merupakan hal terbaik yang kita perlu tempuh.

Saya mencintai kejujuran dan keterbukaan, namun kasus ini bukanlah tentang hidup saya sendiri, namun hidup dan ketenteraman mereka. Saya hanya ingin menjaga itu agar keputusan mereka untuk berpisah, yang sebenarnya sudah merupakan pilihan besar dan proses berat, bisa dijalani dengan tenang, ikhlas dan selaras.

Semoga kebenaran sesungguhnya bisa menjadi jernih dan utuh, dan saya berdoa agar proses perpisahan mereka merupakan keputusan yang terbaik dan membawa kebahagiaan bagi para pihak yang terlibat.

UPDATE 5 SEPTEMBER 2008: CATATAN TERAKHIR

Dua hari yang lalu, 3 September 2008, proses perceraian kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell telah resmi tuntas. Begitu banyak hal yang terjadi selama beberapa minggu ini, saya hanya ingin memberikan catatan terakhir tentang masalah ini.

Saya sekadar memenuhi janji kepada beberapa pihak untuk memperjelas duduk situasi yang tidak bisa saya jelaskan sebelumnya, karena saya perlu melindungi beberapa kepentingan (seperti ketenangan klien kami di pusat terapi, kelancaran proses persidangan, maupun ketenangan hati para pihak yang terlibat langsung). Saya tidak mencari persetujuan, dukungan atau pembenaran dari siapapun, toh siapapun yang yang membaca inipun akan bisa punya pendapatnya sendiri.

1. Memang benar saya dan Dewi Lestari berada dalam sebuah hubungan cinta saat ini, namun bagi kami yang terlibat, ini bukanlah hubungan perselingkuhan (yang mana saya definisikan sebagai hubungan asmara yang terjadi antara 2 pihak, di mana salah satu atau keduanya sudah punya pasangan, dan hubungan asmara tersebut terjadi TANPA sepengetahuan atau restu dari pasangan resminya), berdasarkan kronologis faktual yang diketahui langsung oleh para pihak, sebagaimana berikut ini:

· Marcell dan Dewi memutuskan bulat untuk berpisah secara hukum di akhir 2007. Sebelumnya di akhir 2006, mereka sudah punya kesepakatan untuk mengikhlaskan satu sama lain bilamana menemukan seseorang yang dirasakan sesuai menjadi pendamping hidupnya.

· Tidak lama setelah keputusan berpisah tersebut, Marcell pun atas inisiatifnya sendiri kepada saya menyampaikan itikad baiknya untuk tetap menjalin keharmonisan antar pihak, dan juga Marcell menyampaikan kepada saya langsung keikhlasannya, dengan membuka jalan bagi saya untuk memulai hubungan lebih lanjut dengan Dewi.

· Perubahan hubungan dari sahabat dekat menjadi hubungan cinta, baru terjadi beberapa bulan setelah keputusan berpisah secara hukum tersebut, dan setelah terjadi komunikasi langsung antara Marcell dan saya sebagaimana dijelaskan diatas.

· Itulah yang membuat saya memberikan pernyataan di bulan Juli 2008, yang memuat konfirmasi saya bahwa memang tidak ada pihak ketiga yang menjadi PENYEBAB perceraian mereka. Mereka sudah memutuskan untuk bercerai, kemudian baru memutuskan untuk merestui satu sama lain dalam membina hubungan baru dengan pasangan masing-masing. Hubungan cinta antara saya dan Dewi Lestari, adalah AKIBAT dari perceraian mereka.

2. Dewi Lestari tidak pernah menjadi pasien saya di klinik penyembuhan holistik yang saya jalankan. Pengertian pasien di sini adalah individu yang memutuskan untuk mengikuti terapi individual, di mana saya selaku terapis punya kode etik pribadi dan profesional. Kode etik ini memberikan pembatasan kepada saya sebagai terapis, di mana seorang terapis tidak diperbolehkan bersosialisasi (makan siang, ngopi sore, jalan-jalan, dsb) dengan pasien, selama pasien tersebut masih menjalani terapi.

Keterlibatan Dewi dalam dunia penyembuhan holistik selama ini bukanlah sebagai pasien saya, sebagaimana yang secara meleset disebutkan di beberapa forum dan media, namun sebagai peserta pelatihan / workshop berkelompok yang kami adakan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan cinta saya dengan Dewi tidak melanggar kode etik terapis yang selama ini saya jalankan bagi setiap pasien kami.

Demikian klarifikasi final dari saya, yang sekaligus menjadi catatan terakhir tentang kehidupan pribadi saya di blog ini. Terimakasih atas semua pihak yang telah meletakkan perhatiannya pada episode ini, mari kita bersama melanjutkan hidup dengan langkah yang jernih. Read More ..

Menunggu Bimbang Berlalu

Pernahkah Anda merasa bingung, bimbang dan ragu-ragu ketika menghadapi suatu masalah? Atau memilih suatu keputusan yang penting? Atau menunggu lahirnya solusi dari problem yang rumit?

Mencintai hidup tidaklah selalu mudah, terutama ketika kita sedang terbebani oleh berbagai masalah. Waktu kita dihadapkan pada tertundanya penyelesaian suatu masalah, rasa bimbang dan ragu muncul dalam diri. Rasa ini terasa tidak nyaman untuk dipikul, sehingga kita ingin mengusirnya, menghilangkannya, mengubahnya. Dan dalam kepala kita, satu-satunya cara untuk mengakhiri rasa bimbang dan ragu itu adalah dengan menyelesaikan situasi yang sedang kita permasalahkan.

Namun dalam kenyataannya, situasi hidup yang kita hadapi, tidak selalu bisa terselesaikan tuntas dalam waktu yang singkat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi siapnya solusi dan tuntasnya situasi. Dan, faktanya, tidak semua faktor, terutama yang berhubungan dengan orang lain, bisa kita kendalikan secara absolut. Inilah yang kemudian menjadi lahan gembur untuk lahirnya stres. Kita ingin bebas dari stres dengan cara segera tuntas dari masalah, tapi masalah tak kunjung selesai karena ada hal-hal di luar kuasa kita yang belum bisa berubah sesuai harapan.

Kalau memang demikian, adakah cara lain untuk mengobati rasa bimbang dan ragu yang tidak nyaman ini? Bisakah kita memahami lebih baik tentang timbul tenggelamnya masalah dalam hidup ini, sehingga meskipun tidaklah realistis untuk hidup bebas masalah sama sekali, minimal kita bisa menjalani dan menghadapinya lebih ringan dan selaras?

Perlunya Fase Bimbang, Bingung, dan Ragu


Kalau kita memerhatikan alam dan kehidupan ini, sebenarnya ada suatu pola kekacauan yang selalu terjadi sebelum perubahan dan pertumbuhan. Dalam ilmu fisika kuantum, hal ini disebut ‘chaos principle’. Prinsip chaos bilang bahwa setiap hal perlu menjadi kacau, berantakan dan tidak beraturan, sebelum hal tersebut bisa menyusun kembali dirinya sendiri dalam tatanan yang lebih matang, lebih maju dan lebih baik.

Kita bisa mengamati prinsip chaos ini dalam setiap aspek kehidupan. Sebelum musim semi, harus ada musim gugur terlebih dahulu. Bila Anda sedang berniat membereskan rumah, pasti dalam prosesnya rumah Anda akan sejenak lebih berantakan daripada sebelum dirapihkan, sebelum akhirnya menjadi lebih rapi dan apik.

Pada kesehatan anak, dia perlu mengalami sakit dan infeksi sebelum kekebalan tubuhnya menjadi semakin kuat ketika dia pulih. Vaksinasi pun bekerja dengan cara ‘menghancurkan’ kekebalan tubuh untuk sementara, sehingga ketika tubuh memulihkan diri, lahirlah antibodi baru yang sebelumnya tidak tersedia.

Pada skala yang lebih besar, suatu negara pun membutuhkan kekacauan untuk bisa tumbuh. Ketika kekacauan muncul dalam intensitas kecil, kita sebut itu evolusi. Jika kekacauannya besar, kita sebut itu revolusi. Semua kekacauan tersebut adalah prasyarat untuk lahirnya kondisi baru, kematangan baru dan kesempatan baru.

Pada tingkat yang paling pribadi dan dekat di hati kita, cobalah lihat kembali setiap kemajuan dan pertumbuhan yang kita nikmati dalam hidup kita sendiri. Bukanlah selalu bisa kita temukan momen-momen bingung, bimbang dan ragu sebelum mengambil langkah, pilihan dan keputusan yang sekarang hasilnya kita nikmati? Dan ingatkah betapa kita kerapkali berharap bahwa hidup ini bebas dari bingung, bimbang dan ragu, tapi sungguh tidak mungkin seperti itu?

Barangkali inilah yang bisa membantu kita semua: sadarilah bahwa tahapan kita merasa bingung, bimbang dan ragu itu sangatlah PERLU. Semakin cepat kita bisa menyambut dan menerima ‘perlunya’ tahapan yang tidak nyaman ini, semakin lancar pula tuntasnya masalah.

Memperpanjang Rasa Tidak Nyaman Tidaklah Perlu

Meskipun kekacauan diperlukan, bukan berarti rasa tidak nyaman akibat kekacauan perlu ada. Dari mana sebenarnya rasa tidak nyaman ini muncul ketika situasi hidup sedang kacau? Jawabannya hanya satu: penolakan kita terhadap kekacauan. Kita tidak memberikan ruang, izin dan kesempatan untuk hadirnya kekacauan, sehingga ketika kekacauan muncul, kita berjuang setengah mati untuk mengusirnya, dan inilah yang merintis stres dan rasa tidak nyaman.

Stres memang fenomena ajaib. Stres mampu mengubah rentang waktu menjadi elastis. Tentu kita semua ingat betapa momen-momen menyenangkan dalam hidup terasa berlalu begitu cepat, serta betapa momen yang tidak menyenangkan serta membosankan terasa berjalan begitu lambat dan tidak kunjung habis.

Persepsi kita tentang berjalannya waktu ternyata tidak pernah objektif. Bagaimana ini bisa dijelaskan? Prinsip emas inilah kuncinya: apa pun yang kita ingin tolak, ingin ubah, ingin usir, ingin hilangkan, justru hal tersebut akan menjadi awet, langgeng dan bertahan. What you resist, persists. Sedangkan apa pun yang kita izinkan, rasakan, amati dengan hening tanpa reaksi, justru akan menjadi pudar dan tuntas.

Jadi, ketika bingung, bimbang dan ragu muncul, ingatlah prinsip emas tersebut. Membenci dan mengusir rasa tidak nyaman, hanya akan berakibat bertambahnya ‘bensin’ dari rasa tersebut sehingga semakin lama pula kita alami. Belajarlah untuk tidak menolaknya, justru amati, sadari dan rasakan.

Tinggal Menunggu Mangga Jatuh

Mengharapkan munculnya solusi dan tuntasnya masalah sebenarnya bagaikan menunggu mangga jatuh sendiri dari pohonnya. Bila mangga tersebut belum matang, memetik sebelum waktunya akan membuat kita memperoleh rasa buah yang masam.

Sementara itu, biasanya ketika kita sedang mendesak tuntasnya masalah kita, kita justru sibuk berpikir terlalu banyak, menganalisa tanpa henti secara berlebihan, berusaha memilah-milah benar dan salah, menimbang baik dan buruk, seolah-olah itu mampu mempercepat ‘matangnya mangga’ berjudul masalah.

Baru-baru ini saya bercakap-cakap dengan salah seorang klien saya yang sedang bimbang di persimpangan keputusan. Dia tidak menyadari bahwa bimbang itu perlu, dan seandainya dia izinkan dirinya untuk menunggu, ketimbang berusaha mengatasi masalah secara tergesa, tentunya dia bisa menjalani proses lebih rileks.

Padahal setelah dia mengingat kembali, sebenarnya dalam setiap momen hidupnya, bingung selalu hadir sebelum kejernihan. Setelah sekian lama bergulat dengan keraguan, tiba-tiba suatu hari muncullah kesiapan untuk melangkah. Kesiapan tersebut bisa saja berbentuk kondisi eksternal. Misalnya, mau tidak mau sudah harus melangkah karena tiba di batas waktu tertentu, atau karena kondisi internal, misalnya tiba-tiba saja hatinya bulat dan jernih untuk memutuskan. Inilah yang saya sebut dengan saatnya ‘mangga jatuh’ dan kita tinggal siap, sadar dan menangkapnya.

Terkadang memang ketika kita sedang bingung, bimbang dan ragu, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah diam, hening dan menunggu sambil mengamati. Ketika kita mulai menerima perlunya kekacauan dalam hidup, kita mulai mempersiapkan ‘ruang’ dan ‘izin’ bagi kehadirannya. Di situlah kedamaian mulai tersedia bagi kita semua. Bernapaslah, nikmati proses menunggu kekacauan, dan waspadalah untuk menunggu ‘mangga’ Anda matang alami dan jatuh dengan sendirinya.

Published, EVE Magazine, Juni 2008. Read More ..

Friday, May 09, 2008

Menahan Diri, Menghidupkan Hati

Setiap tahun, ketika memasuki suasana berpuasa, saya merenungkan makna dan relevansinya. Demi kejujuran, terkadang saya mengikuti serunya sahur, dan merayakan nikmatnya berbuka puasa. Namun ada kalanya saya juga bertanya tentang apa perlunya melatih diri selama 30 hari ini. Mengapa dalam sebelas bulan lainnya saya tidak selalu tergerak untuk mengasah kemurnian diri? Kok, saya merasa lebih sering sekadar mengikuti arus ketimbang melatih diri dengan sadar?

Ini bukan masalah ketaatan atau kepatuhan. Saya hanya merasa, pada usia dewasa manusia perlu berevolusi dari sekadar keyakinan yang “dituangkan” pada saat masih kecil dan belum bisa menentukan pilihan, menjadi individu yang mampu melihat dengan jernih tujuan dan pilihan hidupnya, termasuk meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan yang bersifat tradisi atau ritual agar esensinya tidak hilang.

Dalam perjalanan hidup selama ini, saya cenderung universalis, yang memandang bahwa kebenaran hidup bisa diperoleh di mana pun. Dan itu membuat saya memberanikan diri untuk mengintip berbagai tradisi, budaya, dan agama di dunia.

Saya sangat takjub ketika menemukan bahwa dalam setiap ajaran yang saya telaah, selalu saya temukan suatu bentuk latihan menahan diri, dari mulai menahan lapar, menahan emosi, menahan nafsu, hingga menahan untuk tidak menilai suatu situasi atau orang lain. Memang, judul, bungkus, dan tujuannya berbeda-beda, tapi bentuk latihan ini bisa ditemukan dalam setiap suasana hidup.

Padahal, tidak jarang juga terlintas di benak saya, “Hidup pada zaman ini kan sudah penuh masalah, mengapa kita perlu dengan sengaja membuatnya lebih susah dengan menahan diri?”

Saya jadi mulai menelusuri segala macam hal yang biasanya perlu ditahan. Nafsu makan, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu untuk menguasai. Semua ini muncul dalam batin. Batin kita bereaksi akibat pasokan informasi yang mampir lewat panca indra kita. Dengan kata lain, ketika panca indra berhenti memberikan informasi, maka kita pun tidak punya dorongan untuk merasakan apalagi memenuhi “nafsu”.

Masih ingat cerita pahlawan Daredevil, superhero pembela kebenaran yang begitu gesit dan tangguh, padahal sebenarnya buta? Sudah menjadi hukum alam, ketika informasi di salah satu panca indra terhenti, maka semua indra lainnya secara alamiah menjadi lebih peka, lebih mampu menangkap getaran halus yang biasanya tidak diperhatikan.

Barangkali inilah yang terjadi ketika seseorang melatih menahan diri. Dengan memperlambat pemenuhan nafsu yang biasanya dituruti dengan seketika, barulah kita bisa melihat lebih jernih batas antara nafsu dan kebutuhan. Kita lebih menghargai beragam berkah hidup yang sebelumnya mungkin kurang disyukuri. Rasa syukur ini tumbuh dari satu hal, yaitu bertambah pekanya hati.

Ya, memang kalau ditelusuri barulah kita sadar bahwa meskipun mata bisa melihat, hatilah yang mengapresiasi apa yang dilihat. Meski lidah kita mengecap, hati jugalah yang menikmati apa yang dikecap. Meskipun telinga kita mendengar, hati kitalah yang terbuai oleh keindahan bunyi, suara dan musik. Panca indra hanya menangkap informasi. Pada akhirnya kepekaan rasalah yang memungkinkan kita untuk menuai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari informasi tersebut.

Proses perenungan panjang ini melahirkan suatu kesadaran dalam diri saya, bahwa hidup bukanlah tergantung dari apa yang terjadi, apa yang kita inginkan maupun apa yang kita dapatkan dari kehidupan ini. Hidup ini tergantung dari bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menari dengan perubahannya.

Bagi saya, tanpa hati yang hidup, peka dan terbuka, tidaklah mungkin kita menjadi manusia yang mengerti, menikmati dan mensyukuri. Dan jika melatih untuk mengelola berbagai nafsu dalam diri memang jalan menuju hidupnya hati, saya merasa ada suatu urgensi untuk “berpuasa” setiap saat, setiap momen. Sudahkah Anda menghirup napas, berhenti sejenak dan menghidupkan hati Anda pada hari ini? Dalam jeda-jeda sederhana seperti inilah, saya menemukan hidup yang sebenarnya, dan saya berharap untuk bertemu Anda di sana.

Published, EVE Magazine, September 2007. Read More ..

ABC: Acceptance–Before–Change

Dari beragam kompleksitas peristiwa, situasi, masalah dalam kehidupan kita, maukah Anda berkenalan dengan dua elemen yang senantiasa hadir dan berdansa satu sama lain, sepanjang hidup Anda? Kedua hal ini bagaikan mitra abadi yang bernama ‘perubahan’ dan ‘penerimaan’.

Kita semua tentu pernah mengalami masalah karier, masalah rezeki, masalah percintaan, masalah kesehatan (penyakit) serta segala masalah hidup. Tentunya dalam setiap masalah, mencari perbedaan adalah mudah, karena dalam setiap jenis masalah di atas pastinya situasi dan pihak yang terlibat berbeda.

Teka-teki besarnya sekarang adalah, apakah Anda bisa menemukan satu hal tunggal yang mengawali dan juga mengakhiri setiap masalah? Sebagai petunjuk tambahan, hal tunggal itu merupakan hal yang sama untuk setiap jenis masalah di atas. Renungkan baik-baik. Karena memahami hal ini menjadi kunci Anda untuk menyelesaikan masalah apa pun.

Petunjuk baru lagi buat Anda, meskipun zaman sudah berkembang dan kompleksitas kehidupan manusia juga terus berganti, hal tunggal ini senantiasa menjadi awal dan akhir setiap masalah, tanpa terkecuali, dan ada sejak awal sejarah manusia hingga sekarang.

Bisakah Anda menemukannya?

Jawabannya adalah PERUBAHAN.

Setiap masalah yang lahir, selalu diawali dengan “kondisi yang dapat diterima”, yang tiba-tiba atau berangsur-angsur BERUBAH menjadi “kondisi yang tidak dapat diterima”. Setiap selesainya atau tuntasnya suatu masalah, selalu ditandai dengan pergerakan dari “kondisi yang tidak dapat diterima” menjadi “kondisi yang dapat diterima”.

Siklus Kehidupan yang Pasti Terjadi


Dengan kata lain, siklus hidup selalu berputar antara: (1) kondisi MENERIMA kenyataan, (2) terjadi PERUBAHAN, (3) kondisi TIDAK MENERIMA kenyataan, (4) terjadi PERUBAHAN, (5) kondisi MENERIMA kenyataan, (6) terjadi PERUBAHAN, dan seterusnya berulang terus hingga kehidupan ini usai. Kisah, situasi, peristiwa, dan pemerannya bisa berganti 1001 kali, tapi siklusnya tetap akan berulang seperti yang dijabarkan.

Contohnya, seorang wanita yang muda, cantik dan cerdas tiba dalam situasi hidup yang penuh sukses dan persahabatan. Tentunya ini kenyataan yang tidak sulit untuk diterima. Suatu saat, jika penampilan fisiknya berubah, atau kariernya mengalami suatu krisis, maka perubahan ini cenderung menjadi kenyataan yang lebih sulit untuk diterima. Melalui proses, upaya, doa, dan dinamika, di suatu titik dia pun akan bisa menerima kenyataan dan berdamai kembali. Namun kehidupan tidak berhenti di sini, dan tentu masih akan ada serangkaian perubahan berikutnya yang silih berganti membawanya dari kondisi “terima” menuju “tidak terima”, dan seterusnya.

Contoh lain adalah kondisi jiwa seseorang yang menjadi korban bencana alam. Dari kondisi “terima” di mana hidup baik-baik saja, tiba-tiba terjadi perubahan bencana alam yang kemudian mengakibatkan kondisi yang sulit diterima karena mungkin dia kehilangan hartanya paling berharga. Namun pada saatnya, dia kembali akan berdamai dengan kenyataan, untuk sementara waktu hingga muncul perubahan baru yang akan hadir.

Benang Merah: ‘Perubahan’ dan ‘Penerimaan’

Dalam siklus yang saya ceritakan di atas, tidaklah sulit untuk memahami bahwa hidup ini adalah dansa yang silih berganti antara perubahan dan penerimaan. Di dalam dansa abadi ini, terseliplah pengalaman rasa yang kita sebut stres, sedih, susah, bahagia, lega, kuatir, takut, cemas, sesal, damai, dll.

Pertama, marilah kita tengok mitra dansa pertama yang bernama ‘perubahan’. Perubahan adalah bagian paling alami dalam hidup. Ada datang, ada pergi. Ada untung, ada sial. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada sehat, ada sakit. Ada senang, ada sedih. Ada lega, ada beban. Ada hidup, ada mati. Tidak ada satu orang pun, termasuk orang suci sekalipun, yang bisa terbebas dari dualitas ini serta perubahan yang senantiasa terjadi.

Memang sangat wajar jika kita ingin menumpuk sehat, senang, untung, dan ingin menampik sakit, sedih dan sial. Namun kebijaksanaan jiwa sejati hanya bisa tumbuh ketika kita mengerti dan menerima bahwa kedua sisi tersebut pasti akan hadir, tidak bisa dicegah, tidak bisa dipertahankan, karena kekuatan perubahan akan selalu mengayunkan nasib kita dari satu sisi ke sisi lainnya bagaikan bandul kehidupan.

Seperti pepatah yang mengatakan “satu-satunya yang pasti dalam hidup adalah perubahan”, maka kalau kita ingin lebih mengalir dalam hidup, kuncinya adalah MENERIMA bahwa perubahan itu selalu ada, dan perubahan tersebut bisa saja berubah ke arah mana pun, kapan pun juga. Semakin cepat kita mengerti dan menerima ini, maka semakin mudah kita “mengalir” dengan hidup.

Melatih Otot Menerima

Ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan tidak bisa kita atur-atur, atau kita kendalikan sesuai dengan kehendak dan kepentingan kita, maka kita mulai menengok ke dalam. Mencari jalan keluar dengan memperbaiki situasi di luar memang rasanya ideal, tapi tidak selalu mungkin karena situasi di luar bergantung pada banyak faktor.

Jadi, bagaimana jalan keluar dari berbagai masalah? Jalan ‘keluar’-nya adalah melangkah ‘ke dalam’. Ingat, situasi di luar tidak selalu bisa kita kendalikan. Namun menerima dan tidak menerima adalah sebuah pilihan yang kita semua miliki. Memang benar bahwa menerima bukan selalu mudah, tapi merupakan jalan keluar yang selalu realistis.

Usaha: Perlu atau Tidak?


Kalau sudah tiba pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah pilihan antara menerima atau tidak menerima, pertanyaan alamiah selanjutnya adalah apakah usaha masih diperlukan dalam hidup? Ini barangkali merupakan suatu perenungan yang paling kontroversial.

Di satu sisi, kita punya “sistem keyakinan” yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa memperoleh apa yang kita inginkan, atau mengatasi suatu masalah, atau mengubah keadaan kalau tidak berusaha dan berupaya. Namun kita pun juga punya bukti nyata bahwa terkadang usaha pun tidak membawa perubahan hasil dan kenyataan.

Di lain sisi, ada juga yang meyakini bahwa takdir, kehendak alam dan/atau Tuhan, serta karmalah yang menentukan kenyataan. Jadi, meskipun kita berusaha, hasilnya tidak tergantung dari usaha tersebut semata. Dan lahir pulalah sikap hidup yang ingin pasrah total, sekaligus meniadakan upaya.

Terus terang, saya tidak anti pada konsep usaha dan upaya. Namun saya juga merasa bahwa kadang usaha, apalagi sampai ngoyo’, yang tidak diimbangi dengan keikhlasan dan kepasrahan, seringkali membawa rasa frustrasi dan kepedihan.

Usaha Dahulu atau Menerima Dahulu?


Jalan keluar yang paling lazim kita tempuh ketika ingin mengubah kenyataan atau menyelesaikan suatu masalah adalah pertama-tama berusaha maksimal untuk menciptakan perubahan situasi dan menerima hasil akhirnya—baik menerima dengan ikhlas maupun terpaksa.

Namun, mengingat bahwa kenyataan tidak semata-mata tergantung pada usaha kita, ada jalan lain yang tidak selalu lazim. Ini jalan yang saya sebut “ABC”. Singkatan dari “Acceptance Before Change”.

Jalan ini adalah ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan pasti terjadi, dengan maupun tanpa usaha. Langkah pertamanya adalah menerima tanpa syarat apa pun kenyataan yang ada saat ini, apa pun perilaku dan sikap orang yang terlibat saat ini, apa pun pikiran dan perasaan kita saat ini. Apa pun perubahan yang hadir setelah kita sudah bisa menerima, jauh lebih mudah untuk menyambutnya dengan pikiran jernih dan hati yang lapang.

Saya harus mengakui bahwa ini bukan jalan pikiran yang umum. Namun bagi mereka yang sudah pernah mengalami obat ABC ini dalam hidupnya, mereka juga pernah menyaksikan betapa ajaibnya situasi bisa berubah, ketika masalah yang sedang dihadapi diterima sepenuh hati.

Saya sendiri sudah pernah melihat penyakit fisik yang berat, masalah hubungan cinta yang sudah parah, hingga kesulitan rezeki, bisa berbalik secara ajaib ketika hati sudah mencapai titik ikhlas menerima total keadaan. Ini sungguh sulit untuk ditulis. Anda perlu keberanian untuk mengalaminya sendiri.

Langkah Pertama dan Terakhir untuk Bahagia


Barangkali buah pikiran terakhir yang saya sadari tentang betapa pentingnya kita menerima segala sesuatu yang ada saat ini, sebelum perubahan bisa terjadi, adalah berikut ini: jika kita mencoba untuk mengubah diri, masalah maupun situasi melalui berbagai daya upaya, tanpa kita terlebih dahulu menerima diri sendiri apa adanya, maka meskipun situasi tersebut berhasil kita ubah, kita tidak akan pernah puas, tidak akan pernah damai, apalagi bahagia.

Dahulu, saya pikir kebahagiaan adalah mencapai apa yang saya inginkan. Namun sekarang saya melihat bahwa kebahagiaan adalah ketika tidak ada perselisihan antara keinginan dan kenyataan. Karena kenyataan tidak bisa saya kendalikan sepenuhnya, maka mengelola keinginan menjadi kunci saya untuk bahagia. Dan kunci tersebut bernama: menerima sepenuh hati.

Pilihan dan upaya tidak menghasilkan kenyataan hidup saat ini. Pilihan dan upaya adalah “permainan” yang kita perlu lakukan demi tiba pada kesiapan untuk menerima dan berserah total pada takdir, hidup, dan Tuhan.

Selamat bermain dan berdansa, para sahabatku.

Published, EVE Magazine, Maret 2008. Read More ..

Thursday, May 08, 2008

Lima Jendela “Rumah Sang Lega”

Hidup ini cair, ujar seorang sahabat saya. Segala situasi dan perasaan hati kita terus berubah-ubah, dan di saat kita punya keinginan yang berbeda dengan kenyataan, tak bisa terhindar lahirlah rasa terbebani.

Rasa terbebani ini bisa saja muncul dari hubungan pribadi antara sahabat, orang tua, anak, suami-istri, dan sepasang kekasih. Rasa ini juga bisa muncul akibat permasalahan di tempat kerja, maupun masalah terkait uang. Bahkan ketika kesehatan kita sedang tidak optimal, beban hati pun muncul karena mungkin tidur terganggu, tubuh terasa letih terus, dsb.

Dalam situasi hidup yang seperti ini, tidaklah mengherankan seandainya kita mendamba suatu rasa yang disebut ‘lega’. Hidup ini tak lepas dari tantangan dan permasalahan yang datang dan pergi. Seandainya saja masalah hanya datang satu demi satu, mungkin kita bisa menjalaninya dengan lebih ringan. Namun sayangnya tidak demikian.

Pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda untuk menyadari kembali bahwa ‘kelegaan’ adalah suatu rasa yang kita semua ingin capai. Kita pun bisa belajar dari prinsip alam untuk bergerak menuju lega.

Lihatlah langit di atas kepala Anda. Perhatikan bagaimana alam bergerak dari satu cuaca ke cuaca lainnya. Barangkali Anda lebih suka kalau langit cerah ketimbang mendung, atau udara sejuk ketimbang panas? Atau Anda lebih suka hujan rintik-rintik ketimbang hujan deras berangin?

Guru saya dari Jepang pernah bercerita, bahwa dalam bahasa Jepang, ada kemiripan antara cuaca dengan emosi. Cuaca dalam bahasa Jepang disebut “tenki” yang artinya energi yang bergerak di langit, sementara emosi dalam bahasa Jepang disebut “kimochi” yang artinya energi yang bergerak dalam diri.

Jadi cuaca dan emosi sebenarnya tidak berbeda, karena sama-sama merupakan energi yang bergerak. Atau dengan kata lain, emosi sebenarnya merupakan “cuaca hati”.

Namun, entah mengapa, kita jarang mempermasalahkan cuaca di langit ketimbang mempermasalahkan cuaca di hati. Mungkin karena kita sudah menerima bahwa cuaca di langit hanya bisa diamati, disadari, ditunggu dan dinikmati.

Sementara di lain pihak, kita begitu sibuk berusaha mengendalikan dan meredam emosi. Mungkin karena kita berpikir bahwa emosi itu bisa diatur-atur, disetel bagai mesin, tanpa sadar bahwa segala upaya untuk mengendalikan emosi sebenarnya sama sia-sianya dengan berusaha mengendalikan cuaca di langit.

Bahkan kita akhirnya melupakan prinsip emas “what you resist, persists…” yang artinya apa yang kita tolak, berusaha ubah atau hilangkan, justru akan menjadi awet. Lalu bagaimana caranya kita bisa mencapai rasa lega, kalau bukan dengan upaya?

Izinkan saya menawarkan lima buah jendela. Kelimanya merupakan jalan masuk menuju “Rumah Sang Lega”. Anda tidak bisa memasukinya dengan upaya, bahkan satu-satunya jalan masuk adalah dengan menghentikan segala upaya, dan cukup dengan menyadarinya. Jendela-jendela ini saya sebut “5A” menuju lega.

Awareness…
Artinya ‘sadar dan tahu’ secara jernih dan mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana rasanya dalam hati, buah pikir apa saja yang terlintas dan mendasari beban kita. Biasanya kita hanya ‘sadar dan tahu’ tentang situasi eksternal yang sedang kita permasalahan, atau sekadar memerhatikan perilaku orang lain yang tidak berkenan, atau cuma berupaya untuk mencapai perubahan yang kita inginkan tanpa terlebih dahulu sadar diri dan melangkah ke dalam diri.

Acknowledge…

Artinya mengenali dan mengakui bahwa kondisi hati kita memang dalam keadaan yang terbebani, juga mengakui bahwa kita bertanggung jawab penuh atas pilihan hidup dan kebahagiaan kita masing-masing. Kita memahami bahwa setiap pihak yang terlibat dalam permasalahan ini tentu berusaha yang terbaik menurut persepsinya masing-masing, dan dalam upaya terbaik tersebut terkadang terjadi benturan-benturan yang membuat hati tak lega, tapi sesungguhnya tidak disengaja untuk demikian.

Allow…
Artinya mengizinkan diri sendiri untuk meresapi perasaan hati kita pada saat itu, apa adanya. Begitu banyak di antara kita mengalami frustrasi berusaha ‘meredam’ emosi, tanpa mengerti aturan emas bahwa untuk setiap pikiran dan perasaan yang kita tolak, ubah, maupun sirnakan melalui upaya, di situ pulalah pikiran dan perasaan tersebut menjadi ‘awet’. Padahal mengizinkan pikiran dan perasaan kita untuk diamati, disadari dan dirasakan apa adanya justru memperlancar proses emosi tersebut menuju tuntas.

Accept…
Artinya belajar ikhlas untuk menerima dan mencintai ‘kenyataan” saat ini apa adanya. Ingat bahwa setiap keinginan kita bertempur dengan kenyataan, Sang Keinginan selalu kalah, tidak pernah menang. Ingat bahwa kalau hidup ini cair, tugas kita adalah mengalir. Mengalir berarti mengerti kapan saatnya menghentikan upaya melawan kenyataan, dan pasrah pada arus kehidupan.

Aaah…
Artinya bernapas lega, merasakan bahwa setiap udara yang keluar dan masuk dari tubuh kita menandakan hidup ini baru di setiap napas. Napas adalah jembatan antara tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Ketika menghadapi suatu permasalahan atau beban, kita lebih suka berpikir, berspekulasi, membayangkan yang belum terjadi, atau menyesali yang sudah berlalu. Bernapas dengan sadar, membawa kita pulang ke sini-kini-gini (here, now, as it is). Cobalah, tidak ada salahnya berhenti dari ketergesaan kita sehari-hari untuk sejenak bernapas lega. Perhatikan bahwa tepat di saat bernapas tersebut, roda berpikir kita pun berhenti sejenak… inilah saatnya mengistirahatkan pikiran.

Yang ajaib tentang kelima jendela ini, tidak jadi masalah dari mana Anda masuk, tapi ketika salah satu jendela berhasil Anda lalui, maka empat jendela lainnya akan otomatis terbuka dan mengizinkan cahayanya untuk menyelinap ke hati Anda.

Dengan kata lain, ketika Anda merasa terbebani dan mendambakan kelegaan, berhentilah sejenak. Hentikan segala upaya untuk meredam atau mengendalikan perasaan hati, dan pilih salah satu jendela yang akan mengantarkan Anda pada rasa lapang.

Ingat hidup itu cair, tugas kita adalah mengalir. Selamat meresapi kelegaan, selamat bertumbuh dalam kelapangan.

Published, EVE Magazine, Mei 2008.
Read More ..

Intuisi: Mendengarkan Kata Hati

Dalam hidup yang didominasi oleh kecerdasan otak dan intelektual ini, masih adakah kesempatan untuk berhenti sejenak, memerhatikan hati kita sendiri serta mengikuti bimbingannya, ketika momen keputusan tiba?

Definisi “intuisi” yang paling praktis dan akurat bagi saya adalah “ketika saya tahu sesuatu, tanpa mengetahui bagaimana caranya, kok, saya bisa tahu hal tersebut.” Kita semua pasti pernah mengalami momen-momen intuitif, barangkali suatu ketika kita teringat kawan lama yang sudah lama tidak kontak, tiba-tiba dia menelpon. Atau mungkin ketika keluarga yang dekat sedang mengalami masalah atau musibah, kita bermimpi atau terus teringat dengan mereka. Di permukaan, semua itu terlihat sebagai kebetulan belaka. Namun jika ditelaah dengan mendalam, inilah saat-saat di mana intuisi kita berhasil memenangkan perhatian kita.

Inilah juga yang disebut kecerdasan hati, di mana informasinya tidak hadir sebagai buah pikiran, atau analisa yang komprehensif dan akurat dari segala sudut. Intuisi umumnya hadir dalam bentuk sebuah ‘rasa’ yang sederhana, jernih namun berbisik, sehingga untuk bisa menangkapnya kita perlu lebih terbuka dan peka.

Sebenarnya setiap orang memiliki intuisi yang kuat dan berpotensi sama. Seorang bayi dan ibu berkomunikasi dan saling memahami lewat rasa, lewat intuisi. Hanya memang ketika kita menjadi dewasa, lalu dididik untuk lebih mengasah pikiran dan kecerdasan otak serta cenderung mengabaikan perasaan, maka perlahan-lahan kemampuan intuisi ini pun menjadi pudar, tumpul bahkan hampir hilang sama sekali bagi sebagian individu. Bahkan bagi orang-orang yang 100% bertumpu pada kecerdasan otak saja, mendengarkan rasa hati dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tidak alami, bahkan bodoh. Menurut orang-orang ini, pilihan dan keputusan yang baik adalah yang diambil berdasarkan proses berpikir dan analisa yang baik.

Sumber Stres: Mengambil Keputusan dengan Kepala


Ketika kita berusaha menerka-nerka apa yang sebaiknya kita pilih dan putuskan, biasanya proses berpikir yang terjadi melibatkan daftar keuntungan dan kerugian dari masing-masing pilihan. Namun kalau kita teliti, sebenarnya proses pengambilan keputusan seperti ini sangat tidak akurat. Pertama, kita tidak pernah punya data dan fakta yang lengkap tentang semua sudut permasalahan. Barangkali dari 40 faktor, kita hanya tahu 5-8 faktor saja. Kedua, kita harus mengasumsikan reaksi dan hasil dari pilihan tersebut berdasarkan dugaan dan tebakan kita sendiri, yang belum pasti akan terjadi demikian.

Sebenarnya intuisi merupakan bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada otak, karena meskipun kita tidak bisa mengetahui semua faktor yang terlibat dalam permasalahan apapun, gelombang rasa yang muncul dari hati sebenarnya sudah mencakup seluruh faktor meski tidak kita sadari. Akibat kita terlalu memaksakan untuk menggunakan “kepala” dan jarang bertanya kepada “hati” dalam segala situasi, maka timbullah berbagai fenomena stres di zaman modern.

Memutuskan Pada Saatnya, Bukan Rekaan Antisipasi


Baru-baru ini saya mengikuti pelajaran bersama seorang guru dari Jepang bernama Dharma. Selama hampir dua puluh tahun terakhir, dia menjadi seorang terapis. Pengalaman dan kompetensinya hampir tidak bisa saya ragukan, dan sepanjang tahun dia melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya. Bagi para terapis, seperti saya, ini merupakan kesempatan emas untuk memperdalam ilmu dan meningkatkan keterampilan kami dalam membantu berbagai klien yang datang dengan seribu satu permasalahan.

Selama hampir dua puluh hari di Jakarta, ada satu hal yang sangat menggelitik bagi saya. Di dalam kelas, para peserta yang kebanyakan juga terapis menghujani Dharma dengan puluhan pertanyaan, yang berkaitan dengan berbagai kasus. Ada yang bertanya “Bagaimana caranya mengatasi klien yang tertimpa musibah keuangan?”, atau “Bagaimana kita bisa menolong orang yang putus harapan?”, atau “Bagaimana caranya memberikan saran pada orang putus cinta?”. Yang sangat menarik, hampir di setiap kesempatan, guru tersebut selalu mengatakan: “Saya tidak tahu jawabannya. Seandainya saya benar-benar ada di hadapan klien tersebut, barulah saya bisa merasakan, mendengarkan hati saya, dan melakukan apa yang terasa paling tepat.”

Bagi saya, inilah esensinya intuisi, atau terkadang diistilahkan dengan ‘kata hati’. Kita tidak menghabiskan waktu untuk berteori, menjadi sok pintar dengan segala skenario dan hipotesa yang mungkin terjadi tapi belum tentu terjadi. Ketika intuisi sudah menjadi panduan yang kita percaya, maka apapun yang perlu kita pilih dan kita putuskan, benar-benar dirasakan sepenuhnya pada momen tersebut ketika sedang terjadi secara nyata. Bukan diantisipasi sebelumnya.

Jalan Menuju Ikhlas & Pelajaran Hidup


Apakah mendengarkan intuisi selalu merupakan pilihan dan keputusan yang paling benar dan bijaksana? Menjawab pertanyaan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita tidak pernah tahu dari berbagai pilihan dan skenario yang kita reka-reka sendiri, yang mana yang paling tepat.

Bagi yang mengharapkan kepastian ketika mengikuti kata hati, tidak jarang kekecewaan bisa muncul di kemudian hari, karena hidup ini memang tidak pernah pasti. Namun bagi saya, ketika berbagai pilihan sudah tersedia di depan mata, memilih berdasarkan intuisi bisa memberikan kesiapan hati yang maksimal untuk mampu menerima dengan ikhlas apapun konsekuensi yang hadir kemudian. Jadi, meskipun tidak pasti mendapatkan hasil yang aman dan paling baik, kita lebih siap menghadapi ketidakpastian hasil tersebut.

Mitos lain yang juga terkait dengan intuisi adalah, kalau kita selalu mendengarkan intuisi maka hidup kita akan aman, selamat dan bebas masalah. Padahal kalau kita jeli melihat hidup, setiap tantangan dan masalah merupakan momentum pertumbuhan yang penting dan perlu dilalui setiap orang. Banyak yang mengistilahkan bahwa hidup ini seperti bersekolah. Kalau memang benar demikian, mendengarkan kata hati bukan membuat kita bebas masalah, tapi justru mengantarkan kita untuk menemui serangkaian tantangan dan masalah yang “perlu dan penting” untuk dijadikan pelajaran jiwa. Kita perlu belajar untuk tidak menolak dan menghindari masalah, dan memahaminya sebagai bagian yang esensial dalam hidup ini.

Mengembangkan Intuisi Anda

Bila Anda ingin untuk hidup yang lebih dibimbing oleh intuisi Anda, pertama-tama ingatlah bahwa semua orang punya intuisi secara alamiah. Ini bukan keterampilan baru yang harus diperoleh, namun keterampilan lama yang terlupakan, dan perlu diasah kembali agar bermanfaat dalam keseharian.

Kedua, untuk melatih kembali intuisi kita, kita perlu membiasakan kembali dengan keheningan, apa pun bentuknya. Dari mulai rileks, berdoa, meditasi, bahkan melamun di toilet pun merupakan bentuk keheningan yang bisa membantu kita untuk memunculkan inspirasi dan intuisi. Tanpa keheningan, intuisi akan tersamar dengan segala arus informasi di sekitar kita, dan kebisingan pikiran kita sendiri.

Ketiga, bila Anda ingin berkonsultasi dengan kata hati Anda, setelah mencapai kondisi yang hening, ajukanlah pertanyaan Anda ke dalam hati. Ini bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan sebenarnya sangat wajar dan alamiah.

Keempat, setelah hening dan bertanya, tunggu dan perhatikan. Jawaban atau bimbingan dari hati Anda bisa muncul dalam bentuk rasa, suara, gambar, simbol, mimpi maupun kebetulan-kebetulan yang muncul begitu saja dalam keseharian Anda. Biasanya setiap orang akan memiliki bentuk intuisi yang khas. Ada yang selalu memperoleh intuisi lewat mimpi, atau dalam bentuk rasa hati, maupun rasa di tubuh. Sebagai contoh, sahabat saya selalu memilih restoran yang ingin dikunjungi bilamana perutnya terasa “hangat” ketika mendengar nama restoran itu diucapkan. Sepintas terdengar konyol, tapi saya ingin Anda tahu bahwa kita semua mendengarkan intuisi dengan pola yang berbeda-beda setiap orang.

Kelima, milikilah jurnal intuisi, yang membantu Anda untuk memerhatikan keterkaitan antara kebetulan-kebetulan yang terjadi, isyarat mimpi, rasa di hati dengan kenyataan yang terjadi setiap hari di sekitar Anda. Perlahan-lahan Anda akan mulai memerhatikan bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan, dan Anda mulai bisa membaca intuisi Anda dengan lebih tepat.

Berani Mengikuti Intuisi

Dalam pertemuan saya dengan banyak orang, seringkali muncul ungkapan seperti ini: “Sebenarnya saya sudah bisa merasakan apa yang perlu saya lakukan, dan agaknya inilah bimbingan hati saya, tapi saya tidak berani melangkah dan mengikutinya.” Ini bukanlah problem yang sulit, dan berikut ada beberapa saran yang bisa Anda jalani untuk mengatasinya.

Pertama, mulailah melatih intuisi dari hal-hal atau pilihan-pilihan yang kecil dulu. Seperti memilih menu makanan, mencari lokasi parkir kendaraan yang ideal, memilih warna pakaian, dsb. Sama seperti otot tubuh, otot intuisi Anda pun perlu diperkuat secara bertahap. Lambat laun, otot intuisi Anda semakin kuat, jernih dan lebih bisa diandalkan.

Kedua, mulai perhatikan bagaimana bedanya antara intuisi dengan suara imajinasi dan pikiran Anda sendiri. Salah satu patokan saya pribadi adalah biasanya intuisi tidak diikuti dengan nafsu atau keyakinan yang kuat. Justru begitu kita merasa sangat yakin dan ingin terbukti benar, malah seringkali itu bukanlah intuisi. Dengan rajin mencermati, Anda mulai bisa membedakan intuisi dengan kebisingan pikiran Anda sendiri.

Ketiga, coba renungkan dan ingat kembali beberapa peristiwa di masa lalu, di mana Anda pernah mendengar tapi tidak mengikuti intuisi Anda, lalu ingat hasilnya. Ingat juga berbagai momen di mana Anda pernah mendengar dan juga mendengarkan intuisi Anda, dan ingat bagaimana hasilnya. Secara bertahap, Anda pun akan membangun kembali rasa percaya terhadap suara hati nurani Anda sendiri.

Terakhir, ingat bahwa kita telah dibiasakan untuk lebih mendengarkan kata orang lain (orang tua, keluarga, sekolah, guru, teman, dll), ketimbang mendengarkan panduan kata hati kita sendiri. Kita perlu ingat bahwa kitalah yang paling tahu tentang hidup kita sendiri, dan kita jugalah yang paling bertanggung jawab atas diri kita. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengan orang lain, tapi jangan abaikan intuisi Anda ketika sudah tiba saatnya memutuskan.

Intuisi Mendekatkan Kita pada Sang Pencipta


Sebagian orang, termasuk saya sendiri, meyakini bahwa intuisi adalah bimbingan Sang Pencipta yang diberikan melalui hati nurani kita, terlepas dari keyakinan agama apa pun yang kita peluk. Dengan melatih kembali kepekaan intuisi, Anda pun lebih terbuka untuk merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup, serta lebih peka untuk mendengarkan jawaban dari berbagai doa Anda.

Tentu Anda pernah mendengar ungkapan “Manusia yang berusaha, tapi Tuhan yang menentukan hasilnya”. Untuk bisa menjalankan ini, kita perlu menjalani hidup dengan semangat dan upaya yang baik. Namun untuk bisa menerima bahwa hasil akhirnya tidak sepenuhnya tergantung kita belaka, dibutuhkan kepasrahan total. Tanpa mengikuti intuisi, sulit sekali melatih kepasrahan dan keikhlasan yang sebenarnya merupakan kunci untuk hidup ringan dan selaras.

Akhir kata, selamat mengasah kembali hati nurani Anda. Mulailah dengan keheningan, untuk tiba di kebeningan, hingga Anda mampu mengikuti bimbingan yang Anda butuhkan.

Hening, tanya, tunggu, dan perhatikan…

Published, Eve Magazine, April 2008. Read More ..

Dark Chocolate Love

Seiring bulan cinta Februari ini, bisakah kita bersama menemukan pelajaran cinta dalam sepotong cokelat? Pernahkah Anda menikmati sepotong dark chocolate, dan merasakan beragam nuansa yang bisa terasa dalam setiap kunyahan, serta berbagai perasaan hati yang muncul dari pengalaman tersebut? Perhatikan bagaimana awalnya bongkahan cokelat tersebut terasa keras lalu setelah digigit atau dikunyah mulai terasa lembut dan meleleh dalam mulut Anda? Keras dan lembut, padat dan meleleh, merupakan spektrum pengalaman yang sangat nyata, bukan?

Perhatikan juga ketika rasa manis dan pahit datang silih berganti dalam pengalaman santap dark chocolate tersebut. Manis dan pahit pun merupakan rentang pengalaman yang sangat nyata.

Perhatikan juga ketika sepotong cokelat tersebut telah habis dalam mulut Anda. Ada rasa puas, dan tidak lama kemudian Anda merasa ingin untuk menikmati lagi sepotong cokelat yang baru. Siklus antara mendapatkan keinginan dan memperoleh keinginan, serta terpuaskan dan tidak puas, menjadi tema sentral yang juga bisa dirasakan dalam pengalaman menikmati cokelat.

Sekarang saya undang Anda untuk berhenti sejenak dan merenungkan pertanyaan sederhana berikut ini: bukankah semua pengalaman di atas juga merupakan rasa yang sama dalam berbagai pengalaman cinta dalam hidup kita?

Siapa yang tidak pernah merasakan aspek keras dan lembutnya cinta? Ketika dua pribadi bertemu, membawa pengalaman hidup dan ego masing-masing, terkadang interaksinya penuh kelembutan antara satu sama lain, sehingga bagai terhanyut dalam cinta. Dan juga sebaliknya, ketika kedua pihak sedang bersikeras mempertahankan posisinya sehingga terbersit rasa sesal: mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang ini?

Siapa yang tidak pernah merasakan manisnya cinta, senangnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari pasangannya, terbuai dalam segala keindahan yang dijanjikan cinta, dan sebaliknya merasakan pahitnya bertengkar, berbeda pendapat dan juga berpisah dalam hubungan cinta?

Siapa yang tidak pernah merasakan kesendirian, dan rasa ingin untuk berada dalam sebuah hubungan kasih, lalu mendapatkannya serta menikmatinya, lalu kehilangan pertalian cinta tersebut, disisipi dengan rasa tidak ingin berhubungan dengan orang lain lagi, tapi tidak lama kemudian berada lagi dalam sebuah hubungan cinta yang baru? Bisakah Anda memahami rentang rasa hati yang sama, antara menikmati sepotong dark chocolate dengan kehidupan cinta?

Inilah yang saya sebut realitas. Memahami kehidupan dari kedua sisinya secara menyeluruh. Realistis artinya memahami dan menerima realitas bahwa selalu ada dua sisi ini. Senang dan susah, untung dan sial, dipuji dan dihina, bertemu dan berpisah, mendapat dan melepas, merupakan dualitas hidup yang tidak bisa dihindarkan maupun dicegah, apapun caranya, bagaimanapun upayanya.

Bagi saya, pelajaran tentang cinta adalah suatu perjalanan yang merupakan bagian penting bagi kematangan diri dan evolusi. Ada limaa fase pertumbuhan jiwa yang saya amati dalam setiap orang, cobalah Anda renungkan di mana Anda pernah berada dan di mana pembelajaran Anda pada saat ini.

Fase 1: Mengejar manis karena ingin, hindari pahit karena takut


Di sini kita umumnya ‘tahu’ tentang manis/pahitnya cinta, tapi belum ‘ngeh’ tentang betapa mendasarnya pemahaman ini. Kita lebih dikendalikan oleh keinginan kita untuk mengejar manis dan segala cita-cita, serta begitu kuat berusaha menghindari kepahitan karena takut mengalaminya. Bisa juga diikuti dengan sederet upaya kita untuk memperbaiki diri, serta mengubah pilihan dan perilaku pasangan kita supaya memperoleh manis dan terhindar dari pahit. Kata kunci dalam fase ini adalah “berusaha untuk berubah”.

Fase 2: Menyadari bahwa ada manis, ada pahit

Di sini kita mulai membuka mata dan menyadari bahwa manis/pahit merupakan satu paket yang tidak bisa dipilah-pilah. Saat ini kita mulai mengerti bahwa kita tidak bisa hidup separuh saja, memang selalu ada dua sisi yang akan dialami. Upaya yang kita lakukan untuk “kejar manis, hindari pahit” masih dilakukan tapi mulai melunak, sehingga ada ruang dalam hati untuk lebih rileks dan menikmati kenyataan apa adanya. Kata kunci dalam fase ini adalah “sadar akan realitas”.

Fase 3: Sadar bahwa manis/pahit tidak pernah disebabkan oleh orang lain maupun keadaan, melainkan oleh pilihan kita sendiri

Di fase ini, kita mulai melihat kembali begitu banyak upaya yang sudah kita lakukan untuk mengubah pasangan kita agar kehidupan cinta lebih terasa manis juga tidak banyak berguna. Di titik ini pula, biasanya kita mulai sadar ternyata banyak ketidakpuasan kita sebenarnya bersumber dari ekspektasi dan harapan kita sendiri, yang ketika bertubrukan dengan kenyataan yang berbeda, sungguh sakit rasanya. Kita mulai mengerti bahwa orang lain serta keadaan hanyalah pemicu dari bom waktu yang kita rakit sendiri dalam hati. Dan akhirnya kita mulai memilih untuk menetralisir berbagai ekspektasi dan harapan agar lebih mudah ikhlas dalam hidup. Kata kunci dalam fase ini adalah “bertanggung jawab penuh atas diri sendiri serta berhenti menyalahkan dan berusaha mengubah orang lain.”

Fase keempat: Menyadari bahwa manis / pahit tidak bisa dicegah


Di titik ini, banyak beban urusan cinta mulai sirna, meleleh, dan kita terima sebagai bagian wajar dalam hidup, karena kita mulai sadar bahwa segala upaya, strategi dan sejuta trik mengatasi problema cinta pun ada batasannya. Ada momen-momen hidup tertentu, terutama yang mengandung pelajaran hidup, ternyata meski sudah berusaha dan berdoa pun, tetap tidak bisa dicegah dan perlu dijalani sampai tuntas, sehingga lahirlah kepasrahan jiwa yang tulus, bukan dipaksakan. Kata kunci dalam fase ini adalah “pasrah total”.

Fase kelima: Belajar menikmati manis dan mensyukuri pahit

Pada akhirnya, kita mulai mengerti bahwa semakin mengejar manis, semakin sulit manis bisa dialami. Semakin lari dari pahit, semakin awet masalah tersebut ada dalam hidup kita. Kita mulai hidup bebas dari preferensi, seperti potongan lagu “Mawar, melati… semuanya indah”. Kita tetap menjalani peran dan dinamika hidup sesuai dengan porsi yang wajar, tetap merasa manis dan pahit, tapi mengerti secara mendalam bahwa inilah sandiwara kehidupan yang perlu kita jalani apa adanya. Kita bisa hadir sepenuhnya untuk berbagai perasaan hati yang datang dan pergi, meskipun tidak selalu mudah menjalaninya. Kata kunci dalam fase ini adalah “merangkul mesra kedua sisi kehidupan, memetik kebijaksanaan dalam keseharian”.

Hidup ini memang tidak bisa lepas dari dualitas. Baik sepotong dark chocolate, maupun berbagi kasih dengan siapapun, kita tidak punya pilihan untuk hanya mengalami salah satu sisi saja. Selamat bertumbuh dalam kehidupan cinta, dan selamat Hari Kasih Sayang.

I love you and also myself, but most importantly I love whatever life offers me in this moment. Enjoy your wonderful piece of dark chocolate.

Published, Eve Magazine, February 20008.

* Picture taken from faeriesfinest.com Read More ..

Resolusi Awal Tahun

Tiada ucapan selamat tahun baru yang lengkap tanpa meninjau apa yang kita sebut sebagai resolusi awal tahun. Rasanya sudah tidak asing lagi kebiasaan awal tahun di mana kita diajak membulatkan niat, menanam suatu cita-cita, dan menancapkan tekad untuk mencapai suatu perubahan.

Seorang teman pernah bilang, bahwa baginya resolusi awal tahun adalah proses menggodok semangat juang dalam hidup, supaya dia bisa mengukur kemajuan dan prestasinya dari tahun ke tahun. Teman yang lain berkata, resolusi awal tahun itu hanya sumber stres, karena menurutnya dari sekian banyak keinginan yang tercantum, lebih banyak yang tidak tercapai daripada yang terwujud.

Baris demi baris target dirumuskan, dari mulai janji untuk mulai berolahraga secara rutin, berhenti merokok, mulai memperhatikan pola dan asupan gizi yang lebih sehat, mengurangi konsumsi kafein, dsb. Ada juga yang bertarget tentang hubungan cintanya – baik sudah punya pasangan maupun tidak – yang penting tahun ini bisa menikah. Atau barangkali kita menetapkan resolusi yang berkaitan dengan karier, rezeki dan kesuksesan kita.

Jadi apa saja resolusi awal tahun Anda? Bagi saya, meluangkan waktu hening dan merenungkan bagaimana kita mengelola energi kreatif dalam hidup, lebih bermanfaat ketimbang sekadar mencantumkan setiap keinginan dalam “daftar belanja” awal tahun.

Mari kita lihat rutinitas yang biasa terjadi di perbatasan antara akhir tahun dan awal tahun. Pertama, tidak ada resolusi awal tahun yang afdol tanpa refleksi akhir tahun.Pada penghujung tahun, kita menengok resolusi yang telah dibuat pada tahun sebelumnya. Kita tepuk bahu kita sendiri atas niatan yang telah tercapai, dan kita pindahkan semua niatan yang belum tercapai sebagai kandidat penghuni daftar resolusi tahun selanjutnya.

Saya sendiri, terus terang, jarang tergerak untuk menyusun resolusi awal tahun, saya lebih senang menjalani hidup ini langkah demi langkah. Mengapa begitu? Saya berusaha melihat kembali setiap momen ketika saya membuat rencana, dan sering sekali rencana tersebut tidak terjadi sesuai dengan apa yang kita prediksikan sebelumnya.

Hidup ini memang sarat dengan perubahan dan ketidakpastian. Terkadang target dipasang supaya keinginan kita punya “bahan bakar” untuk tumbuh, bergerak dan berkembang, namun di tengah bersemangatnya kita mengejar keinginan, tanpa sadar dalam hati terselip rasa “keharusan” yang memaksa. Ini acapkali menjadi sumber stres yang tidak perlu.

Tidak bisa disangkal, kita memang butuh semangat hidup. Tanpa itu, hidup bisa terasa hambar. Namun semangat hidup yang terjangkit “harusitis” – radang serba harus ini dan itu – berpotensi menjepit hati, dan akhirnya merampas kemampuan kita untuk menikmati hidup momen demi momen, serta membuat kita lebih mudah untuk lupa bersyukur atas hal-hal yang sederhana namun indah dalam hidup kita.

Ada yang mengatakan bahwa potensi kreativitas manusia itu tak terbatas. Sebagian menjelaskan dengan mengatakan bahwa baru 2% dari otak kita yang sudah terpakai secara optimal. Sebagian lagi menyatakan bahwa karena kita adalah bagian dari ciptaan Ilahi, sumber mahakreatif yang mampu menciptakan dan mewujudkan segalanya. Manapun yang benar, agaknya alam berusaha berpesan bahwa kita punya potensi ‘mencipta’ yang luar biasa, termasuk untuk mewujudkan segala hal yang kita inginkan dalam hidup.

Lalu bagaimana caranya agar potensi mencipta ini bisa terwujud menjadi kenyataan? Salah satunya adalah dengan menarik garis batasan yang akan memberikan fokus dan kesempatan agar potensi menjadi nyata.

Contoh, setiap penulis punya segudang ide kreatif untuk menghasilkan karyanya. Namun seringkali tanpa kehadiran garis batasan yang namanya ‘deadline’, kemahakreativan tersebut sulit sekali dilahirkan dalam bentuk kata-kata. Inilah kekuatan agung dari garis batasan.

Di sinilah saya melihat manfaatnya resolusi awal tahun. Garis batasan di awal dan akhir tahun, memberikan kita semua ‘rahim ruang dan waktu’ untuk mencipta, berkarya dan mewujudkan potensi diri seutuhnya.

Gunakan target, dan batas waktu sebagai sarana untuk tumbuh dan berkembang, dan perhatikan dengan saksama agar hal tersebut justru jangan menjadi “penjara serba harus”. Bagaimana caranya?

Pertama, untuk mencegah stres karena terlalu banyak cita-cita dan keinginan, bagaimana kalau kita belajar untuk membatasi berbagai batasan yang kita buat sendiri? Know when to limit your limits. Jangan jadikan diri Anda sebagai tahanan dalam penjara keinginan yang dibuat sendiri.

Kedua, untuk mengimbangi semangat hidup dengan kebijaksanaan, belajarlah untuk juga menyambut terbuka sifat kehidupan yang serba tidak pasti dan senantiasa berubah. Buka hati untuk hadir penuh perhatian di ‘sinikini’ – here and now. Meskipun Anda bisa saja membuat rencana untuk 5 tahun ke depan, kenyataannya rencana tersebut hanya dapat dilakukan, dicapai, dan dinikmati hanya di momen ini. Sekarang juga.

Ketiga, tidak ada salahnya kita mengingatkan diri untuk bersyukur akan hal-hal yang indah namun sederhana dalam hidup. Nikmatnya seteguk air putih, nyamannya bernapas, serta tulusnya senyum, merupakan harta yang bisa kita petik setiap hari, setiap saat.

Dan akhirnya, ikhlaskan segala kemungkinan terbaik dan terburuk, agar Anda tidak nafsu menang dan takut kalah. Menang dan kalah, berhasil dan gagal, merupakan persepsi yang sangat relatif. Apalagi kalau kita ingat bahwa setiap jiwa kita bertumbuh dan semakin kuat, biasanya justru dari pengalaman-pengalaman yang kita tuding sebagai kekalahan dan kegagalan.

Pada awal tahun ini, saya mengajak Anda untuk ‘bermain’ dalam hidup. Have fun in your life, instead of letting your life make fun of you. Dalam setiap tahun yang baru, kita semua dihadiahi 31.536.000 detik baru. Mari kita cintai sepenuh hati setiap detik tersebut, setiap momen, apa adanya.

Published, Eve Magazine, Januari 2008. Read More ..

Bercermin Pada Satu Sama Lain

Pernahkah Anda merenungkan di mana rasa bahagia dapat Anda petik dalam kehidupan sehari-hari? Di manakah letaknya bahagia?

Sebagian orang berpendapat rasa bahagia ditemukan ketika kita mencapai apa yang dicita-citakan, didambakan dengan segenap harap. Tidak jarang juga belakangan kita merasa kebahagiaan yang datang dari terpenuhinya kenginan, agaknya cepat berubah menjadi kegelisahan lagi. Mengapa? Mungkin karena Sang Ego tidak pernah mengizinkan kita beristirahat lama dari demam ‘obsesi’.

Setiap hari kita seperti dibanjiri berbagai keinginan dan keharusan. Eksperimen sederhana: dalam waktu 10 detik, tuliskan berbagai keinginan yang ingin Anda capai, barang-barang yang sangat ingin Anda beli dan miliki, ambisi yang terasa harus Anda raih. Sekarang, berhenti sejenak, bernapas. Lalu luangkan waktu sepuluh detik saja untuk menjawab pertanyaan sederhana ini: “Apakah saya saat ini benar-benar menemukan kebahagiaan dalam hidup?”

Coba bandingkan proses dalam diri Anda ketika menjawab kedua pertanyaan tersebut. Biasanya pertanyaan pertama bisa kita jawab dengan cepat, lancar dan ringan, tanpa harus merenungkan penuh makna. Sebaliknya pada pertanyaan kedua, kita mendadak dipaksa berhenti, merenung, berusaha menjawab, yang kemudian bersambut dengan keraguan, lalu mengorek lagi ke dalam diri untuk menebak jawaban yang lebih baik.

Ini yang terkadang meresahkan saya. Pikiran kita di zaman modern ini kerap tenggelam dalam berbagai obsesi, tanpa memiliki kejernihan tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai di balik segala keinginan tersebut. Memang hidup ini cuma permainan, dan terlalu serius pun bisa berbahaya. Namun apa salahnya kita berhenti dan menengok ulang ke dalam diri?

Sepasang Embrio Bahagia bernama “Saya & Anda”

Dalam studi psikologi yang dilakukan di Barat baru-baru ini, ternyata rasa bahagia tersebut tidaklah ditemukan dalam uang (meskipun tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan), maupun taraf pendidikan yang tinggi.
Justru studi tersebut menemukan bahwa hubungan antar pribadi yang baik, seperti persahabatan, keluarga dan relasi cintalah yang menentukan kadar rasa bahagia seseorang.

Jadi berapa nilai aset pribadi dan gelar pendidikan seseorang bukan lagi rumus yang tepat untuk mengukur bahagia, melainkan bagaimana kualitas hubungan pribadi antara orang tersebut dan orang lain di sekitarnya yang menjadi indikator tulen akan kebahagiaan dan kepuasan hidupnya.

Dengan kata lain, kita butuh satu sama lain untuk mencapai bahagia. Inilah momen pencerahannya. Kualitas relasi yang baik antara ‘Saya’ dengan ‘Anda’ ternyata merupakan resep rahasia yang jarang diperhatikan. Kualitas hidup = kualitas hubungan pribadi. Kita menjadi cermin bagi satu sama lain untuk bisa tumbuh.

Dari pengalaman membantu mengatasi problema hubungan antar pribadi, sebagai terapis saya berupaya untuk menelusuri benang merah yang menjadi kunci utama dalam sehatnya tidaknya relasi antar pribadi. Dan ternyata yang saya temukan adalah bukan komunikasi, bukan kejujuran, dan bukan juga kesetiaan. Yang menjadi jantung dari keharmonisan hubungan antar pihak ternyata adalah kesanggupan kita untuk menerima dengan ikhlas. Menerima diri sendiri dan juga menerima orang lain, sepenuhnya, apa adanya.

Namun mencapai tahap hubungan di mana kedua pihak bisa menerima satu sama lain apa adanya bukanlah pekerjaan mudah, terutama karena kita tidak terbiasa bertanggung jawab atas diri sendiri. Mengapa demikian?

Berharap Orang Lain untuk Berubah

Coba saja lihat dalam sebuah konflik di dalam hubungan pribadi, refleks kita untuk menuding mereka yang bersalah atau berharap bahwa orang tersebut akan berubah menjadi lebih baik adalah respons yang lebih sering muncul, sementara memerhatikan ke dalam diri dan menyadari andil kita sendiri dalam situasi tersebut, adalah suatu fenomena yang langka.

Mengharapkan orang lain yang berubah, meski itu merupakan sebuah perubahan yang positif menurut kita, merupakan sesuatu yang tidak mudah, tidak realistis, bahkan lebih sering mustahil. Konsekuensi dari kesimpulan ini adalah keharmonisan relasi merupakan tanggung jawab dari kita sendiri.Menerima diri dan orang lain adalah peran yang hanya bisa dijalankan diri kita sendiri.

Ketika kita yang berharap agar orang lain yang bisa lebih menerima kita, maka sesungguhnya kita yang sedang tidak menerima diri mereka apa adanya. Bilamana kita merasa sulit untuk menerima dalam hati, maka belajarlah untuk menerima diri kita sendiri yang masih belum bisa untuk menerima orang lain.

Perampok Tanggung Jawab Orang Lain

Dalam kasus sebaliknya, ada juga orang yang tidak mengerti batas tanggung jawab dirinya, sehingga seringkali “merampok” porsi tanggung jawab orang lain. Setiap urusan orang lain dijadikan tanggung jawabnya sendiri, dan kalau ada yang tidak beres, maka dia akan merasa dirinyalah yang paling patut disalahkan atas segala situasi.

Bila Anda cenderung ada di posisi ini, cobalah renungkan ulang apakah Anda sering merasa perlu ‘menyelamatkan dunia’, menolong semua orang, dan menjadikan hidup lebih baik? Kalau iya, kemungkinan Anda tanpa disadari bisa saja sering merecoki hidup orang lain, atas nama cinta atau kebaikan, dan di saat itu jugalah hubungan pribadi Anda dengan orang tersebut menjadi tidak sehat.

Ini seringkali muncul dalam refleks selalu ingin menolong, selalu ingin memberikan nasehat, mudah sekali iba kepada orang lain. Jangan salah sangka, saya tidak menyarankan orang untuk bergabung ke dalam komunitas ‘hati beku’ yang tidak peduli dengan sesama. Saya hanya menyoroti keadaan di mana terkadang kita pun bisa lengah dan kurang bijak dalam menolong orang lain.

Hadiah Cinta Paling Bermakna


Dalam hubungan pribadi yang saya alami langsung, maupun dalam kehidupan orang lain yang saya amati, ada dua hadiah cinta yang tak ternilai maknanya, dan bilamana diberikan dengan seimbang, maka biasanya hubungan tersebut cenderung sehat. Hadiah cinta ini berlaku baik pada hubungan cinta, persahabatan, keluarga dan bentuk hubungan pribadi apapun.

Hadiah tersebut adalah perhatian (attention) dan ruang (space). Terlalu banyak perhatian, tanpa diimbangi dengan kebebasan bagi pasangan untuk hidup dan bertumbuh, akan terasa sempit, dan hubungan tersebut akan perlahan berubah menjadi kontes adu kuat, siapa yang lebih sering menang, kalah, unggul atau mengalah. Contoh paling umum adalah hubungan yang cenderung terlalu overprotective antara orang tua dengan anak, atau terlalu banyak pembatasan dan kesepakatan dalam sebuah hubungan cinta.

Sebaliknya, terlalu banyak kebebasan dan ruang gerak, tanpa diiringi dengan perhatian, seringkali berarti ketidakpedulian. Bagaikan hidup saling memunggungi, relasi seperti ini juga hidup dengan bom waktu. Hampir tidak bisa dihindari, bahwa kita memiliki saat-saat tertentu di mana kita ingin diperhatikan, dan juga saat-saat lain di mana kita ingin bebas untuk bertumbuh ke arah manapun alam membimbing.

Saya sajikan sepotong filosofi kehidupan dari Hawaii tentang relasi yang sehat. Menurut mereka, ada empat penggal kalimat universal yang bilamana dihayati merupakan kunci dari sembuhnya segala bentuk masalah antar pribadi, yaitu:

I’m sorry.
Please forgive me.
I love you.
Thank you.


Maukah Anda menemani saya dalam perjalanan bercermin ini? Ingatlah sejenak orang-orang yang ada dalam kehidupan Anda. Perhatikan bagaimana kehadiran mereka serta hubungan yang Anda jalani bersama mereka, telah memupuk Anda menjadi sosok jiwa saat ini. Sudahkah cukup dan berimbang hadiah ‘perhatian’ dan ‘ruang’ yang kita berikan pada mereka? Bisakah dalam hati, Anda sampaikan kepada mereka, “I’m sorry. Please forgive me. I love you. Thank you”?

Semoga makna dari filosofi tersebut terus bergema dalam hati Anda, dan pantulannya singgah dalam jiwa setiap orang yang singgah dalam hidup kita. Di balik segala peran dan kerumitan hidup ini, pada akhirnya kejernihan sederhana sebenarnya berpangkal pada ‘Saya’ dan ‘Anda’.

Published, Eve Magazine, Desember 2007.
Read More ..

Wednesday, May 07, 2008

Menerima Segala Sesuatu Apa Adanya

Belum lama ini, saya selalu mengirimkan ucapan selamat ulang tahun via sms kepada para teman-teman yang isinya begini: “Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu mencintai dirimu sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.” Apakah ucapan seperti ini seperti menyarankan untuk hidup apatis dan pasif? Ataukah di dalamnya tersembunyi suatu pesan yang bisa kita nikmati?

Sebenarnya, kalau hidup modern ini mau diamati, kita cuma punya satu permasalahan utama. Sesuatu yang begitu lumrah, biasa, bahkan lebih sering tidak kita sadari keberadaannya. Sesuatu yang sudah sedemikian otomatis, tak terhindarkan dan dihadapi setiap hari, sehingga tidak lagi terdeteksi sebagai sesuatu yang perlu diatasi. Sesuatu yang sebenarnya begitu mendasar dalam munculnya berbagai konflik dalam kehidupan pribadi maupun karier kita, bahkan tidak jarang mengakibatkan penyakit.

Hal itu adalah… stres.

Terbiasa Melarikan Diri


Ya, kita tahu tentang kata ‘stres’, mengerti tentang artinya, bahkan akrab dengan rasanya. Namun dalam pengamatan saya berbagi pengalaman dengan para klien terapi, sedikit sekali di antara kita yang tahu dan mampu mengelola stres secara sehat. Dalam percakapan sehari-hari, lazim saya dengar berbagai orang mengatasi stres dengan cara makan enak, berbelanja barang-barang yang diidamkan, menyanyi, berdansa, olahraga, merokok, menikmati alkohol, dll.

Tentunya dari berbagai kegiatan mengatasi stres yang ditulis di atas, tidak ada yang salah bilamana dilakukan pada takaran yang pas. Masalahnya adalah, selain kadang dilakukan berlebihan, semua kegiatan di atas mempunyai suatu kesamaan. Semuanya cenderung dilakukan untuk mengalihkan perhatian kita dari situasi atau permasalahan yang membuat kita mulai stres. Dengan kata lain, semua di atas bersifat “pelarian”, ketimbang menghadapi.

Baru Peduli Ketika Sudah Terlambat


Pertanyaannya sekarang: mengapa kita tidak mau menghadapi masalah atau situasi yang membuat stres? Sementara kita sibuk mengalihkan perhatian dari masalah, sebenarnya stres kita tidak benar-benar sirna, hanya sekadar larut dan tertimbun begitu dalam di gudang jiwa, dan lambat laun gudang tersebut akan penuh dan meledak. Ketika sudah mencapai titik buyar ini, barangkali meledaknya stres tersebut disertai dengan pecahnya konflik dalam hubungan antar pribadi, atau disertai penyakit kronis fisik yang sudah telanjur sulit diobati.

Cukup ironis bahwa terkadang kalau kita mulai ada gejala sakit ringan, seperti batuk, bersin atau demam, maka kita relatif cepat mencari obat, periksa ke dokter atau rumah sakit. Namun, ketika kita stres, terutama ketika memiliki masalah dalam hubungan pribadi kita dengan orang lain, agaknya cenderung ditunggu dulu sampai parah stadium-4 atau kondisi siaga-5, barulah kita sadar dan mulai memerhatikannya.

Saya jadi berpikir, apakah ada hal-hal kecil dan sederhana yang bisa kita pahami, tempuh, dan petik dari sesuatu yang begitu akrab dengan keseharian kita ini? Dalam renungan singkat ini, saya mengundang Anda untuk menelusuri di mana titik lahirnya stres.

Formula Lahirnya Stres & Masalah


Saya ingin menawarkan sebuah formula tentang stres dan masalah, yaitu:

MASALAH = observasi panca indra + evaluasi pikiran + rasa tidak nyaman hati

Contoh pertama, misalnya saya bermasalah terjebak macet dan stres sepanjang jalan karena mengejar waktu untuk rapat bisnis yang penting. Masalah ini punya tiga komponen, dari: (1) panca indra, yang mengobservasi lewat pandangan dan pendengaran bahwa saya sedang terjebak macet, dan beberapa ratus meter ke depan kelihatannya tidak ada tanda-tanda lancarnya lalu lintas, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “ini buruk sekali! Saya bisa terlambat ke rapat bisnis dan ditegur oleh atasan saya”, dan (3) hati, yang takut dimarahi, takut kehilangan kesempatan bisnis, marah dengan kenyataan terjebak macet.

Contoh kedua, misalnya seorang istri yang dimarahi suaminya dalam suatu konflik dan merasa stres. Ini pun punya tiga komponen yaitu, (1) panca indra yang melihat dan mendengar peristiwa konflik dan dimarahi, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “oh, ini tidak benar! Saya kan tidak salah kenapa dibentak-bentak seenak hatinya! Saya harus membela diri”, dan (3) hati, yang tidak terima dimarahi, ingin membalas dengan caci maki atau merasa sedih karena selalu disalahkan.

Obat Stres yang Lazim tapi Rapuh

Jadi, semua bentuk masalah, pasti punya tiga komponen ini. Biasanya upaya yang paling lazim adalah kita mengerahkan segenap kemampuan kita untuk berusaha mengubah komponen pertama, yaitu situasi dan kondisi objektif yang dapat kita amati dengan panca indra. Umpama dalam contoh di atas, kita berusaha mengubah situasi macet dengan mencari jalur alternatif, atau menghentikan omelan suami dengan berbalik marah, kabur ke ruangan lain, atau berusaha menjelaskan posisi kita agar dia tidak lagi marah-marah.

Namun tidak semua situasi dan kondisi dapat kita kendalikan sepenuhnya, karena biasanya melibatkan orang lain serta kehendak Tuhan. Bahkan pada saat kita berhasil mengubah situasi dengan daya upaya sekalipun, belum tentu perubahan tersebut akan stabil dan tidak berubah lagi. Mengubah situasi dan kondisi yang kita tidak inginkan, memang merupakan suatu cara untuk menjadi bahagia. Namun kebahagiaan tersebut sangat rapuh, karena tidak selalu dapat dicapai, dan kalaupun dicapai, belum tentu permanen.

Melirik Kebiasaan Menilai dan Mengevaluasi

Di lain sisi, apa yang menjadi evaluasi di pikiran kita, maupun perasaan di hati yang muncul sekejap setelahnya, cenderung dianggap baku, kaku, dan tidak bisa lagi diubah. Memang, perasaan hati akan cenderung mengikuti evaluasi pikiran, atau bagaimana kita melihat dan menilai suatu kondisi. Kalau kita menilai suatu kondisi baik/benar, maka kita cenderung merasa senang dan nyaman. Kalau suatu kondisi kita nilai sebagai buruk/salah, maka kita menderita dan tidak nyaman. Inilah yang saya sebut penjara baik/buruk vs benar/salah.

Coba kita ingat seorang bayi. Jarang sekali sewaktu kecil, seorang bayi mengalami stres dibanding sewaktu dewasa nanti. Cara mereka menghadapi hidup dan dunia ini adalah bermain, bereksplorasi, dan penuh semangat keingintahuan. Tidak lama kemudian, jiwa sang bayi mulai belajar dari keluarga, sekolah dan lingkungan untuk menilai, mengevaluasi, menghakimi mana yang benar atau salah, mana yang baik atau buruk. Kemudian, ia beranjak dewasa, semangat bermain berubah menjadi serba serius, eksplorasi dan rasa ingin tahu menjadi keharusan untuk selalu benar dan baik, dan penuh rasa takut berbuat salah atau dinilai buruk oleh orang lain.

Saya tidak menyangkal bahwa kemampuan membeda-bedakan memang kita butuhkan agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam hidup ini, tapi pada saat yang sama kita sebagai manusia dewasa terlalu sering menyalahgunakan kemampuan evaluasi ini untuk terlalu banyak membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Saya Selalu Merasa Ada Tidak Beres dengan Diri Saya

Efek akhir dari terlalu sering menilai dan mengevaluasi ini adalah kita selalu merasa kurang layak, kurang percaya diri, kurang bahagia, selalu merasa ada yang perlu kita perbaiki di dalam diri kita, penampilan kita, dan hidup kita.

Tanpa kita sadari, perjalanan jiwa kita menuju kedewasaan telah juga ditunggangi oleh ‘virus pikiran’ yang tak pernah puas dengan hidup. Tak peduli kita punya begitu banyak berkah yang pantas disyukuri, semua itu tidak pernah cukup. Dan rasa ketidakcukupan itulah yang menjadi lahan gembur untuk lahirnya… stres.

Tidak ada Penilaian Yang Absolut, Semua itu Relatif

Kalau kita mau menengok sedikit lebih dalam, segala penilaian yang kita buat dalam pikiran tersebutlah yang membuat kita sulit untuk menerima dengan segala sesuatu apa adanya, apalagi berdamai dengan kenyataan.

Mari kita ambil sebuah contoh, misalnya saja perilaku malas. Umumnya, orang yang sedang malas, akan dicap dan dihakimi sebagai pihak yang berkelakuan buruk dan salah. Namun pada situasi di mana seseorang terobsesi dengan bekerja (workaholic), pernahkah kita terpikir bahwa justru bila dia ‘disuntik’ virus malas, itulah yang akan membawa keselarasan yang sehat dalam hidupnya?

Contoh lain, menangis umumnya dinilai sebagai kelemahan yang perlu dihindari, karena menunjukkan tidak kuatnya jiwa, kurang gagah, dsb. Namun dalam ilmu penyembuhan dan terapi, menangis adalah salah satu tanda terbebasnya jiwa dari tekanan hidup yang berkepanjangan, dan juga seringkali merupakan titik awal sembuhnya seseorang, baik dari penyakit fisik maupun masalah kejiwaan.

Untuk setiap sudut pandang tentang apapun, selalu ada sudut pandang sebaliknya yang memiliki keabsahan yang sama. Dengan kata lain, kita juga tidak harus selalu bersikukuh dengan penilaian, sudut pandang, dan evaluasi kita dalam suatu situasi, maupun tentang perilaku orang lain.

Melatih “Tak Menilai” Dalam Keseharian

Bagi saya pribadi, saya ingin tetap bisa menilai segala sesuatu dengan wajar dan pada tempatnya. Namun saya juga menyadari betapa pikiran saya sudah sedemikian lama terjangkit kebiasaan menilai yang berlebihan, sehingga perlu latihan yang sadar, sengaja dan khusus agar tidak selalu bersikukuh dengan penilaian saya.

Pertama, saya sangat mencintai napas saya. Kapan pun kita bernapas dengan sadar dan mengembuskannya dengan lega, rasa di hati selalu terasa lebih cair, lebih bebas, dan lebih lapang. Itu sebabnya dalam situasi yang sulit, atau ketika saya telanjur menilai situasi atau orang lain, saya sengaja menghentikan diri untuk bernapas sejenak. Tidak perlu terlalu lama, cukup hirup napas dengan lembut, rasakan diri Anda, dan embuskan dengan perlahan, “aaah…”. Ulangi beberapa kali hingga terasa lebih tenang.

Anggaplah napas ini sebagai tombol reset pada komputer yang menetralisasi segalanya atau, seperti ungkapan sahabat saya, bagaikan teriakan seorang sutradara film “Cut!” dan semua drama yang dilakoni berhenti. Kembali ke kenyataan.

Kedua, setelah lebih tenang, saya mengingat bahwa apa pun penilaian saya akan situasi atau orang lain saat ini, tentu ada berbagai penilaian dan sudut pandang lain yang sama sahnya, dan belum tentu sudut pandang sayalah yang paling benar. Bahkan ketika saya mengerti sepenuh hati bahwa semua sudut pandang sebenarnya memiliki kebenaran masing-masing, tergantung dari arah mana kita menghadapi masalah, saya tidak punya alasan untuk memaksakan pendapat ataupun membuktikan bahwa sayalah yang paling benar, dan pihak lain yang salah.

Ketiga, saya berusaha mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi, segala sesuatu muncul dengan sempurna sebagaimana yang memang harus terjadi. Secara singkat: apa yang seharusnya terjadi, adalah apa yang sedang terjadi. Barangkali saya tidak selalu langsung mengerti mengapa situasi harus terjadi seperti ini, ataupun langsung mengerti hikmahnya, namun ketika saya siap untuk memahami, saya akan melihat dengan perspektif yang lebih melegakan.

Semuanya Berpulang pada Diri Sendiri

Saya sadar betul bahwa berbagai sudut pandang yang saya cantumkan di atas merupakan sebuah evaluasi pribadi saya terhadap kehidupan. Berbagai persetujuan maupun keberatan yang mungkin saja muncul dalam benak Anda, memiliki kebenaran yang sama sahnya, karena kita sulit sekali hidup tanpa menilai dan berpendapat.

Pada akhirnya, apapun sudut pandang yang kita pilih sebagai kebenaran, tentunya tergantung dari diri kita sendiri. Bagi yang jeli dalam merenungkan formula stres di atas, mereka pun akan menyadari bahwa semua masalah sebenarnya kuncinya pun kembali pada diri kita sendiri, bukan berubahnya situasi atau tergantung orang lain.

Dan mungkin, kalau kita bersama-sama lebih sadar tentang hal ini, maka segala upaya mengatasi kehidupan dan dunia yang semakin cepat, tegang, dan penuh beban ini bisa menjadi perjalanan yang lebih ringan, ikhlas, dan selaras.

Semoga kita semakin mencintai diri kita sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.

Published, Eve Magazine, November 2007.
Read More ..