tag:blogger.com,1999:blog-315712282024-03-07T15:12:59.286+07:00Inner Life of Reza Gunawan"Ketika pikiran dan rasa tuntas diungkap dan disajikan, maka batin pun kembali hampa, kosong, lega dan lapang. Di sinilah kita bisa menghayati kebenaran yang paling sejati. Di sinilah kita bisa menemukan kembali jiwa kita yang natural. Saya undang Anda untuk merenung, merasa dan mengungkap diri Anda agar kita bisa bertemu dalam hening itu."Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.comBlogger28125tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-32042901648795265792009-02-12T13:39:00.003+07:002009-02-12T13:47:05.767+07:00Pindah Rumah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4K1YpqWNqVNWyiygvG0AOxO_KT5FmWiSJV3p427IqaZnXkogNVq2myJ06SHgGBS_4VuVGG7UFy132fm9rYUqdZfE6Eu3TxW5JB7n9n727SWAI8IKoNnWIsPSoLgpOZQ78jX0wVg/s1600-h/iStock_000003670136XSmall.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 154px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4K1YpqWNqVNWyiygvG0AOxO_KT5FmWiSJV3p427IqaZnXkogNVq2myJ06SHgGBS_4VuVGG7UFy132fm9rYUqdZfE6Eu3TxW5JB7n9n727SWAI8IKoNnWIsPSoLgpOZQ78jX0wVg/s320/iStock_000003670136XSmall.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5301798343609869986" /></a><br />Kepada pembaca Inner Life of Reza Gunawan,<br /><br />Saya menemukan napas kreatif baru, untuk terus menulis, berbagi dan berinteraksi dengan mereka yang mencintai hidup selaras dan alamiah.<br /><br />Setiap siaran dan talkshow yang pernah dilakukan, sekarang dituangkan secara bertahap dalam bentuk tulisan, dan tersedia untuk diskusi bagi yang berminat dalam blog baru saya.<br /><br />Dan untuk rezagunawan.blogspot.com ini sendiri meski tidak akan ditutup, namun sementara waktu tidak akan saya isi dengan posting baru, agar energi kreativitas saya bisa berkembang di satu rumah dulu saja, yaitu <a href="http://rezagunawan.com">rezagunawan.com</a><br /><br />Berkunjunglah barang sejenak, semoga Anda bisa menikmatinya, sama seperti saya menikmati proses penciptaannya.<br /><br />Salam,<br />RezaReza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-11066950112160548442009-01-23T22:45:00.003+07:002009-01-27T06:19:41.643+07:00Blog Baru: Self Healing - Reza Gunawan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSPBjIfQs3KqrVHh1Ag2VBJ-e-QKdLY09hGQL1ueH-hh_SrwCzAzhGZrB2upkmd3kGIllhWeXyenPFoLF1mGd8ENq6jfxyYyBKBWFVJ-bwp0JtqAtoGoF2WhEmF8eBqLRglIeVVw/s1600-h/rm.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 179px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSPBjIfQs3KqrVHh1Ag2VBJ-e-QKdLY09hGQL1ueH-hh_SrwCzAzhGZrB2upkmd3kGIllhWeXyenPFoLF1mGd8ENq6jfxyYyBKBWFVJ-bwp0JtqAtoGoF2WhEmF8eBqLRglIeVVw/s320/rm.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5294517317951559874" /></a><br />Kepada para pembaca blog yang budiman,<br /><br />Nikmati rangkuman renungan, tulisan dan siaran Reza Gunawan, baik yang pernah disajikan di televisi maupun radio, di blog baru kami.<br /><br />Alamatnya adalah <span style="font-weight:bold;"><a href="http://rezagunawan.com">rezagunawan.com</a></span>.<br /><br />Disini Anda bisa berdiskusi, komentar, tanya-jawab lebih mendalam seputar self healing dan bagaimana kita semua bisa menikmati hidup semakin ringan, ikhlas dan selaras. Bahkan Anda pun boleh memberikan usulan topik yang ingin dibahas dalam siaran radio mingguan kami di Cosmopolitan FM 90.4, tiap Selasa pukul 07.00 - 08.30.<br /><br />Saya tunggu kunjungan, kehadiran, dan partisipasi Anda.<br /><br />Salam,<br /><span style="font-weight:bold;">Reza Gunawan</span><br /><span style="font-weight:bold;"><a href="http://truenaturehealing.net">www.truenaturehealing.net</a></span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-55903965222565041722009-01-20T11:11:00.003+07:002009-01-23T23:00:25.377+07:00Yes, this is personal.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4Z6JGtOYAu9fLV9dRf56QvQyTwghhMSQsOF6PLcjwWs9gJZFGdyri3eihF57GI2zWbB2F07IrXlDmgtwN27DGKchG0jqsnGs9SzPR0XMm7VunLjm_UnYvbk6DoMt9cBdUtSYfiQ/s1600-h/rd.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4Z6JGtOYAu9fLV9dRf56QvQyTwghhMSQsOF6PLcjwWs9gJZFGdyri3eihF57GI2zWbB2F07IrXlDmgtwN27DGKchG0jqsnGs9SzPR0XMm7VunLjm_UnYvbk6DoMt9cBdUtSYfiQ/s320/rd.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5294518801910153698" /></a>I truly appreciate<br />how warmly you held me in the mornings of our wakefulness<br />how tightly you embraced my heart in the midst of difficulties<br />how honestly you share the innermost fears and desires<br /><br />I truly love<br />how gently you let me ease into the sudden life of fatherhood<br />how sincerely you experimented with cooking recipes that had fed our hearts<br />how peacefully you made me feel when we sit in silence, just breathing<br /><br />I truly celebrate in gratitude<br />how you bravely allowed me to die, and welcomed my rebirth heartfully<br />how you made room for my misery, even when it can seem endless at times<br />how you gave permission me complain over coffee, shrimps and little fishes<br /><br />To the most wonderful companion in my life...<br />I love you deeply, my bestfriend, my soultwin, my lovely wife.<br />May we always share and celebrate our laughter, our tears and our silence.<br />Happy birthday, sweedee.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPXu6C_y5nsn8Z8IwthTqEklxDRE8761_RDkT_7FdcGopFt_sNq0T4YOIKbTzrlBpWhuk0EuTuF3ErM6bnGVbCRkuGBR8PF6zGjy4ZGIBds9KpcYdDQDfW0GtL8CDRq2zMYHfL0w/s1600-h/candleblow.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 319px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgPXu6C_y5nsn8Z8IwthTqEklxDRE8761_RDkT_7FdcGopFt_sNq0T4YOIKbTzrlBpWhuk0EuTuF3ErM6bnGVbCRkuGBR8PF6zGjy4ZGIBds9KpcYdDQDfW0GtL8CDRq2zMYHfL0w/s320/candleblow.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5294519177372111010" /></a>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-45289192766728729492008-12-01T11:22:00.004+07:002008-12-01T12:21:16.168+07:00Media Gosip: 'secuil' Fakta berbumbu Isapan Jempol & FitnahEntah sudah beberapa tahun di Indonesia, kita memperhatikan fenomena dan sepak terjang dunia pergosipan (baca: infotainment). Saya masih ingat suatu waktu ketika keluarga saya sendiri seringkali menikmati tayangan kehidupan figur publik tanah air, setiap hari. Saya sendiri sejak dahulu tidak terlalu menikmatinya, karena menurut saya buat apa mengintip urusan pribadi orang lain. Begitu banyak urusan sendiri yang masih perlu perhatian. Namun karena tinggal di satu rumah, saya akhirnya memutuskan untuk latihan bertoleransi terhadap kebiasaan keluarga tersebut.<br /><br />Saya tidak pernah menyangka bahwa observasi saya pada saat itu, ternyata berkembang menjadi suatu pengalaman, bahkan pelajaran, yang cukup mendalam. Pengalaman selama beberapa bulan terakhir ini dipicu oleh perubahan baru dalam kehidupan pribadi saya. Rasa pahit, sedih, bercampur marah tidak jarang menghampiri. Memang benar kata orang bijak, kita belajar bukan dari pengalaman yang manis, namun justru yang berat dan pahit.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Jarak dan Keterlibatan Mempengaruhi Strategi</span><br /><br />Dahulu, mudah sekali saya menyimpulkan dalam hati ketika teman-teman figur publik menyampaikan uneg-unegnya diburu pers. Dalam benak saya berkata “ah, itu kan resikomu menjalani peran sebagai figur publik, mau tidak mau harus belajar menerimanya kan?” Hidup memang lucu, ketika kita mengamati suatu pengalaman dari jarak tertentu, dengan kadar keterlibatan tertentu, maka rasa, pengalaman dan kesimpulan yang kita petik bisa jauh berbeda begitu jarak dan keterlibatan kita mengental. Itupun terjadi pada saya, sekarang saya belajar memelihara kewarasan dengan kadar keterlibatan yang baru.<br /><br />Menurut pengamatan saya, yang juga diperkuat dengan saran berbagai pihak, untuk menghadapi buruan serigala pelaku infotainment, strategi yang paling jitu adalah “cuekin aja”, atau “no comment”, atau “diam itu emas”. Boleh dibilang sebagian besar figur publik menggunakan strategi ini sebagai “agama”-nya. <br /><br />Entah apa alasannya, saya merasa cuek itu berbahaya. Memang kita jadi lebih terlihat dari luar seperti tenang, seperti tak terpengaruh, dan seperti kuat. Namun ketika rasa tidak nyaman tersebut terus menerus diacuhkan, dia mulai menyelinap ke bawah sadar, dan mulai menggerogoti ketenangan sejati, bahkan kesehatan fisik dan mental.<br /><br />Diam itu emas pun, bilamana tidak ditakar dengan bijaksana, seringkali bagaikan menumpuk bom waktu. Saya sudah beberapa kali mengalami ini. Justru ketika saya mengizinkan diri untuk berbicara, tanpa diikuti harapan untuk mengubah orang lain, hanya sekadar mengkomunikasikan isi hati, di saat itulah saya berhasil memulihkan ketenangan dan kedamaian. <br /><br />Dalam ilmu terapi, kita bisa lega ketika berkesempatan mengekspresikan diri secara jujur, apakah itu melalui menulis, berbicara, melukis, menari, bernyanyi, dll. Selama ekspresi tersebut tidak diikuti harapan hati untuk mengubah pendapat dan sikap orang lain, dia tidak akan menumpuk lebih banyak stres, justru mencairkan beban yang sudah ada. <br /><br />Agaknya inilah satu-satunya alasan mengapa saya menulis, terkadang tentang kehidupan pribadi saya, karena bagi saya, menulis adalah terapi untuk diri sendiri. Ketika jarak dan keterlibatan narasumber dengan pelaku infotainment sudah sedemikian dekat, maka strategi cuek dan diam sudah kehilangan efektivitasnya bagi saya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Berita infotainment: lebih banyak fakta atau fiksi?</span><br /><br />Kalau dari kata ‘gosip’, sebenarnya kita semua tahu bahwa gosip tidaklah selalu faktual, namun saya sering mendapati bahwa tanpa sadar, saat kita duduk depan televisi yang menyiarkan acara gosip, atau membaca tabloid gosip, sulit sekali untuk tidak berpendapat tentang liputan tersebut, atau bisa menikmatinya dari posisi yang netral. Bahkan tidak mudah juga untuk menerimanya sebagai gosip (baca: belum tentu fakta). <br /><br />Saya ingin berbagi pengalaman pribadi tentang proses peliputan berita gosip yang saya alami. Tentunya belum tentu setiap figur publik mengalami persis sama dengan yang saya alami. Sebelum pengalaman ini, saya pun sudah cukup sering menghadapi media cetak maupun televisi (yang bukan media gosip) untuk keperluan liputan seputar kesehatan holistik. <br /><br />Dari pengalaman media umum (bukan media gosip), tidak jarang ada pemberitaan yang melenceng dari wawancara. Ini cukup saya bisa maklumi karena terkadang pewawancara kurang jeli atau kurang mengerti, sehingga ketika dia menuangkan tulisannya, terpaksa memang menggunakan interpretasi subjektifnya sendiri. <br /><br />Namun dalam pengalaman dengan media gosip, sungguh luar biasa derajat pemutarbalikan fakta, dan berikut ini saya ingin berbagi beberapa strategi peliputan gosip yang sudah pernah terjadi. Ini hanya sebagian contoh yang kami alami, saya hanya ingin memberikan gambaran nyata proses peliputannya saja:<br /><span style="font-style:italic;"><br />1. Pemalsuan suara narasumber<br /></span><br />Dalam suatu kesempatan, asisten Dewi Lestari ditelepon oleh salah satu infotainment yang meminta kesempatan wawancara, sekaligus klarifikasi berita pernikahan kami. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ternyata percakapan telepon tersebut direkam oleh pihak infotainment. Ini belum apa-apa, karena begitu keesokan harinya ketika rekaman percakapan tersebut ditayangkan, di akhir komentar sang asisten tersebut, ada lanjutan suara wanita lain yang mirip dengannya, memberikan komentar dan pernyataan tambahan yang tidak pernah disebutkan oleh sang asisten, dan dibuat seolah-olah menjadi satu komentar utuh dari pihak yang sama. <br /><br /><span style="font-style:italic;">2. Pelencengan drama melalui narator<br /></span><br />Pernahkah Anda memperhatikan suara narator dalam liputan infotainment, dengan intonasi dramatis? Itu juga salah satu alat pembentukan opini dalam liputan infotainment. Ketika sudah diselipkan di antara komentar langsung dari narasumber, maka pemirsa sulit membedakan lagi yang mana fakta, dan yang mana fiksi.<br /><br /><span style="font-style:italic;">3. Fitnah yang sengaja, maupun (barangkali) tidak disengaja<br /></span><br />Baru-baru ini, ada sebuah insiden antara saya dengan peliput gambar infotainment. Saat shooting acara televisi di panggung, saya berbicara baik-baik untuk meminta agar pengambilan gambar tidak dilakukan dengan jarak sangat dekat. Awalnya, kedua peliput gambar dari Indigo Production tersebut mau mengerti, dan kemudian meliput dari jarak yang lebih renggang, sehingga kami lebih nyaman dalam melaksanakan pekerjaan kami. Ini sangat saya hargai.<br /><br />Namun ketika saya dan Dewi berjalan dari panggung menuju ruang rias, dan kemudian menuju mobil, kamera tersebut terus mengikuti kami dengan jarak sangat dekat, sekitar 30-50 cm dari tubuh kami, dan saya hanya bicara berulang kali agar peliputan gambar sudah cukup. Si peliput gambar hanya sekadar mengiyakan di mulut, tanpa mematikan kamera atau mengambil jarak yang lebih santun. Akhirnya saya memegang lensa kamera dengan permintaan yang sama, sambil memasuki mobil. Tiba-tiba si peliput gambar justru marah, memaki-maki kasar, bahkan memukul mobil saya dengan peralatannya.<br /><br />Begitu keluar di liputan gosip online 'artistainment.wordpress.com', justru saya yang dinyatakan marah tanpa sebab yang jelas, dan bahkan dicurigai bahwa sayalah yang menghantamkan peralatan kamera ke mobil saya sendiri. Ini tidak mungkin terjadi karena waktu saya mendengar bunyi peralatan bertumbukan dengan mobil, kami semua sudah berada dalam mobil dengan pintu dan jendela tertutup. Saya punya minimal 3 saksi langsung dalam insiden ini. Entah karena dendam atau alasan apa, berita yang keluar justru sangat jauh dari kronologisnya.<br /><br /><span style="font-style:italic;">4. Wawancara imajiner<br /></span><br />Dalam tabloid C&R, pernah sekali Dewi Lestari muncul dalam sebuah artikel yang dikemas dalam bentuk wawancara langsung tentang kedekatan Dewi dengan saya. Ini sudah dibahas sebelumnya dalam posting Dewi di dee-idea.blogspot.com. Wawancara tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Tidak pernah ada kontak bicara, email atau telpon dengan sang wartawan. Bahkan beberapa waktu kemudian, kami mendapat input dari salah seorang mantan peliput infotainment, bahwa memang ada teknik ‘wawancara imajiner’, yang dihalalkan (baca: dianggap lazim dan boleh) dalam dunia peliputan gosip, karena teknik ini meningkatkan nilai berita yang disajikan.<br /><br /><span style="font-style:italic;">5. Bongkar pasang komentar narasumber dan mengubah judul liputannya.<br /></span><br />Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota keluarga Marcell diwawancara infotainment dengan pertanyaan apakah dirinya kecewa dengan perceraian Dewi-Marcell, dan dengan tenang dia menjawab di depan kamera bahwa dalam setiap perpisahan tentu ada kekecewaan, namun agaknya kedua pihak sudah memutuskan bahwa itulah yang terbaik, jadi pihak keluarga tentunya juga tidak menghalangi bilamana itulah jalan yang membuat kedua pihak bahagia. <br /><br />Tetapi dalam liputan infotainment, keluarlah teks “Keluarga Marcell kecewa dengan keputusan Dewi”, didukung narator yang mengatakan bahwa pihak keluarga Marcell kecewa karena Dewi memutuskan untuk menikah dengan saya, bukannya kecewa karena keputusan Marcell dan Dewi untuk berpisah, sebagaimana liputan wawancara yang sebenarnya. <br /><br />Jadi dalam hasil bongkar pasang tersebut, muncullah kesan adanya kekecewaan keluarga Marcell atas pernikahan kami, bukan atas perceraian sebelumnya. Bongkar pasang komentar dan narasi seperti ini, mungkin juga lazim dan lumrah. <br /><br /><span style="font-style:italic;">6. Salah menangkap fakta<br /></span><br />Kalau kategori terakhir ini, terus terang lebih banyak mengundang gelak tawa dan senyum bagi kami yang diliput. Meskipun saya akui, mungkin saja ini lebih banyak tidak disengaja. Di tengah keterbatasan informasi, keluarlah berbagai liputan maha meleset seperti:<br /><br /><span style="font-style:italic;">“Marcell dan Dewi tukar pasangan, karena Reza Gunawan dan Rima Adams dulu adalah pasangan suami istri.”<br /></span><br />Fakta: Reza dan Rima baru kenal beberapa bulan yang lalu, ketika Marcell memperkenalkan Rima sebagai kekasihnya. Rima memang sudah pernah menikah, dan kemudian bercerai dengan mantan suaminya yang tinggal di luar negeri. Tetapi mantan suami tersebut bukanlah Reza.<br /><br /><span style="font-style:italic;">“Ketika Reza sudah mengakui hubungan cintanya dengan Dewi Lestari, justru Dewi MENYANGKAL dengan pernyataan blognya ‘There’s nothing unspecial between me and Reza’ yang artinya tidak ada yang istimewa dengan hubungan saya dan Reza”<br /></span><br />Fakta: salah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Nothing unspecial” artinya tidak ada yang tidak istimewa. Ini cukup membuat kami terpingkal-pingkal karena liputannya menggunakan narator dramatis yang membacakan skrip salah terjemahan tersebut. Ini membuat Dewi dituduh menyangkal, bahkan dicap munafik. Bagi kami, rasanya seperti ada lomba adu bodoh antar infotainment, dan mereka saling mengungguli satu sama lain, sehingga kami sulit menentukan “siapa yang jadi juaranyaaa…”<br /><br /><span style="font-style:italic;">“Balada wanita paruh baya berusia hampir 50 tahun”<br /></span><br />Oh, ada satu lagi. Dulu sekali, Rima sempat diliput sebagai wanita paruh baya yang ada di dalam mobil Marcell. Dengan bermodal niat baik, dalam blognya, Dewi berusaha menjelaskan bahwa Dewi kenal langsung dengan Rima yang begitu baik dan ramah, dan juga Rima itu “nowhere near half century old”. Begitu keluar di salah satu media online, tulisannya menjadi “Kabarnya Rima ini sudah berusia hampir 50 tahun / setengah abad”. Saya langsung menyerah dan angkat tangan.<br /><br /><span style="font-style:italic;">“Nama anak kami sering sekali salah liput” <br /></span> <br />Entah mengapa di berbagai media keluar nama “Keenan Sidharta, 3 tahun”, padahal nama aslinya “Keenan Avalokita Kirana” dan dia sudah berusia 4 tahun lebih.<br /><br /><span style="font-style:italic;">“Seringnya komentar yang tertukar dan/atau ditambah”<br /></span><br />Sewaktu saya dan Dewi diwawancari di Blitz Megaplex, dan kami membaca liputan tertulisnya di beberapa media, banyak sekali komentar yang tertukar. Pernyataan yang saya buat, justru diliput seolah Dewi yang berbicara dan juga sebaliknya. Bukankah kalau memang wawancara tersebut direkam gambar dan/atau suaranya, peliput bisa membedakan siapakah yang sedang membuat pernyataan? Bahkan banyak juga pernyataan yang tidak pernah kami sampaikan, tetapi diliput seolah kami mengatakan hal-hal yang sebenarnya isapan jempol sang peliput.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pernyataan Terpenting yang Perlu Perenungan</span><br /><br />Saya belajar untuk realistis. Di tengah praktek pelaku liputan gosip yang seringkali menjengkelkan karena melanggar etika dan privasi, saya tidak menuntut atau meminta mereka berhenti, atau menjadi lebih etis dan cerdas. Itu cukup menjadi doa dalam hati saya saja.<br /><br />Fokus yang terpenting saat ini adalah bukan pada para peliput gosip, namun pada saya dan Anda sebagai publik. Ketika kita terekspos dengan informasi gosip terkini setiap hari, tentunya merupakan pilihan bebas kita masing-masing untuk mengonsumsinya (baca: lihat, baca dan dengar) atau tidak. <br /><br />Namun pertanyaan maha pentingnya adalah, setelah kita tahu bagaimana proses peliputan di balik produk berita-jadi-siap-saji tersebut, apakah kita masih bisa berasumsi bahwa apa yang kita tangkap dari media gosip, merupakan fakta, atau minimal lebih banyak faktanya?<br /><br />Dan lebih lanjut lagi, kalau kita bisa melihat bahwa kadar fakta dalam liputan gosip seringkali sangatlah sedikit, masihkah kita bisa mempertahankan bahkan menganggap benar pendapat, reaksi, dukungan, cibiran, pujian, hinaan, dan sederet penilaian kita yang didasari oleh berita-minim-fakta tersebut? <br /><br />Hanya diri kita yang bisa menjawabnya dengan hati yang jujur. <br /><br />Yang saya tahu pasti, sebagai pihak yang terlibat langsung dengan jarak dekat, sekarang saya menyadari bahwa kesehatan mental saya sendiri, berbanding terbalik dengan konsumsi infotainment yang saya terima. Bahkan saya telah mencabut ulang semua penilaian dan pendapat saya terhadap setiap figur publik yang diliput infotainment, karena sejujurnya saya tidak tahu apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi secara faktual dalam hidup dan pilihan mereka. <br /><br />Bagi saya, mengkonsumsi informasi gosip dengan terus membacanya, menyaksikannya, bahkan menceritakannya pada orang lain, secara tidak langsung menjadikan saya berpartisipasi aktif sebagai pelaku gosip, yang memang terkadang lebih enak daripada membicarakan kelemahan dan permasalahan diri dan keluarga kita sendiri.<br /><br />Bagi saya, biarlah ukuran baik-buruk dan benar-salah dalam kehidupan mereka tidak diukur oleh kesadaran manusiawi yang tidak lepas dari keterbatasan. Bagi saya, itu urusan pribadi antara mereka dan Sang Maha.Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com45tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-17338879209208378512008-09-04T15:15:00.001+07:002008-09-04T15:16:56.098+07:00Bersahabat dengan NafsuSiapa manusia yang tidak kenal dengan nafsu? Nafsu adalah bagian alami semua makhluk hidup. Nafsu adalah energi yang mampu menggerakkan kita dalam hidup ini. Dia sanggup mendorong sepotong buah pikiran menjadi minat, dan kemudian menghasilkan tindakan, yang akhirnya berbuah menjadi hobi, pola dan kebiasaan.<br /><br />Dalam hakikatnya, nafsu adalah daya semangat yang memberikan bensin bagi perjalanan hidup dan pertumbuhan kita. Lihatlah sekitar Anda, hampir tidak ada keberhasilan atau kemajuan bisa dicapai bila tidak disemangati oleh nafsu dan keinginan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Nafsu Sebagai Sumber Masalah</span><br /><br />Tidak jarang juga ketika kita salah dalam mengelola energi nafsu kita sendiri, beragam masalah pun timbul, padahal sebenarnya nafsu itu bersifat alami dan netral. Contoh, nafsu makan. Ketika dikelola dengan baik, nafsu makan memberikan asupan makanan yang lezat dan gizi yang menyehatkan tubuh. Namun bila salah kelola, bisa menyebabkan adiksi makanan, kebiasaan ‘ngemil’ berlebih, bahkan penyakit akibat kelebihan gizi.<br /><br />Contoh lain, nafsu birahi. Ketika disalurkan dengan baik maka nafsu ini menjadi sarana untuk memproduksi cinta, keintiman hati, dan penciptaan keturunan. Ketika birahi salah dikelola, dia bisa menjadi akar pelarian stres, pemuasan kebutuhan secara dangkal, menimbulkan kecanduan seks, atau bahkan perilaku seksual yang tidak sehat.<br /><br />Belum contoh terakhir berikut, nafsu emosi. Ketika emosi dirasakan dan disalurkan dengan sehat, apa pun bentuknya, maka emosi menjadi sarana untuk mengenal diri sendiri secara cermat, menjadi jembatan komunikasi hati dalam setiap hubungan, dan juga menjadi dinamika yang membuat hidup ‘lebih hidup’. Akan tetapi, emosi yang tidak dikelola dengan baik begitu mudah menciptakan kerenggangan, pertikaian, dan stres dalam hidup kita.<br /><br />Tidak terlalu meleset rasanya untuk menyimpulkan bahwa setiap masalah yang kita miliki, bisa dirunut lapis demi lapis hingga kita tiba pada satu ujung yang biasanya sama: nafsu yang salah dikelola. <br /><br />Yang lebih menyulitkan lagi, lingkungan telah mengondisikan kita untuk memberikan penilaian negatif pada nafsu. Nafsu telah memperoleh cap buruk dari masyarakat, budaya dan agama. Padahal, sesuatu yang sudah bercap buruk, biasanya malah semakin sulit untuk dikelola dengan baik. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Jadikan Musuh, Atasan, atau Sahabat?</span><br /><br />Kalau kita periksa dengan jeli, maka ada 2 pendekatan paling populer untuk menghadapi nafsu, yaitu memperlakukan nafsu bagaikan MUSUH, dan memperlakukan nafsu bagaikan ATASAN.<br /><br />Ketika nafsu dijadikan MUSUH, kita cenderung ingin mengendalikannya, menaklukkannya, menekannya hingga nafsu tak punya kuasa untuk berekspresi dalam diri kita. Pendekatan ini sangat sulit karena semakin kuat kita bermusuhan, berusaha mengusir dan mengalahkan nafsu, maka semakin kuat pula nafsu berceloteh dan meronta. Di puncak adu kuat antara diri dengan nafsu ini, seringkali kita pun menyalahkan diri, atau orang lain, atau situasi, terutama saat nafsu kita ‘menang’. Inilah pendekatan yang paling umum, sekaligus juga sangat tidak natural, sehingga rentan memicu stres.<br /><br />Sebaliknya, ketika nafsu dijadikan ATASAN, kita cenderung mengikuti dan mengalir dengan apa pun yang diminta oleh sang nafsu. Tentu kita semua tahu bahwa menuruti semua tuntutan nafsu tentunya akan menghasilkan problema yang lebih banyak lagi. Namun kita kadang tak punya jurus lain selain menuruti nafsu yang mungkin saja memang terlanjur kuat karena dipupuk kebiasaan.<br /><br />Kalau memang demikian, adakah jalan yang bisa kita tempuh demi mengelola nafsu secara sehat dan natural? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana, yaitu belajarlah mengenal nafsu sebagai SAHABAT kita.<br /><br />Ini berarti pertama-tama kita perlu melepas dahulu cap buruk dan negatif atas segala nafsu. Semua nafsu adalah alamiah dan netral nilainya. Positif atau negatif itu tergantung persepsi dan keberhasilan kita dalam mengelolanya. Bersahabat dengan nafsu berarti kita belajar untuk mengenal, merasakan, memahami dan merawatnya dengan perhatian yang jernih dan hati yang berkesadaran.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Memahami Kebutuhan Sebenarnya Di Balik Nafsu<br /></span><br />Setelah Anda mengerti bahwa semua nafsu pada dasarnya adalah netral, cobalah belajar mengenali kembali setiap energi nafsu yang datang dan pergi dalam diri kita. Ini tentu butuh latihan yang sederhana, namun sangat mencerahkan bila dilatih dengan tekun.<br /><br />Ketika muncul nafsu tertentu, apa pun bentuknya, coba rasakan, sadari dan amati. Kenali dia apa adanya, tanpa memberikan pemenuhan atas tuntutannya. Kuncinya adalah merasakan tanpa langsung memenuhinya.<br /><br />Mari kita praktekkan langsung. Anda sedang merasa lapar. Remlah sedikit refleks Anda untuk mengambil makanan terdekat, tetapi rasakan dulu dan kenali benar pengalaman lapar tersebut dengan penuh perhatian.<br /><br />Mungkinkah tubuh Anda sebenarnya sedang tidak butuh makanan? Barangkali Anda hanya ‘merasa’ lapar karena sedang kesal hati dan mengunyah makanan terasa pas sebagai obat kesal?<br /><br />Ketika muncul nafsu birahi, berhentilah sejenak. Benarkah Anda sedang merasakan energi cinta yang ingin dipadu? Barangkali Anda sebenarnya sedang merasa stres atau tegang, dan butuh pelarian nikmat sejenak?<br /><br />Suatu saat Anda ingin sekali merokok. Stop dan bernafaslah sebentar. Benarkah tubuh Anda membutuhkannya? Mungkinkah Anda sebenarnya sedang merasa jenuh atau bosan, dan merokok menjanjikan terusirnya rasa bosan tersebut?<br /><br />Ketika Anda mulai kenal dengan rasanya ‘nafsu’, maka lapisan-lapisan selanjutnya di balik nafsu tersebut seringkali akan menunjukkan dirinya. Dengan kata lain, apa yang DIMINTA oleh nafsu seringkali tanpa kita sadari bukanlah hal yang sebenarnya kita BUTUHKAN. <br /><br />Jika seandainya hanya atas nama refleks dan pemenuhan instan kita sekadar mengikuti permintaan nafsu, tanpa sadar dan merawat kebutuhan yang sebenarnya, tidak heran kalau kita tidak pernah bebas dari perbudakan sang nafsu. Ketika ‘kebutuhan sebenarnya’ di balik lapisan-lapisan nafsu sudah bisa kita sadari dan rawat, maka permintaan nafsu di permukaan menjadi semakin tidak relevan dan tidak merongrong lagi untuk dipenuhi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sekadar Memulihkan Kepekaan Alami yang Hilang</span><br /><br />Proses menyadari lapis demi lapis, dari nafsu sepintas hingga bisa tiba pada kebutuhan diri yang sebenarnya, bukanlah suatu hal yang biasa kita lakukan. Membutuhkan latihan untuk bisa perlahan-lahan bersahabat dengan nafsu dan merawat diri kita hingga pada kebutuhan sebenarnya. Tidak perlu kecil hati, karena keterampilan untuk merasakan diri ke dalam bukanlah hal asing. <br /><br />Pada saat bayi, kita semua sangat peka untuk merasakan ke dalam diri, hanya saja kebiasaan ini mulai pudar ketika kita semakin dewasa. Latihan ini tidaklah sulit sulit karena tidak ditujukan untuk memperoleh keterampilan baru, tapi sekadar untuk memulihkan kepekaan alamiah yang sempat hilang akibat proses kehidupan menjadi orang dewasa.<br /><br />Selamat berlatih, selamat belajar kembali untuk bersahabat dengan nafsu yang secara alamiah dalam diri Anda. Melatih diri akan mengembalikan kepekaan jiwa dan menghidupkan kembali hati kita. Hati yang hidup adalah hati yang semakin mudah bersyukur dan merayakan hidup itu sendiri.Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com16tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-43982119513193150162008-07-17T16:19:00.003+07:002008-09-05T21:05:00.474+07:00Respons Reza Gunawan tentang Perceraian Dewi & MarcellTulisan ini saya buat sebagai respons atas berita tentang keterlibatan saya dalam kasus perceraian kedua sahabat dekat saya, Dewi Lestari dan Marcell Siahaan. Awalnya ketika dihubungi beberapa media, saya memilih untuk bungkam karena tidak ingin mengusik ketenteraman proses mereka dengan bumbu-bumbu sensasi pemberitaan. Setelah waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini.<br /><br />Setelah beberapa waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini, demi mempertahankan keaslian komentar saya tanpa menjadi komoditas infotainment yang seru bagi sebagian konsumennya, meskipun tidak selalu faktual dan cenderung menyesatkan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Distorsi Pemberitaan di Media Gosip<br /></span><br />Selama beberapa waktu terakhir, saya menyaksikan betapa tingginya distorsi pemberitaan yang terjadi di berbagai media tentang kasus ini. <br /><br />Yang saya amati, kebenaran sesungguhnya menjadi terdistorsi karena: (1) pernyataan asli dipotong-potong dari kalimat yang utuh, menjadi berbeda artinya karena disajikan secara parsial, (2) pernyataan jujur menjadi bias karena ditambahi atau bahkan dibuat-buat media sehingga memojokkan pihak di luar proporsinya, (3) kisah yang disampaikan jujur dan benar tidak bisa dijual sehingga harus dibumbui agar menjadi berita yang fiktif dan penuh sensasi.<br /><br />Dari mulai pernyataan yang tidak pernah dituturkan bisa tampil seolah-olah terjadi dialog antara narasumber, klarifikasi jujur yang tidak diterima sebagai pernyataan kebenaran, karena terkadang wartawan dan publik lebih suka mencari ‘sensasi’ ketimbang kebenaran, hingga muncul berbagai pelanggaran etika dan privasi yang menyebabkan stres yang lebih besar daripada keputusan dan proses perceraian itu sendiri bagi para pihak.<br /><br />Apa yang saya tulis di blog ini bisa dipertahankan kemurniannya, karena meskipun barangkali tulisan ini akan diputarbalik lagi untuk memenuhi standar komoditas gosip, minimal publik setiap saat bisa mengakses blog ini dan melihat versi aslinya.<br /><br />Bagi yang berminat pada kisah yang parsial, bias, fiktif penuh sensasi, silakan “beli” apa yang Anda cari di toko gosip langganan Anda, namun tulisan ini saya sajikan sebagai upaya untuk memberikan informasi yang lebih utuh, murni dan faktual.<br /><br />Saya hanya bisa berpesan, jangan telan dan percaya bulat-bulat apa yang Anda baca, simak, tonton di media gosip. Tentunya percaya atau tidak adalah pilihan Anda, saya hanya sekadar menggarisbawahi bahwa banyak porsi pemberitaan yang disajikan bukanlah fakta apalagi kebenaran. Itulah kenyataan dunia pemberitaan figur publik, sebagai bisnis citra yang bisa laku karena menjadikan rumor sebagai komoditi, demi honor, rating dan oplah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Komentar Saya Tentang Isu Pihak Ketiga<span style="font-weight:bold;"></span></span><br /><br />Dalam pertemuan pers yang dilakukan Dewi dan Marcell baru-baru ini, dari mulut mereka sendiri telah disampaikan bahwa tidak ada pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian mereka. Setelah pernyataan tersebut disampaikan, beberapa media sibuk mengutak-utik kebenaran dari pernyataan tersebut, termasuk kepada saya, yang diberitakan sebagai pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian tersebut.<br /><br />Bersama ini, saya sebagai diri sendiri, maupun sebagai sahabat Dewi dan Marcell, serta sebagai pihak yang dituding, menyatakan sejauh pengetahuan saya, pernyataan Dewi dan Marcell tentang tidak adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, adalah benar. Sekali lagi, saya tegaskan bahwa rumor tentang adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, baik itu saya sendiri maupun pihak lain, adalah salah.<br /><br />Saya sadar bahwa pernyataan ini bisa saja mengundang reaksi percaya maupun tidak percaya, dan rentang diantara rasa percaya dan tidak percaya ini menjadi ruang yang bisa dikomoditaskan kembali oleh ‘pedagang drama dan gosip’ di manapun mereka berada. Saya hanya bisa menyatakan kebenaran, percaya atau tidak kembali kepada pilihan masing-masing individu.<br /><br />Bagi yang haus drama dan gosip, entah karena kisah ini memberikan nafkah bagi mereka yang berdagang rumor, atau karena kisah ini memberikan Anda kesempatan untuk berpaling dari kerumitan hidup Anda sendiri, silakan percaya apa yang ingin Anda yakini, silakan berikan cap yang ingin Anda sematkan. Bilamana gosip ini memberikan manfaat buat Anda, anggaplah itu kepedulian sosial saya yang merelakan diri untuk berperan menjadi objek kesimpangsiuran suasana.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Komentar Saya Tentang Perceraian<br /></span><br />Saya sependapat dengan Dewi Lestari, sebagaimana pernyataan yang dia buat di tulisan “Catatan tentang Perpisahan” baru-baru ini dalam blog pribadinya <span style="font-weight:bold;"><a href="http://dee-idea.blogspot.com">dee-idea.blogspot.com</a></span>.<br /><br />Segala perpisahan, apakah itu perceraian, putus pacaran maupun kematian, pada hakikatnya yang paling sederhana, hanya bisa dicetuskan oleh penyebab yang paling mendasar: memang sudah waktunya. Ketika sudah waktunya berpisah, kita bisa meronta disertai dengan berbagai bumbu ‘gejala’, namun pertemuan dan perpisahan sebenarnya sama-sama kehendak Tuhan, sama-sama jalan takdir.<br /><br />Tentang dampak negatif terhadap anak dan keutuhan jiwa para pihak, saya merasa kita perlu lebih jeli. Yang menimbulkan efek negatif bukanlah perpisahan itu sendiri, namun pertikaian dan ketidakjujuran hati dari para pihak yang terlibat. <br /><br />Memang barangkali 95% perpisahan pernikahan bisa saja selalu disertai dengan pertikaian tersebut, sehingga kita lompat pada kesimpulan bahwa perceraian itu berdampak negatif, namun sesungguhnya bukan perceraian itu sendiri yang merusak jiwa, dan sepengetahuan saya, baik Dewi maupun Marcell menyadari betul hal ini.<br /><br />Itu juga yang membawa saya pada poin bahwa ketika mereka bisa menjalani perpisahan ini dengan damai, tanpa bertikai dan jujur dengan hati masing-masing, memang ini sesuatu yang langka. Justru melalui kelangkaan “cerai damai” ini muncul harapan positif bahwa dalam keputusan mereka yang memilih untuk berpisah tanpa bertikai, mungkin efek negatif pada jiwa yang terlibat, termasuk Keenan, bisa diminimalkan ketimbang mempertahankan pernikahan yang dari luar terlihat manis, namun di dalamnya menyimpan pertikaian dan kepalsuan hati.<br /><br />Bagi saya, bersatu dalam pernikahan tidak selamanya pasti baik, dan berpisah melalui perceraian tidak selamanya pasti buruk. Setiap pihak berhak punya pendapat sendiri tentang hal ini.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menghargai Privasi, Pilihan dan Proses</span><br /><br />Kepada teman-teman di media, saya meminta kerelaannya untuk menghargai privasi, pilihan dan proses yang saat ini sedang dilakoni para pihak yang terlibat. Saya bisa memahami bahwa Anda sedang menjalankan pekerjaan masing-masing dengan sebaik-baiknya, namun kami pun demikian. Pekerjaan saya sebagai terapis (praktisi penyembuhan holistik) menuntut adanya ketenangan yang setiap hari perlu kami sajikan bagi para klien kami. Mohon jangan desak saya untuk mengambil langkah lebih tegas dan akhirnya mengusik keharmonisan hubungan saya dengan pihak media selama ini.<br /><br />Bersama ini saya tegaskan bahwa saya tidak bersedia untuk dihubungi, ditemui maupun diwawancara dalam format apa pun oleh media mana pun, hingga proses perpisahan kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell, selesai dengan tuntas. <br /><br />Bagaimanapun juga, kita semua membuat pilihan dan keputusan berdasarkan apa yang kita yakini merupakan hal terbaik yang kita perlu tempuh. <br /><br />Saya mencintai kejujuran dan keterbukaan, namun kasus ini bukanlah tentang hidup saya sendiri, namun hidup dan ketenteraman mereka. Saya hanya ingin menjaga itu agar keputusan mereka untuk berpisah, yang sebenarnya sudah merupakan pilihan besar dan proses berat, bisa dijalani dengan tenang, ikhlas dan selaras. <br /><br />Semoga kebenaran sesungguhnya bisa menjadi jernih dan utuh, dan saya berdoa agar proses perpisahan mereka merupakan keputusan yang terbaik dan membawa kebahagiaan bagi para pihak yang terlibat.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">UPDATE 5 SEPTEMBER 2008: CATATAN TERAKHIR<br /></span><br />Dua hari yang lalu, 3 September 2008, proses perceraian kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell telah resmi tuntas. Begitu banyak hal yang terjadi selama beberapa minggu ini, saya hanya ingin memberikan catatan terakhir tentang masalah ini. <br /><br />Saya sekadar memenuhi janji kepada beberapa pihak untuk memperjelas duduk situasi yang tidak bisa saya jelaskan sebelumnya, karena saya perlu melindungi beberapa kepentingan (seperti ketenangan klien kami di pusat terapi, kelancaran proses persidangan, maupun ketenangan hati para pihak yang terlibat langsung). Saya tidak mencari persetujuan, dukungan atau pembenaran dari siapapun, toh siapapun yang yang membaca inipun akan bisa punya pendapatnya sendiri.<br /><br />1. Memang benar saya dan Dewi Lestari berada dalam sebuah hubungan cinta saat ini, namun bagi kami yang terlibat, ini bukanlah hubungan perselingkuhan (yang mana saya definisikan sebagai hubungan asmara yang terjadi antara 2 pihak, di mana salah satu atau keduanya sudah punya pasangan, dan hubungan asmara tersebut terjadi TANPA sepengetahuan atau restu dari pasangan resminya), berdasarkan kronologis faktual yang diketahui langsung oleh para pihak, sebagaimana berikut ini:<br /> <br />· Marcell dan Dewi memutuskan bulat untuk berpisah secara hukum di akhir 2007. Sebelumnya di akhir 2006, mereka sudah punya kesepakatan untuk mengikhlaskan satu sama lain bilamana menemukan seseorang yang dirasakan sesuai menjadi pendamping hidupnya. <br /> <br />· Tidak lama setelah keputusan berpisah tersebut, Marcell pun atas inisiatifnya sendiri kepada saya menyampaikan itikad baiknya untuk tetap menjalin keharmonisan antar pihak, dan juga Marcell menyampaikan kepada saya langsung keikhlasannya, dengan membuka jalan bagi saya untuk memulai hubungan lebih lanjut dengan Dewi. <br /> <br />· Perubahan hubungan dari sahabat dekat menjadi hubungan cinta, baru terjadi beberapa bulan setelah keputusan berpisah secara hukum tersebut, dan setelah terjadi komunikasi langsung antara Marcell dan saya sebagaimana dijelaskan diatas.<br /> <br />· Itulah yang membuat saya memberikan pernyataan di bulan Juli 2008, yang memuat konfirmasi saya bahwa memang tidak ada pihak ketiga yang menjadi PENYEBAB perceraian mereka. Mereka sudah memutuskan untuk bercerai, kemudian baru memutuskan untuk merestui satu sama lain dalam membina hubungan baru dengan pasangan masing-masing. Hubungan cinta antara saya dan Dewi Lestari, adalah AKIBAT dari perceraian mereka.<br /> <br />2. Dewi Lestari tidak pernah menjadi pasien saya di klinik penyembuhan holistik yang saya jalankan. Pengertian pasien di sini adalah individu yang memutuskan untuk mengikuti terapi individual, di mana saya selaku terapis punya kode etik pribadi dan profesional. Kode etik ini memberikan pembatasan kepada saya sebagai terapis, di mana seorang terapis tidak diperbolehkan bersosialisasi (makan siang, ngopi sore, jalan-jalan, dsb) dengan pasien, selama pasien tersebut masih menjalani terapi. <br /> <br />Keterlibatan Dewi dalam dunia penyembuhan holistik selama ini bukanlah sebagai pasien saya, sebagaimana yang secara meleset disebutkan di beberapa forum dan media, namun sebagai peserta pelatihan / workshop berkelompok yang kami adakan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan cinta saya dengan Dewi tidak melanggar kode etik terapis yang selama ini saya jalankan bagi setiap pasien kami.<br /><br />Demikian klarifikasi final dari saya, yang sekaligus menjadi catatan terakhir tentang kehidupan pribadi saya di blog ini. Terimakasih atas semua pihak yang telah meletakkan perhatiannya pada episode ini, mari kita bersama melanjutkan hidup dengan langkah yang jernih.Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com104tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-66167736708820779582008-07-17T12:22:00.001+07:002008-07-17T12:27:16.603+07:00Menunggu Bimbang BerlaluPernahkah Anda merasa bingung, bimbang dan ragu-ragu ketika menghadapi suatu masalah? Atau memilih suatu keputusan yang penting? Atau menunggu lahirnya solusi dari problem yang rumit?<br /><br />Mencintai hidup tidaklah selalu mudah, terutama ketika kita sedang terbebani oleh berbagai masalah. Waktu kita dihadapkan pada tertundanya penyelesaian suatu masalah, rasa bimbang dan ragu muncul dalam diri. Rasa ini terasa tidak nyaman untuk dipikul, sehingga kita ingin mengusirnya, menghilangkannya, mengubahnya. Dan dalam kepala kita, satu-satunya cara untuk mengakhiri rasa bimbang dan ragu itu adalah dengan menyelesaikan situasi yang sedang kita permasalahkan.<br /><br />Namun dalam kenyataannya, situasi hidup yang kita hadapi, tidak selalu bisa terselesaikan tuntas dalam waktu yang singkat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi siapnya solusi dan tuntasnya situasi. Dan, faktanya, tidak semua faktor, terutama yang berhubungan dengan orang lain, bisa kita kendalikan secara absolut. Inilah yang kemudian menjadi lahan gembur untuk lahirnya stres. Kita ingin bebas dari stres dengan cara segera tuntas dari masalah, tapi masalah tak kunjung selesai karena ada hal-hal di luar kuasa kita yang belum bisa berubah sesuai harapan.<br /><br />Kalau memang demikian, adakah cara lain untuk mengobati rasa bimbang dan ragu yang tidak nyaman ini? Bisakah kita memahami lebih baik tentang timbul tenggelamnya masalah dalam hidup ini, sehingga meskipun tidaklah realistis untuk hidup bebas masalah sama sekali, minimal kita bisa menjalani dan menghadapinya lebih ringan dan selaras?<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Perlunya Fase Bimbang, Bingung, dan Ragu</span><br /><br />Kalau kita memerhatikan alam dan kehidupan ini, sebenarnya ada suatu pola kekacauan yang selalu terjadi sebelum perubahan dan pertumbuhan. Dalam ilmu fisika kuantum, hal ini disebut <span style="font-style:italic;">‘chaos principle’.</span> Prinsip <span style="font-style:italic;">chaos</span> bilang bahwa setiap hal perlu menjadi kacau, berantakan dan tidak beraturan, sebelum hal tersebut bisa menyusun kembali dirinya sendiri dalam tatanan yang lebih matang, lebih maju dan lebih baik.<br /><br />Kita bisa mengamati prinsip <span style="font-style:italic;">chaos</span> ini dalam setiap aspek kehidupan. Sebelum musim semi, harus ada musim gugur terlebih dahulu. Bila Anda sedang berniat membereskan rumah, pasti dalam prosesnya rumah Anda akan sejenak lebih berantakan daripada sebelum dirapihkan, sebelum akhirnya menjadi lebih rapi dan apik. <br /><br />Pada kesehatan anak, dia perlu mengalami sakit dan infeksi sebelum kekebalan tubuhnya menjadi semakin kuat ketika dia pulih. Vaksinasi pun bekerja dengan cara ‘menghancurkan’ kekebalan tubuh untuk sementara, sehingga ketika tubuh memulihkan diri, lahirlah antibodi baru yang sebelumnya tidak tersedia.<br /><br />Pada skala yang lebih besar, suatu negara pun membutuhkan kekacauan untuk bisa tumbuh. Ketika kekacauan muncul dalam intensitas kecil, kita sebut itu evolusi. Jika kekacauannya besar, kita sebut itu revolusi. Semua kekacauan tersebut adalah prasyarat untuk lahirnya kondisi baru, kematangan baru dan kesempatan baru.<br /><br />Pada tingkat yang paling pribadi dan dekat di hati kita, cobalah lihat kembali setiap kemajuan dan pertumbuhan yang kita nikmati dalam hidup kita sendiri. Bukanlah selalu bisa kita temukan momen-momen bingung, bimbang dan ragu sebelum mengambil langkah, pilihan dan keputusan yang sekarang hasilnya kita nikmati? Dan ingatkah betapa kita kerapkali berharap bahwa hidup ini bebas dari bingung, bimbang dan ragu, tapi sungguh tidak mungkin seperti itu?<br /><br />Barangkali inilah yang bisa membantu kita semua: sadarilah bahwa tahapan kita merasa bingung, bimbang dan ragu itu sangatlah PERLU. Semakin cepat kita bisa menyambut dan menerima ‘perlunya’ tahapan yang tidak nyaman ini, semakin lancar pula tuntasnya masalah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Memperpanjang Rasa Tidak Nyaman Tidaklah Perlu</span><br /><br />Meskipun kekacauan diperlukan, bukan berarti rasa tidak nyaman akibat kekacauan perlu ada. Dari mana sebenarnya rasa tidak nyaman ini muncul ketika situasi hidup sedang kacau? Jawabannya hanya satu: penolakan kita terhadap kekacauan. Kita tidak memberikan ruang, izin dan kesempatan untuk hadirnya kekacauan, sehingga ketika kekacauan muncul, kita berjuang setengah mati untuk mengusirnya, dan inilah yang merintis stres dan rasa tidak nyaman.<br /><br />Stres memang fenomena ajaib. Stres mampu mengubah rentang waktu menjadi elastis. Tentu kita semua ingat betapa momen-momen menyenangkan dalam hidup terasa berlalu begitu cepat, serta betapa momen yang tidak menyenangkan serta membosankan terasa berjalan begitu lambat dan tidak kunjung habis. <br /><br />Persepsi kita tentang berjalannya waktu ternyata tidak pernah objektif. Bagaimana ini bisa dijelaskan? Prinsip emas inilah kuncinya: apa pun yang kita ingin tolak, ingin ubah, ingin usir, ingin hilangkan, justru hal tersebut akan menjadi awet, langgeng dan bertahan. <span style="font-style:italic;">What you resist, persists.</span> Sedangkan apa pun yang kita izinkan, rasakan, amati dengan hening tanpa reaksi, justru akan menjadi pudar dan tuntas.<br /><br />Jadi, ketika bingung, bimbang dan ragu muncul, ingatlah prinsip emas tersebut. Membenci dan mengusir rasa tidak nyaman, hanya akan berakibat bertambahnya ‘bensin’ dari rasa tersebut sehingga semakin lama pula kita alami. Belajarlah untuk tidak menolaknya, justru amati, sadari dan rasakan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tinggal Menunggu Mangga Jatuh</span><br /><br />Mengharapkan munculnya solusi dan tuntasnya masalah sebenarnya bagaikan menunggu mangga jatuh sendiri dari pohonnya. Bila mangga tersebut belum matang, memetik sebelum waktunya akan membuat kita memperoleh rasa buah yang masam.<br /><br />Sementara itu, biasanya ketika kita sedang mendesak tuntasnya masalah kita, kita justru sibuk berpikir terlalu banyak, menganalisa tanpa henti secara berlebihan, berusaha memilah-milah benar dan salah, menimbang baik dan buruk, seolah-olah itu mampu mempercepat ‘matangnya mangga’ berjudul masalah.<br /><br />Baru-baru ini saya bercakap-cakap dengan salah seorang klien saya yang sedang bimbang di persimpangan keputusan. Dia tidak menyadari bahwa bimbang itu perlu, dan seandainya dia izinkan dirinya untuk menunggu, ketimbang berusaha mengatasi masalah secara tergesa, tentunya dia bisa menjalani proses lebih rileks.<br /><br />Padahal setelah dia mengingat kembali, sebenarnya dalam setiap momen hidupnya, bingung selalu hadir sebelum kejernihan. Setelah sekian lama bergulat dengan keraguan, tiba-tiba suatu hari muncullah kesiapan untuk melangkah. Kesiapan tersebut bisa saja berbentuk kondisi eksternal. Misalnya, mau tidak mau sudah harus melangkah karena tiba di batas waktu tertentu, atau karena kondisi internal, misalnya tiba-tiba saja hatinya bulat dan jernih untuk memutuskan. Inilah yang saya sebut dengan saatnya ‘mangga jatuh’ dan kita tinggal siap, sadar dan menangkapnya.<br /><br />Terkadang memang ketika kita sedang bingung, bimbang dan ragu, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah diam, hening dan menunggu sambil mengamati. Ketika kita mulai menerima perlunya kekacauan dalam hidup, kita mulai mempersiapkan ‘ruang’ dan ‘izin’ bagi kehadirannya. Di situlah kedamaian mulai tersedia bagi kita semua. Bernapaslah, nikmati proses menunggu kekacauan, dan waspadalah untuk menunggu ‘mangga’ Anda matang alami dan jatuh dengan sendirinya.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Published, EVE Magazine, Juni 2008.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-37900523956822342142008-05-09T21:11:00.002+07:002008-05-09T21:14:53.989+07:00Menahan Diri, Menghidupkan HatiSetiap tahun, ketika memasuki suasana berpuasa, saya merenungkan makna dan relevansinya. Demi kejujuran, terkadang saya mengikuti serunya sahur, dan merayakan nikmatnya berbuka puasa. Namun ada kalanya saya juga bertanya tentang apa perlunya melatih diri selama 30 hari ini. Mengapa dalam sebelas bulan lainnya saya tidak selalu tergerak untuk mengasah kemurnian diri? Kok, saya merasa lebih sering sekadar mengikuti arus ketimbang melatih diri dengan sadar?<br /><br />Ini bukan masalah ketaatan atau kepatuhan. Saya hanya merasa, pada usia dewasa manusia perlu berevolusi dari sekadar keyakinan yang “dituangkan” pada saat masih kecil dan belum bisa menentukan pilihan, menjadi individu yang mampu melihat dengan jernih tujuan dan pilihan hidupnya, termasuk meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan yang bersifat tradisi atau ritual agar esensinya tidak hilang. <br /><br />Dalam perjalanan hidup selama ini, saya cenderung universalis, yang memandang bahwa kebenaran hidup bisa diperoleh di mana pun. Dan itu membuat saya memberanikan diri untuk mengintip berbagai tradisi, budaya, dan agama di dunia. <br /><br />Saya sangat takjub ketika menemukan bahwa dalam setiap ajaran yang saya telaah, selalu saya temukan suatu bentuk latihan menahan diri, dari mulai menahan lapar, menahan emosi, menahan nafsu, hingga menahan untuk tidak menilai suatu situasi atau orang lain. Memang, judul, bungkus, dan tujuannya berbeda-beda, tapi bentuk latihan ini bisa ditemukan dalam setiap suasana hidup.<br /><br />Padahal, tidak jarang juga terlintas di benak saya, “Hidup pada zaman ini kan sudah penuh masalah, mengapa kita perlu dengan sengaja membuatnya lebih susah dengan menahan diri?”<br /><br />Saya jadi mulai menelusuri segala macam hal yang biasanya perlu ditahan. Nafsu makan, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu untuk menguasai. Semua ini muncul dalam batin. Batin kita bereaksi akibat pasokan informasi yang mampir lewat panca indra kita. Dengan kata lain, ketika panca indra berhenti memberikan informasi, maka kita pun tidak punya dorongan untuk merasakan apalagi memenuhi “nafsu”.<br /><br />Masih ingat cerita pahlawan Daredevil, <span style="font-style:italic;">superhero</span> pembela kebenaran yang begitu gesit dan tangguh, padahal sebenarnya buta? Sudah menjadi hukum alam, ketika informasi di salah satu panca indra terhenti, maka semua indra lainnya secara alamiah menjadi lebih peka, lebih mampu menangkap getaran halus yang biasanya tidak diperhatikan.<br /><br />Barangkali inilah yang terjadi ketika seseorang melatih menahan diri. Dengan memperlambat pemenuhan nafsu yang biasanya dituruti dengan seketika, barulah kita bisa melihat lebih jernih batas antara nafsu dan kebutuhan. Kita lebih menghargai beragam berkah hidup yang sebelumnya mungkin kurang disyukuri. Rasa syukur ini tumbuh dari satu hal, yaitu bertambah pekanya hati.<br /><br />Ya, memang kalau ditelusuri barulah kita sadar bahwa meskipun mata bisa melihat, hatilah yang mengapresiasi apa yang dilihat. Meski lidah kita mengecap, hati jugalah yang menikmati apa yang dikecap. Meskipun telinga kita mendengar, hati kitalah yang terbuai oleh keindahan bunyi, suara dan musik. Panca indra hanya menangkap informasi. Pada akhirnya kepekaan rasalah yang memungkinkan kita untuk menuai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari informasi tersebut.<br /><br />Proses perenungan panjang ini melahirkan suatu kesadaran dalam diri saya, bahwa hidup bukanlah tergantung dari apa yang terjadi, apa yang kita inginkan maupun apa yang kita dapatkan dari kehidupan ini. Hidup ini tergantung dari bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menari dengan perubahannya. <br /><br />Bagi saya, tanpa hati yang hidup, peka dan terbuka, tidaklah mungkin kita menjadi manusia yang mengerti, menikmati dan mensyukuri. Dan jika melatih untuk mengelola berbagai nafsu dalam diri memang jalan menuju hidupnya hati, saya merasa ada suatu urgensi untuk “berpuasa” setiap saat, setiap momen. Sudahkah Anda menghirup napas, berhenti sejenak dan menghidupkan hati Anda pada hari ini? Dalam jeda-jeda sederhana seperti inilah, saya menemukan hidup yang sebenarnya, dan saya berharap untuk bertemu Anda di sana.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Published, EVE Magazine, September 2007.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-344737248220917512008-05-09T21:05:00.002+07:002008-05-09T21:09:43.081+07:00ABC: Acceptance–Before–ChangeDari beragam kompleksitas peristiwa, situasi, masalah dalam kehidupan kita, maukah Anda berkenalan dengan dua elemen yang senantiasa hadir dan berdansa satu sama lain, sepanjang hidup Anda? Kedua hal ini bagaikan mitra abadi yang bernama ‘perubahan’ dan ‘penerimaan’. <br /><br />Kita semua tentu pernah mengalami masalah karier, masalah rezeki, masalah percintaan, masalah kesehatan (penyakit) serta segala masalah hidup. Tentunya dalam setiap masalah, mencari perbedaan adalah mudah, karena dalam setiap jenis masalah di atas pastinya situasi dan pihak yang terlibat berbeda.<br /><br />Teka-teki besarnya sekarang adalah, apakah Anda bisa menemukan satu hal tunggal yang mengawali dan juga mengakhiri setiap masalah? Sebagai petunjuk tambahan, hal tunggal itu merupakan hal yang sama untuk setiap jenis masalah di atas. Renungkan baik-baik. Karena memahami hal ini menjadi kunci Anda untuk menyelesaikan masalah apa pun.<br /><br />Petunjuk baru lagi buat Anda, meskipun zaman sudah berkembang dan kompleksitas kehidupan manusia juga terus berganti, hal tunggal ini senantiasa menjadi awal dan akhir setiap masalah, tanpa terkecuali, dan ada sejak awal sejarah manusia hingga sekarang.<br /><br />Bisakah Anda menemukannya?<br /><br />Jawabannya adalah PERUBAHAN.<br /><br />Setiap masalah yang lahir, selalu diawali dengan “kondisi yang dapat diterima”, yang tiba-tiba atau berangsur-angsur BERUBAH menjadi “kondisi yang tidak dapat diterima”. Setiap selesainya atau tuntasnya suatu masalah, selalu ditandai dengan pergerakan dari “kondisi yang tidak dapat diterima” menjadi “kondisi yang dapat diterima”.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Siklus Kehidupan yang Pasti Terjadi</span><br /><br />Dengan kata lain, siklus hidup selalu berputar antara: (1) kondisi MENERIMA kenyataan, (2) terjadi PERUBAHAN, (3) kondisi TIDAK MENERIMA kenyataan, (4) terjadi PERUBAHAN, (5) kondisi MENERIMA kenyataan, (6) terjadi PERUBAHAN, dan seterusnya berulang terus hingga kehidupan ini usai. Kisah, situasi, peristiwa, dan pemerannya bisa berganti 1001 kali, tapi siklusnya tetap akan berulang seperti yang dijabarkan.<br /><br />Contohnya, seorang wanita yang muda, cantik dan cerdas tiba dalam situasi hidup yang penuh sukses dan persahabatan. Tentunya ini kenyataan yang tidak sulit untuk diterima. Suatu saat, jika penampilan fisiknya berubah, atau kariernya mengalami suatu krisis, maka perubahan ini cenderung menjadi kenyataan yang lebih sulit untuk diterima. Melalui proses, upaya, doa, dan dinamika, di suatu titik dia pun akan bisa menerima kenyataan dan berdamai kembali. Namun kehidupan tidak berhenti di sini, dan tentu masih akan ada serangkaian perubahan berikutnya yang silih berganti membawanya dari kondisi “terima” menuju “tidak terima”, dan seterusnya.<br /><br />Contoh lain adalah kondisi jiwa seseorang yang menjadi korban bencana alam. Dari kondisi “terima” di mana hidup baik-baik saja, tiba-tiba terjadi perubahan bencana alam yang kemudian mengakibatkan kondisi yang sulit diterima karena mungkin dia kehilangan hartanya paling berharga. Namun pada saatnya, dia kembali akan berdamai dengan kenyataan, untuk sementara waktu hingga muncul perubahan baru yang akan hadir. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Benang Merah: ‘Perubahan’ dan ‘Penerimaan’</span><br /><br />Dalam siklus yang saya ceritakan di atas, tidaklah sulit untuk memahami bahwa hidup ini adalah dansa yang silih berganti antara perubahan dan penerimaan. Di dalam dansa abadi ini, terseliplah pengalaman rasa yang kita sebut stres, sedih, susah, bahagia, lega, kuatir, takut, cemas, sesal, damai, dll.<br /><br />Pertama, marilah kita tengok mitra dansa pertama yang bernama ‘perubahan’. Perubahan adalah bagian paling alami dalam hidup. Ada datang, ada pergi. Ada untung, ada sial. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada sehat, ada sakit. Ada senang, ada sedih. Ada lega, ada beban. Ada hidup, ada mati. Tidak ada satu orang pun, termasuk orang suci sekalipun, yang bisa terbebas dari dualitas ini serta perubahan yang senantiasa terjadi.<br /><br />Memang sangat wajar jika kita ingin menumpuk sehat, senang, untung, dan ingin menampik sakit, sedih dan sial. Namun kebijaksanaan jiwa sejati hanya bisa tumbuh ketika kita mengerti dan menerima bahwa kedua sisi tersebut pasti akan hadir, tidak bisa dicegah, tidak bisa dipertahankan, karena kekuatan perubahan akan selalu mengayunkan nasib kita dari satu sisi ke sisi lainnya bagaikan bandul kehidupan.<br /><br />Seperti pepatah yang mengatakan “satu-satunya yang pasti dalam hidup adalah perubahan”, maka kalau kita ingin lebih mengalir dalam hidup, kuncinya adalah MENERIMA bahwa perubahan itu selalu ada, dan perubahan tersebut bisa saja berubah ke arah mana pun, kapan pun juga. Semakin cepat kita mengerti dan menerima ini, maka semakin mudah kita “mengalir” dengan hidup.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Melatih Otot Menerima</span><br /><br />Ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan tidak bisa kita atur-atur, atau kita kendalikan sesuai dengan kehendak dan kepentingan kita, maka kita mulai menengok ke dalam. Mencari jalan keluar dengan memperbaiki situasi di luar memang rasanya ideal, tapi tidak selalu mungkin karena situasi di luar bergantung pada banyak faktor.<br /><br />Jadi, bagaimana jalan keluar dari berbagai masalah? Jalan ‘keluar’-nya adalah melangkah ‘ke dalam’. Ingat, situasi di luar tidak selalu bisa kita kendalikan. Namun menerima dan tidak menerima adalah sebuah pilihan yang kita semua miliki. Memang benar bahwa menerima bukan selalu mudah, tapi merupakan jalan keluar yang selalu realistis.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Usaha: Perlu atau Tidak?</span><br /><br />Kalau sudah tiba pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah pilihan antara menerima atau tidak menerima, pertanyaan alamiah selanjutnya adalah apakah usaha masih diperlukan dalam hidup? Ini barangkali merupakan suatu perenungan yang paling kontroversial.<br /><br />Di satu sisi, kita punya “sistem keyakinan” yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa memperoleh apa yang kita inginkan, atau mengatasi suatu masalah, atau mengubah keadaan kalau tidak berusaha dan berupaya. Namun kita pun juga punya bukti nyata bahwa terkadang usaha pun tidak membawa perubahan hasil dan kenyataan.<br /><br />Di lain sisi, ada juga yang meyakini bahwa takdir, kehendak alam dan/atau Tuhan, serta karmalah yang menentukan kenyataan. Jadi, meskipun kita berusaha, hasilnya tidak tergantung dari usaha tersebut semata. Dan lahir pulalah sikap hidup yang ingin pasrah total, sekaligus meniadakan upaya.<br /><br />Terus terang, saya tidak anti pada konsep usaha dan upaya. Namun saya juga merasa bahwa kadang usaha, apalagi sampai ngoyo’, yang tidak diimbangi dengan keikhlasan dan kepasrahan, seringkali membawa rasa frustrasi dan kepedihan. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Usaha Dahulu atau Menerima Dahulu?</span><br /><br />Jalan keluar yang paling lazim kita tempuh ketika ingin mengubah kenyataan atau menyelesaikan suatu masalah adalah pertama-tama berusaha maksimal untuk menciptakan perubahan situasi dan menerima hasil akhirnya—baik menerima dengan ikhlas maupun terpaksa.<br /><br />Namun, mengingat bahwa kenyataan tidak semata-mata tergantung pada usaha kita, ada jalan lain yang tidak selalu lazim. Ini jalan yang saya sebut “ABC”. Singkatan dari <span style="font-style:italic;">“Acceptance Before Change”.</span> <br /><br />Jalan ini adalah ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan pasti terjadi, dengan maupun tanpa usaha. Langkah pertamanya adalah menerima tanpa syarat apa pun kenyataan yang ada saat ini, apa pun perilaku dan sikap orang yang terlibat saat ini, apa pun pikiran dan perasaan kita saat ini. Apa pun perubahan yang hadir setelah kita sudah bisa menerima, jauh lebih mudah untuk menyambutnya dengan pikiran jernih dan hati yang lapang.<br /><br />Saya harus mengakui bahwa ini bukan jalan pikiran yang umum. Namun bagi mereka yang sudah pernah mengalami obat ABC ini dalam hidupnya, mereka juga pernah menyaksikan betapa ajaibnya situasi bisa berubah, ketika masalah yang sedang dihadapi diterima sepenuh hati. <br /><br />Saya sendiri sudah pernah melihat penyakit fisik yang berat, masalah hubungan cinta yang sudah parah, hingga kesulitan rezeki, bisa berbalik secara ajaib ketika hati sudah mencapai titik ikhlas menerima total keadaan. Ini sungguh sulit untuk ditulis. Anda perlu keberanian untuk mengalaminya sendiri.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Langkah Pertama dan Terakhir untuk Bahagia</span><br /><br />Barangkali buah pikiran terakhir yang saya sadari tentang betapa pentingnya kita menerima segala sesuatu yang ada saat ini, sebelum perubahan bisa terjadi, adalah berikut ini: jika kita mencoba untuk mengubah diri, masalah maupun situasi melalui berbagai daya upaya, tanpa kita terlebih dahulu menerima diri sendiri apa adanya, maka meskipun situasi tersebut berhasil kita ubah, kita tidak akan pernah puas, tidak akan pernah damai, apalagi bahagia.<br /><br />Dahulu, saya pikir kebahagiaan adalah mencapai apa yang saya inginkan. Namun sekarang saya melihat bahwa kebahagiaan adalah ketika tidak ada perselisihan antara keinginan dan kenyataan. Karena kenyataan tidak bisa saya kendalikan sepenuhnya, maka mengelola keinginan menjadi kunci saya untuk bahagia. Dan kunci tersebut bernama: menerima sepenuh hati.<br /><br />Pilihan dan upaya tidak menghasilkan kenyataan hidup saat ini. Pilihan dan upaya adalah “permainan” yang kita perlu lakukan demi tiba pada kesiapan untuk menerima dan berserah total pada takdir, hidup, dan Tuhan.<br /><br />Selamat bermain dan berdansa, para sahabatku.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Published, EVE Magazine, Maret 2008.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-36840572710602884792008-05-08T08:42:00.004+07:002008-05-08T12:40:45.708+07:00Lima Jendela “Rumah Sang Lega”Hidup ini cair, ujar seorang sahabat saya. Segala situasi dan perasaan hati kita terus berubah-ubah, dan di saat kita punya keinginan yang berbeda dengan kenyataan, tak bisa terhindar lahirlah rasa terbebani. <br /><br />Rasa terbebani ini bisa saja muncul dari hubungan pribadi antara sahabat, orang tua, anak, suami-istri, dan sepasang kekasih. Rasa ini juga bisa muncul akibat permasalahan di tempat kerja, maupun masalah terkait uang. Bahkan ketika kesehatan kita sedang tidak optimal, beban hati pun muncul karena mungkin tidur terganggu, tubuh terasa letih terus, dsb.<br /><br />Dalam situasi hidup yang seperti ini, tidaklah mengherankan seandainya kita mendamba suatu rasa yang disebut ‘lega’. Hidup ini tak lepas dari tantangan dan permasalahan yang datang dan pergi. Seandainya saja masalah hanya datang satu demi satu, mungkin kita bisa menjalaninya dengan lebih ringan. Namun sayangnya tidak demikian. <br /><br />Pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda untuk menyadari kembali bahwa ‘kelegaan’ adalah suatu rasa yang kita semua ingin capai. Kita pun bisa belajar dari prinsip alam untuk bergerak menuju lega.<br /><br />Lihatlah langit di atas kepala Anda. Perhatikan bagaimana alam bergerak dari satu cuaca ke cuaca lainnya. Barangkali Anda lebih suka kalau langit cerah ketimbang mendung, atau udara sejuk ketimbang panas? Atau Anda lebih suka hujan rintik-rintik ketimbang hujan deras berangin?<br /><br />Guru saya dari Jepang pernah bercerita, bahwa dalam bahasa Jepang, ada kemiripan antara cuaca dengan emosi. Cuaca dalam bahasa Jepang disebut “tenki” yang artinya energi yang bergerak di langit, sementara emosi dalam bahasa Jepang disebut “kimochi” yang artinya energi yang bergerak dalam diri.<br /><br />Jadi cuaca dan emosi sebenarnya tidak berbeda, karena sama-sama merupakan energi yang bergerak. Atau dengan kata lain, emosi sebenarnya merupakan “cuaca hati”.<br /><br />Namun, entah mengapa, kita jarang mempermasalahkan cuaca di langit ketimbang mempermasalahkan cuaca di hati. Mungkin karena kita sudah menerima bahwa cuaca di langit hanya bisa diamati, disadari, ditunggu dan dinikmati.<br /><br />Sementara di lain pihak, kita begitu sibuk berusaha mengendalikan dan meredam emosi. Mungkin karena kita berpikir bahwa emosi itu bisa diatur-atur, disetel bagai mesin, tanpa sadar bahwa segala upaya untuk mengendalikan emosi sebenarnya sama sia-sianya dengan berusaha mengendalikan cuaca di langit. <br /><br />Bahkan kita akhirnya melupakan prinsip emas <span style="font-style:italic;">“what you resist, persists…”</span> yang artinya apa yang kita tolak, berusaha ubah atau hilangkan, justru akan menjadi awet. Lalu bagaimana caranya kita bisa mencapai rasa lega, kalau bukan dengan upaya?<br /><br />Izinkan saya menawarkan lima buah jendela. Kelimanya merupakan jalan masuk menuju “Rumah Sang Lega”. Anda tidak bisa memasukinya dengan upaya, bahkan satu-satunya jalan masuk adalah dengan menghentikan segala upaya, dan cukup dengan menyadarinya. Jendela-jendela ini saya sebut “5A” menuju lega.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Awareness…</span><br />Artinya ‘sadar dan tahu’ secara jernih dan mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana rasanya dalam hati, buah pikir apa saja yang terlintas dan mendasari beban kita. Biasanya kita hanya ‘sadar dan tahu’ tentang situasi eksternal yang sedang kita permasalahan, atau sekadar memerhatikan perilaku orang lain yang tidak berkenan, atau cuma berupaya untuk mencapai perubahan yang kita inginkan tanpa terlebih dahulu sadar diri dan melangkah ke dalam diri.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Acknowledge…</span><br />Artinya mengenali dan mengakui bahwa kondisi hati kita memang dalam keadaan yang terbebani, juga mengakui bahwa kita bertanggung jawab penuh atas pilihan hidup dan kebahagiaan kita masing-masing. Kita memahami bahwa setiap pihak yang terlibat dalam permasalahan ini tentu berusaha yang terbaik menurut persepsinya masing-masing, dan dalam upaya terbaik tersebut terkadang terjadi benturan-benturan yang membuat hati tak lega, tapi sesungguhnya tidak disengaja untuk demikian.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Allow…</span><br />Artinya mengizinkan diri sendiri untuk meresapi perasaan hati kita pada saat itu, apa adanya. Begitu banyak di antara kita mengalami frustrasi berusaha ‘meredam’ emosi, tanpa mengerti aturan emas bahwa untuk setiap pikiran dan perasaan yang kita tolak, ubah, maupun sirnakan melalui upaya, di situ pulalah pikiran dan perasaan tersebut menjadi ‘awet’. Padahal mengizinkan pikiran dan perasaan kita untuk diamati, disadari dan dirasakan apa adanya justru memperlancar proses emosi tersebut menuju tuntas.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Accept…</span><br />Artinya belajar ikhlas untuk menerima dan mencintai ‘kenyataan” saat ini apa adanya. Ingat bahwa setiap keinginan kita bertempur dengan kenyataan, Sang Keinginan selalu kalah, tidak pernah menang. Ingat bahwa kalau hidup ini cair, tugas kita adalah mengalir. Mengalir berarti mengerti kapan saatnya menghentikan upaya melawan kenyataan, dan pasrah pada arus kehidupan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Aaah…</span><br />Artinya bernapas lega, merasakan bahwa setiap udara yang keluar dan masuk dari tubuh kita menandakan hidup ini baru di setiap napas. Napas adalah jembatan antara tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Ketika menghadapi suatu permasalahan atau beban, kita lebih suka berpikir, berspekulasi, membayangkan yang belum terjadi, atau menyesali yang sudah berlalu. Bernapas dengan sadar, membawa kita pulang ke sini-kini-gini <span style="font-style:italic;">(here, now, as it is)</span>. Cobalah, tidak ada salahnya berhenti dari ketergesaan kita sehari-hari untuk sejenak bernapas lega. Perhatikan bahwa tepat di saat bernapas tersebut, roda berpikir kita pun berhenti sejenak… inilah saatnya mengistirahatkan pikiran.<br /><br />Yang ajaib tentang kelima jendela ini, tidak jadi masalah dari mana Anda masuk, tapi ketika salah satu jendela berhasil Anda lalui, maka empat jendela lainnya akan otomatis terbuka dan mengizinkan cahayanya untuk menyelinap ke hati Anda. <br /><br />Dengan kata lain, ketika Anda merasa terbebani dan mendambakan kelegaan, berhentilah sejenak. Hentikan segala upaya untuk meredam atau mengendalikan perasaan hati, dan pilih salah satu jendela yang akan mengantarkan Anda pada rasa lapang. <br /><br />Ingat hidup itu cair, tugas kita adalah mengalir. Selamat meresapi kelegaan, selamat bertumbuh dalam kelapangan.<br /><span style="font-style:italic;"><br />Published, EVE Magazine, Mei 2008.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-59796304473663513242008-05-08T08:37:00.002+07:002008-05-08T23:18:42.392+07:00Intuisi: Mendengarkan Kata HatiDalam hidup yang didominasi oleh kecerdasan otak dan intelektual ini, masih adakah kesempatan untuk berhenti sejenak, memerhatikan hati kita sendiri serta mengikuti bimbingannya, ketika momen keputusan tiba?<br /><br />Definisi “intuisi” yang paling praktis dan akurat bagi saya adalah “ketika saya tahu sesuatu, tanpa mengetahui bagaimana caranya, kok, saya bisa tahu hal tersebut.” Kita semua pasti pernah mengalami momen-momen intuitif, barangkali suatu ketika kita teringat kawan lama yang sudah lama tidak kontak, tiba-tiba dia menelpon. Atau mungkin ketika keluarga yang dekat sedang mengalami masalah atau musibah, kita bermimpi atau terus teringat dengan mereka. Di permukaan, semua itu terlihat sebagai kebetulan belaka. Namun jika ditelaah dengan mendalam, inilah saat-saat di mana intuisi kita berhasil memenangkan perhatian kita.<br /><br />Inilah juga yang disebut kecerdasan hati, di mana informasinya tidak hadir sebagai buah pikiran, atau analisa yang komprehensif dan akurat dari segala sudut. Intuisi umumnya hadir dalam bentuk sebuah ‘rasa’ yang sederhana, jernih namun berbisik, sehingga untuk bisa menangkapnya kita perlu lebih terbuka dan peka.<br /><br />Sebenarnya setiap orang memiliki intuisi yang kuat dan berpotensi sama. Seorang bayi dan ibu berkomunikasi dan saling memahami lewat rasa, lewat intuisi. Hanya memang ketika kita menjadi dewasa, lalu dididik untuk lebih mengasah pikiran dan kecerdasan otak serta cenderung mengabaikan perasaan, maka perlahan-lahan kemampuan intuisi ini pun menjadi pudar, tumpul bahkan hampir hilang sama sekali bagi sebagian individu. Bahkan bagi orang-orang yang 100% bertumpu pada kecerdasan otak saja, mendengarkan rasa hati dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tidak alami, bahkan bodoh. Menurut orang-orang ini, pilihan dan keputusan yang baik adalah yang diambil berdasarkan proses berpikir dan analisa yang baik.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Sumber Stres: Mengambil Keputusan dengan Kepala</span><br /><br />Ketika kita berusaha menerka-nerka apa yang sebaiknya kita pilih dan putuskan, biasanya proses berpikir yang terjadi melibatkan daftar keuntungan dan kerugian dari masing-masing pilihan. Namun kalau kita teliti, sebenarnya proses pengambilan keputusan seperti ini sangat tidak akurat. Pertama, kita tidak pernah punya data dan fakta yang lengkap tentang semua sudut permasalahan. Barangkali dari 40 faktor, kita hanya tahu 5-8 faktor saja. Kedua, kita harus mengasumsikan reaksi dan hasil dari pilihan tersebut berdasarkan dugaan dan tebakan kita sendiri, yang belum pasti akan terjadi demikian. <br /><br />Sebenarnya intuisi merupakan bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada otak, karena meskipun kita tidak bisa mengetahui semua faktor yang terlibat dalam permasalahan apapun, gelombang rasa yang muncul dari hati sebenarnya sudah mencakup seluruh faktor meski tidak kita sadari. Akibat kita terlalu memaksakan untuk menggunakan “kepala” dan jarang bertanya kepada “hati” dalam segala situasi, maka timbullah berbagai fenomena stres di zaman modern.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Memutuskan Pada Saatnya, Bukan Rekaan Antisipasi</span><br /><br />Baru-baru ini saya mengikuti pelajaran bersama seorang guru dari Jepang bernama Dharma. Selama hampir dua puluh tahun terakhir, dia menjadi seorang terapis. Pengalaman dan kompetensinya hampir tidak bisa saya ragukan, dan sepanjang tahun dia melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya. Bagi para terapis, seperti saya, ini merupakan kesempatan emas untuk memperdalam ilmu dan meningkatkan keterampilan kami dalam membantu berbagai klien yang datang dengan seribu satu permasalahan.<br /><br />Selama hampir dua puluh hari di Jakarta, ada satu hal yang sangat menggelitik bagi saya. Di dalam kelas, para peserta yang kebanyakan juga terapis menghujani Dharma dengan puluhan pertanyaan, yang berkaitan dengan berbagai kasus. Ada yang bertanya “Bagaimana caranya mengatasi klien yang tertimpa musibah keuangan?”, atau “Bagaimana kita bisa menolong orang yang putus harapan?”, atau “Bagaimana caranya memberikan saran pada orang putus cinta?”. Yang sangat menarik, hampir di setiap kesempatan, guru tersebut selalu mengatakan: “Saya tidak tahu jawabannya. Seandainya saya benar-benar ada di hadapan klien tersebut, barulah saya bisa merasakan, mendengarkan hati saya, dan melakukan apa yang terasa paling tepat.” <br /><br />Bagi saya, inilah esensinya intuisi, atau terkadang diistilahkan dengan ‘kata hati’. Kita tidak menghabiskan waktu untuk berteori, menjadi sok pintar dengan segala skenario dan hipotesa yang mungkin terjadi tapi belum tentu terjadi. Ketika intuisi sudah menjadi panduan yang kita percaya, maka apapun yang perlu kita pilih dan kita putuskan, benar-benar dirasakan sepenuhnya pada momen tersebut ketika sedang terjadi secara nyata. Bukan diantisipasi sebelumnya.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Jalan Menuju Ikhlas & Pelajaran Hidup</span><br /><br />Apakah mendengarkan intuisi selalu merupakan pilihan dan keputusan yang paling benar dan bijaksana? Menjawab pertanyaan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita tidak pernah tahu dari berbagai pilihan dan skenario yang kita reka-reka sendiri, yang mana yang paling tepat. <br /><br />Bagi yang mengharapkan kepastian ketika mengikuti kata hati, tidak jarang kekecewaan bisa muncul di kemudian hari, karena hidup ini memang tidak pernah pasti. Namun bagi saya, ketika berbagai pilihan sudah tersedia di depan mata, memilih berdasarkan intuisi bisa memberikan kesiapan hati yang maksimal untuk mampu menerima dengan ikhlas apapun konsekuensi yang hadir kemudian. Jadi, meskipun tidak pasti mendapatkan hasil yang aman dan paling baik, kita lebih siap menghadapi ketidakpastian hasil tersebut.<br /><br />Mitos lain yang juga terkait dengan intuisi adalah, kalau kita selalu mendengarkan intuisi maka hidup kita akan aman, selamat dan bebas masalah. Padahal kalau kita jeli melihat hidup, setiap tantangan dan masalah merupakan momentum pertumbuhan yang penting dan perlu dilalui setiap orang. Banyak yang mengistilahkan bahwa hidup ini seperti bersekolah. Kalau memang benar demikian, mendengarkan kata hati bukan membuat kita bebas masalah, tapi justru mengantarkan kita untuk menemui serangkaian tantangan dan masalah yang “perlu dan penting” untuk dijadikan pelajaran jiwa. Kita perlu belajar untuk tidak menolak dan menghindari masalah, dan memahaminya sebagai bagian yang esensial dalam hidup ini.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Mengembangkan Intuisi Anda</span><br /><br />Bila Anda ingin untuk hidup yang lebih dibimbing oleh intuisi Anda, pertama-tama ingatlah bahwa semua orang punya intuisi secara alamiah. Ini bukan keterampilan baru yang harus diperoleh, namun keterampilan lama yang terlupakan, dan perlu diasah kembali agar bermanfaat dalam keseharian.<br /><br />Kedua, untuk melatih kembali intuisi kita, kita perlu membiasakan kembali dengan keheningan, apa pun bentuknya. Dari mulai rileks, berdoa, meditasi, bahkan melamun di toilet pun merupakan bentuk keheningan yang bisa membantu kita untuk memunculkan inspirasi dan intuisi. Tanpa keheningan, intuisi akan tersamar dengan segala arus informasi di sekitar kita, dan kebisingan pikiran kita sendiri.<br /><br />Ketiga, bila Anda ingin berkonsultasi dengan kata hati Anda, setelah mencapai kondisi yang hening, ajukanlah pertanyaan Anda ke dalam hati. Ini bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan sebenarnya sangat wajar dan alamiah.<br /><br />Keempat, setelah hening dan bertanya, tunggu dan perhatikan. Jawaban atau bimbingan dari hati Anda bisa muncul dalam bentuk rasa, suara, gambar, simbol, mimpi maupun kebetulan-kebetulan yang muncul begitu saja dalam keseharian Anda. Biasanya setiap orang akan memiliki bentuk intuisi yang khas. Ada yang selalu memperoleh intuisi lewat mimpi, atau dalam bentuk rasa hati, maupun rasa di tubuh. Sebagai contoh, sahabat saya selalu memilih restoran yang ingin dikunjungi bilamana perutnya terasa “hangat” ketika mendengar nama restoran itu diucapkan. Sepintas terdengar konyol, tapi saya ingin Anda tahu bahwa kita semua mendengarkan intuisi dengan pola yang berbeda-beda setiap orang.<br /><br />Kelima, milikilah jurnal intuisi, yang membantu Anda untuk memerhatikan keterkaitan antara kebetulan-kebetulan yang terjadi, isyarat mimpi, rasa di hati dengan kenyataan yang terjadi setiap hari di sekitar Anda. Perlahan-lahan Anda akan mulai memerhatikan bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan, dan Anda mulai bisa membaca intuisi Anda dengan lebih tepat. <br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Berani Mengikuti Intuisi</span><br /><br />Dalam pertemuan saya dengan banyak orang, seringkali muncul ungkapan seperti ini: “Sebenarnya saya sudah bisa merasakan apa yang perlu saya lakukan, dan agaknya inilah bimbingan hati saya, tapi saya tidak berani melangkah dan mengikutinya.” Ini bukanlah problem yang sulit, dan berikut ada beberapa saran yang bisa Anda jalani untuk mengatasinya.<br /><br />Pertama, mulailah melatih intuisi dari hal-hal atau pilihan-pilihan yang kecil dulu. Seperti memilih menu makanan, mencari lokasi parkir kendaraan yang ideal, memilih warna pakaian, dsb. Sama seperti otot tubuh, otot intuisi Anda pun perlu diperkuat secara bertahap. Lambat laun, otot intuisi Anda semakin kuat, jernih dan lebih bisa diandalkan.<br /><br />Kedua, mulai perhatikan bagaimana bedanya antara intuisi dengan suara imajinasi dan pikiran Anda sendiri. Salah satu patokan saya pribadi adalah biasanya intuisi tidak diikuti dengan nafsu atau keyakinan yang kuat. Justru begitu kita merasa sangat yakin dan ingin terbukti benar, malah seringkali itu bukanlah intuisi. Dengan rajin mencermati, Anda mulai bisa membedakan intuisi dengan kebisingan pikiran Anda sendiri.<br /><br />Ketiga, coba renungkan dan ingat kembali beberapa peristiwa di masa lalu, di mana Anda pernah mendengar tapi tidak mengikuti intuisi Anda, lalu ingat hasilnya. Ingat juga berbagai momen di mana Anda pernah mendengar dan juga mendengarkan intuisi Anda, dan ingat bagaimana hasilnya. Secara bertahap, Anda pun akan membangun kembali rasa percaya terhadap suara hati nurani Anda sendiri.<br /><br />Terakhir, ingat bahwa kita telah dibiasakan untuk lebih mendengarkan kata orang lain (orang tua, keluarga, sekolah, guru, teman, dll), ketimbang mendengarkan panduan kata hati kita sendiri. Kita perlu ingat bahwa kitalah yang paling tahu tentang hidup kita sendiri, dan kita jugalah yang paling bertanggung jawab atas diri kita. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengan orang lain, tapi jangan abaikan intuisi Anda ketika sudah tiba saatnya memutuskan.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Intuisi Mendekatkan Kita pada Sang Pencipta</span><br /> <br />Sebagian orang, termasuk saya sendiri, meyakini bahwa intuisi adalah bimbingan Sang Pencipta yang diberikan melalui hati nurani kita, terlepas dari keyakinan agama apa pun yang kita peluk. Dengan melatih kembali kepekaan intuisi, Anda pun lebih terbuka untuk merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup, serta lebih peka untuk mendengarkan jawaban dari berbagai doa Anda. <br /><br />Tentu Anda pernah mendengar ungkapan “Manusia yang berusaha, tapi Tuhan yang menentukan hasilnya”. Untuk bisa menjalankan ini, kita perlu menjalani hidup dengan semangat dan upaya yang baik. Namun untuk bisa menerima bahwa hasil akhirnya tidak sepenuhnya tergantung kita belaka, dibutuhkan kepasrahan total. Tanpa mengikuti intuisi, sulit sekali melatih kepasrahan dan keikhlasan yang sebenarnya merupakan kunci untuk hidup ringan dan selaras.<br /><br />Akhir kata, selamat mengasah kembali hati nurani Anda. Mulailah dengan keheningan, untuk tiba di kebeningan, hingga Anda mampu mengikuti bimbingan yang Anda butuhkan. <br /><br />Hening, tanya, tunggu, dan perhatikan…<br /><br /><span style="font-style:italic;">Published, Eve Magazine, April 2008.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-39426773016291632292008-05-08T08:27:00.002+07:002008-05-08T08:57:03.554+07:00Dark Chocolate Love<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgINMDIPhrK6XAI7m0Q0GPc7I0z-9bD7dNFWHMSX3wXKRv6gCXSX99dXLYzdtHkYYJLALLJhFgzcwDFrpocRpjWan7usurYGTqyHzJEXbr2StgdoBbWM8Q2PPE7vYn4J-Dmht2u1w/s1600-h/chocolate.gif"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgINMDIPhrK6XAI7m0Q0GPc7I0z-9bD7dNFWHMSX3wXKRv6gCXSX99dXLYzdtHkYYJLALLJhFgzcwDFrpocRpjWan7usurYGTqyHzJEXbr2StgdoBbWM8Q2PPE7vYn4J-Dmht2u1w/s200/chocolate.gif" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5197819121804389426" /></a> Seiring bulan cinta Februari ini, bisakah kita bersama menemukan pelajaran cinta dalam sepotong cokelat? Pernahkah Anda menikmati sepotong <span style="font-style:italic;">dark chocolate</span>, dan merasakan beragam nuansa yang bisa terasa dalam setiap kunyahan, serta berbagai perasaan hati yang muncul dari pengalaman tersebut? Perhatikan bagaimana awalnya bongkahan cokelat tersebut terasa keras lalu setelah digigit atau dikunyah mulai terasa lembut dan meleleh dalam mulut Anda? Keras dan lembut, padat dan meleleh, merupakan spektrum pengalaman yang sangat nyata, bukan?<br /><br />Perhatikan juga ketika rasa manis dan pahit datang silih berganti dalam pengalaman santap <span style="font-style:italic;">dark chocolate</span> tersebut. Manis dan pahit pun merupakan rentang pengalaman yang sangat nyata.<br /><br />Perhatikan juga ketika sepotong cokelat tersebut telah habis dalam mulut Anda. Ada rasa puas, dan tidak lama kemudian Anda merasa ingin untuk menikmati lagi sepotong cokelat yang baru. Siklus antara mendapatkan keinginan dan memperoleh keinginan, serta terpuaskan dan tidak puas, menjadi tema sentral yang juga bisa dirasakan dalam pengalaman menikmati cokelat.<br /><br />Sekarang saya undang Anda untuk berhenti sejenak dan merenungkan pertanyaan sederhana berikut ini: bukankah semua pengalaman di atas juga merupakan rasa yang sama dalam berbagai pengalaman cinta dalam hidup kita?<br /><br />Siapa yang tidak pernah merasakan aspek keras dan lembutnya cinta? Ketika dua pribadi bertemu, membawa pengalaman hidup dan ego masing-masing, terkadang interaksinya penuh kelembutan antara satu sama lain, sehingga bagai terhanyut dalam cinta. Dan juga sebaliknya, ketika kedua pihak sedang bersikeras mempertahankan posisinya sehingga terbersit rasa sesal: mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang ini?<br /><br />Siapa yang tidak pernah merasakan manisnya cinta, senangnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari pasangannya, terbuai dalam segala keindahan yang dijanjikan cinta, dan sebaliknya merasakan pahitnya bertengkar, berbeda pendapat dan juga berpisah dalam hubungan cinta?<br /><br />Siapa yang tidak pernah merasakan kesendirian, dan rasa ingin untuk berada dalam sebuah hubungan kasih, lalu mendapatkannya serta menikmatinya, lalu kehilangan pertalian cinta tersebut, disisipi dengan rasa tidak ingin berhubungan dengan orang lain lagi, tapi tidak lama kemudian berada lagi dalam sebuah hubungan cinta yang baru? Bisakah Anda memahami rentang rasa hati yang sama, antara menikmati sepotong <span style="font-style:italic;">dark chocolate</span> dengan kehidupan cinta?<br /><br />Inilah yang saya sebut realitas. Memahami kehidupan dari kedua sisinya secara menyeluruh. Realistis artinya memahami dan menerima realitas bahwa selalu ada dua sisi ini. Senang dan susah, untung dan sial, dipuji dan dihina, bertemu dan berpisah, mendapat dan melepas, merupakan dualitas hidup yang tidak bisa dihindarkan maupun dicegah, apapun caranya, bagaimanapun upayanya.<br /><br />Bagi saya, pelajaran tentang cinta adalah suatu perjalanan yang merupakan bagian penting bagi kematangan diri dan evolusi. Ada limaa fase pertumbuhan jiwa yang saya amati dalam setiap orang, cobalah Anda renungkan di mana Anda pernah berada dan di mana pembelajaran Anda pada saat ini.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Fase 1: Mengejar manis karena ingin, hindari pahit karena takut</span><br /><br />Di sini kita umumnya ‘tahu’ tentang manis/pahitnya cinta, tapi belum ‘ngeh’ tentang betapa mendasarnya pemahaman ini. Kita lebih dikendalikan oleh keinginan kita untuk mengejar manis dan segala cita-cita, serta begitu kuat berusaha menghindari kepahitan karena takut mengalaminya. Bisa juga diikuti dengan sederet upaya kita untuk memperbaiki diri, serta mengubah pilihan dan perilaku pasangan kita supaya memperoleh manis dan terhindar dari pahit. Kata kunci dalam fase ini adalah “berusaha untuk berubah”.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Fase 2: Menyadari bahwa ada manis, ada pahit</span><br /><br />Di sini kita mulai membuka mata dan menyadari bahwa manis/pahit merupakan satu paket yang tidak bisa dipilah-pilah. Saat ini kita mulai mengerti bahwa kita tidak bisa hidup separuh saja, memang selalu ada dua sisi yang akan dialami. Upaya yang kita lakukan untuk “kejar manis, hindari pahit” masih dilakukan tapi mulai melunak, sehingga ada ruang dalam hati untuk lebih rileks dan menikmati kenyataan apa adanya. Kata kunci dalam fase ini adalah “sadar akan realitas”.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Fase 3: Sadar bahwa manis/pahit tidak pernah disebabkan oleh orang lain maupun keadaan, melainkan oleh pilihan kita sendiri</span><br /><br />Di fase ini, kita mulai melihat kembali begitu banyak upaya yang sudah kita lakukan untuk mengubah pasangan kita agar kehidupan cinta lebih terasa manis juga tidak banyak berguna. Di titik ini pula, biasanya kita mulai sadar ternyata banyak ketidakpuasan kita sebenarnya bersumber dari ekspektasi dan harapan kita sendiri, yang ketika bertubrukan dengan kenyataan yang berbeda, sungguh sakit rasanya. Kita mulai mengerti bahwa orang lain serta keadaan hanyalah pemicu dari bom waktu yang kita rakit sendiri dalam hati. Dan akhirnya kita mulai memilih untuk menetralisir berbagai ekspektasi dan harapan agar lebih mudah ikhlas dalam hidup. Kata kunci dalam fase ini adalah “bertanggung jawab penuh atas diri sendiri serta berhenti menyalahkan dan berusaha mengubah orang lain.”<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Fase keempat: Menyadari bahwa manis / pahit tidak bisa dicegah</span><br /><br />Di titik ini, banyak beban urusan cinta mulai sirna, meleleh, dan kita terima sebagai bagian wajar dalam hidup, karena kita mulai sadar bahwa segala upaya, strategi dan sejuta trik mengatasi problema cinta pun ada batasannya. Ada momen-momen hidup tertentu, terutama yang mengandung pelajaran hidup, ternyata meski sudah berusaha dan berdoa pun, tetap tidak bisa dicegah dan perlu dijalani sampai tuntas, sehingga lahirlah kepasrahan jiwa yang tulus, bukan dipaksakan. Kata kunci dalam fase ini adalah “pasrah total”.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Fase kelima: Belajar menikmati manis dan mensyukuri pahit</span><br /><br />Pada akhirnya, kita mulai mengerti bahwa semakin mengejar manis, semakin sulit manis bisa dialami. Semakin lari dari pahit, semakin awet masalah tersebut ada dalam hidup kita. Kita mulai hidup bebas dari preferensi, seperti potongan lagu “Mawar, melati… semuanya indah”. Kita tetap menjalani peran dan dinamika hidup sesuai dengan porsi yang wajar, tetap merasa manis dan pahit, tapi mengerti secara mendalam bahwa inilah sandiwara kehidupan yang perlu kita jalani apa adanya. Kita bisa hadir sepenuhnya untuk berbagai perasaan hati yang datang dan pergi, meskipun tidak selalu mudah menjalaninya. Kata kunci dalam fase ini adalah “merangkul mesra kedua sisi kehidupan, memetik kebijaksanaan dalam keseharian”.<br /><br />Hidup ini memang tidak bisa lepas dari dualitas. Baik sepotong <span style="font-style:italic;">dark chocolate</span>, maupun berbagi kasih dengan siapapun, kita tidak punya pilihan untuk hanya mengalami salah satu sisi saja. Selamat bertumbuh dalam kehidupan cinta, dan selamat Hari Kasih Sayang. <br /><br /><span style="font-style:italic;">I love you and also myself, but most importantly I love whatever life offers me in this moment. Enjoy your wonderful piece of dark chocolate.</span><br /><span style="font-style:italic;"><br />Published, Eve Magazine, February 20008.</span><br /><span style="font-style:italic;">* Picture taken from faeriesfinest.com</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-23742070304790552432008-05-08T08:24:00.001+07:002008-05-08T08:26:49.904+07:00Resolusi Awal TahunTiada ucapan selamat tahun baru yang lengkap tanpa meninjau apa yang kita sebut sebagai resolusi awal tahun. Rasanya sudah tidak asing lagi kebiasaan awal tahun di mana kita diajak membulatkan niat, menanam suatu cita-cita, dan menancapkan tekad untuk mencapai suatu perubahan.<br /><br />Seorang teman pernah bilang, bahwa baginya resolusi awal tahun adalah proses menggodok semangat juang dalam hidup, supaya dia bisa mengukur kemajuan dan prestasinya dari tahun ke tahun. Teman yang lain berkata, resolusi awal tahun itu hanya sumber stres, karena menurutnya dari sekian banyak keinginan yang tercantum, lebih banyak yang tidak tercapai daripada yang terwujud.<br /><br />Baris demi baris target dirumuskan, dari mulai janji untuk mulai berolahraga secara rutin, berhenti merokok, mulai memperhatikan pola dan asupan gizi yang lebih sehat, mengurangi konsumsi kafein, dsb. Ada juga yang bertarget tentang hubungan cintanya – baik sudah punya pasangan maupun tidak – yang penting tahun ini bisa menikah. Atau barangkali kita menetapkan resolusi yang berkaitan dengan karier, rezeki dan kesuksesan kita.<br /><br />Jadi apa saja resolusi awal tahun Anda? Bagi saya, meluangkan waktu hening dan merenungkan bagaimana kita mengelola energi kreatif dalam hidup, lebih bermanfaat ketimbang sekadar mencantumkan setiap keinginan dalam “daftar belanja” awal tahun.<br /><br />Mari kita lihat rutinitas yang biasa terjadi di perbatasan antara akhir tahun dan awal tahun. Pertama, tidak ada resolusi awal tahun yang afdol tanpa refleksi akhir tahun.Pada penghujung tahun, kita menengok resolusi yang telah dibuat pada tahun sebelumnya. Kita tepuk bahu kita sendiri atas niatan yang telah tercapai, dan kita pindahkan semua niatan yang belum tercapai sebagai kandidat penghuni daftar resolusi tahun selanjutnya.<br /><br />Saya sendiri, terus terang, jarang tergerak untuk menyusun resolusi awal tahun, saya lebih senang menjalani hidup ini langkah demi langkah. Mengapa begitu? Saya berusaha melihat kembali setiap momen ketika saya membuat rencana, dan sering sekali rencana tersebut tidak terjadi sesuai dengan apa yang kita prediksikan sebelumnya. <br /><br />Hidup ini memang sarat dengan perubahan dan ketidakpastian. Terkadang target dipasang supaya keinginan kita punya “bahan bakar” untuk tumbuh, bergerak dan berkembang, namun di tengah bersemangatnya kita mengejar keinginan, tanpa sadar dalam hati terselip rasa “keharusan” yang memaksa. Ini acapkali menjadi sumber stres yang tidak perlu.<br /><br />Tidak bisa disangkal, kita memang butuh semangat hidup. Tanpa itu, hidup bisa terasa hambar. Namun semangat hidup yang terjangkit “harusitis” – radang serba harus ini dan itu – berpotensi menjepit hati, dan akhirnya merampas kemampuan kita untuk menikmati hidup momen demi momen, serta membuat kita lebih mudah untuk lupa bersyukur atas hal-hal yang sederhana namun indah dalam hidup kita.<br /><br />Ada yang mengatakan bahwa potensi kreativitas manusia itu tak terbatas. Sebagian menjelaskan dengan mengatakan bahwa baru 2% dari otak kita yang sudah terpakai secara optimal. Sebagian lagi menyatakan bahwa karena kita adalah bagian dari ciptaan Ilahi, sumber mahakreatif yang mampu menciptakan dan mewujudkan segalanya. Manapun yang benar, agaknya alam berusaha berpesan bahwa kita punya potensi ‘mencipta’ yang luar biasa, termasuk untuk mewujudkan segala hal yang kita inginkan dalam hidup.<br /><br />Lalu bagaimana caranya agar potensi mencipta ini bisa terwujud menjadi kenyataan? Salah satunya adalah dengan menarik garis batasan yang akan memberikan fokus dan kesempatan agar potensi menjadi nyata. <br /><br />Contoh, setiap penulis punya segudang ide kreatif untuk menghasilkan karyanya. Namun seringkali tanpa kehadiran garis batasan yang namanya ‘deadline’, kemahakreativan tersebut sulit sekali dilahirkan dalam bentuk kata-kata. Inilah kekuatan agung dari garis batasan. <br /><br />Di sinilah saya melihat manfaatnya resolusi awal tahun. Garis batasan di awal dan akhir tahun, memberikan kita semua ‘rahim ruang dan waktu’ untuk mencipta, berkarya dan mewujudkan potensi diri seutuhnya. <br /><br />Gunakan target, dan batas waktu sebagai sarana untuk tumbuh dan berkembang, dan perhatikan dengan saksama agar hal tersebut justru jangan menjadi “penjara serba harus”. Bagaimana caranya?<br /><br />Pertama, untuk mencegah stres karena terlalu banyak cita-cita dan keinginan, bagaimana kalau kita belajar untuk membatasi berbagai batasan yang kita buat sendiri? <span style="font-style:italic;">Know when to limit your limits.</span> Jangan jadikan diri Anda sebagai tahanan dalam penjara keinginan yang dibuat sendiri.<br /><br />Kedua, untuk mengimbangi semangat hidup dengan kebijaksanaan, belajarlah untuk juga menyambut terbuka sifat kehidupan yang serba tidak pasti dan senantiasa berubah. Buka hati untuk hadir penuh perhatian di ‘sinikini’ – here and now. Meskipun Anda bisa saja membuat rencana untuk 5 tahun ke depan, kenyataannya rencana tersebut hanya dapat dilakukan, dicapai, dan dinikmati hanya di momen ini. Sekarang juga. <br /><br />Ketiga, tidak ada salahnya kita mengingatkan diri untuk bersyukur akan hal-hal yang indah namun sederhana dalam hidup. Nikmatnya seteguk air putih, nyamannya bernapas, serta tulusnya senyum, merupakan harta yang bisa kita petik setiap hari, setiap saat.<br /><br />Dan akhirnya, ikhlaskan segala kemungkinan terbaik dan terburuk, agar Anda tidak nafsu menang dan takut kalah. Menang dan kalah, berhasil dan gagal, merupakan persepsi yang sangat relatif. Apalagi kalau kita ingat bahwa setiap jiwa kita bertumbuh dan semakin kuat, biasanya justru dari pengalaman-pengalaman yang kita tuding sebagai kekalahan dan kegagalan.<br /><br />Pada awal tahun ini, saya mengajak Anda untuk ‘bermain’ dalam hidup. <span style="font-style:italic;">Have fun in your life, instead of letting your life make fun of you.</span> Dalam setiap tahun yang baru, kita semua dihadiahi 31.536.000 detik baru. Mari kita cintai sepenuh hati setiap detik tersebut, setiap momen, apa adanya.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Published, Eve Magazine, Januari 2008.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-22509156360156252112008-05-08T08:15:00.001+07:002008-05-08T08:23:44.931+07:00Bercermin Pada Satu Sama LainPernahkah Anda merenungkan di mana rasa bahagia dapat Anda petik dalam kehidupan sehari-hari? Di manakah letaknya bahagia? <br /><br />Sebagian orang berpendapat rasa bahagia ditemukan ketika kita mencapai apa yang dicita-citakan, didambakan dengan segenap harap. Tidak jarang juga belakangan kita merasa kebahagiaan yang datang dari terpenuhinya kenginan, agaknya cepat berubah menjadi kegelisahan lagi. Mengapa? Mungkin karena Sang Ego tidak pernah mengizinkan kita beristirahat lama dari demam ‘obsesi’. <br /><br />Setiap hari kita seperti dibanjiri berbagai keinginan dan keharusan. Eksperimen sederhana: dalam waktu 10 detik, tuliskan berbagai keinginan yang ingin Anda capai, barang-barang yang sangat ingin Anda beli dan miliki, ambisi yang terasa harus Anda raih. Sekarang, berhenti sejenak, bernapas. Lalu luangkan waktu sepuluh detik saja untuk menjawab pertanyaan sederhana ini: “Apakah saya saat ini benar-benar menemukan kebahagiaan dalam hidup?”<br /><br />Coba bandingkan proses dalam diri Anda ketika menjawab kedua pertanyaan tersebut. Biasanya pertanyaan pertama bisa kita jawab dengan cepat, lancar dan ringan, tanpa harus merenungkan penuh makna. Sebaliknya pada pertanyaan kedua, kita mendadak dipaksa berhenti, merenung, berusaha menjawab, yang kemudian bersambut dengan keraguan, lalu mengorek lagi ke dalam diri untuk menebak jawaban yang lebih baik.<br /><br />Ini yang terkadang meresahkan saya. Pikiran kita di zaman modern ini kerap tenggelam dalam berbagai obsesi, tanpa memiliki kejernihan tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai di balik segala keinginan tersebut. Memang hidup ini cuma permainan, dan terlalu serius pun bisa berbahaya. Namun apa salahnya kita berhenti dan menengok ulang ke dalam diri?<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Sepasang Embrio Bahagia bernama “Saya & Anda”<br /></span><br />Dalam studi psikologi yang dilakukan di Barat baru-baru ini, ternyata rasa bahagia tersebut tidaklah ditemukan dalam uang (meskipun tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan), maupun taraf pendidikan yang tinggi. <br />Justru studi tersebut menemukan bahwa hubungan antar pribadi yang baik, seperti persahabatan, keluarga dan relasi cintalah yang menentukan kadar rasa bahagia seseorang.<br /><br />Jadi berapa nilai aset pribadi dan gelar pendidikan seseorang bukan lagi rumus yang tepat untuk mengukur bahagia, melainkan bagaimana kualitas hubungan pribadi antara orang tersebut dan orang lain di sekitarnya yang menjadi indikator tulen akan kebahagiaan dan kepuasan hidupnya.<br /><br />Dengan kata lain, kita butuh satu sama lain untuk mencapai bahagia. Inilah momen pencerahannya. Kualitas relasi yang baik antara ‘Saya’ dengan ‘Anda’ ternyata merupakan resep rahasia yang jarang diperhatikan. Kualitas hidup = kualitas hubungan pribadi. Kita menjadi cermin bagi satu sama lain untuk bisa tumbuh.<br /><br />Dari pengalaman membantu mengatasi problema hubungan antar pribadi, sebagai terapis saya berupaya untuk menelusuri benang merah yang menjadi kunci utama dalam sehatnya tidaknya relasi antar pribadi. Dan ternyata yang saya temukan adalah bukan komunikasi, bukan kejujuran, dan bukan juga kesetiaan. Yang menjadi jantung dari keharmonisan hubungan antar pihak ternyata adalah kesanggupan kita untuk menerima dengan ikhlas. Menerima diri sendiri dan juga menerima orang lain, sepenuhnya, apa adanya. <br /><br />Namun mencapai tahap hubungan di mana kedua pihak bisa menerima satu sama lain apa adanya bukanlah pekerjaan mudah, terutama karena kita tidak terbiasa bertanggung jawab atas diri sendiri. Mengapa demikian?<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Berharap Orang Lain untuk Berubah</span><br /><br />Coba saja lihat dalam sebuah konflik di dalam hubungan pribadi, refleks kita untuk menuding mereka yang bersalah atau berharap bahwa orang tersebut akan berubah menjadi lebih baik adalah respons yang lebih sering muncul, sementara memerhatikan ke dalam diri dan menyadari andil kita sendiri dalam situasi tersebut, adalah suatu fenomena yang langka.<br /><br />Mengharapkan orang lain yang berubah, meski itu merupakan sebuah perubahan yang positif menurut kita, merupakan sesuatu yang tidak mudah, tidak realistis, bahkan lebih sering mustahil. Konsekuensi dari kesimpulan ini adalah keharmonisan relasi merupakan tanggung jawab dari kita sendiri.Menerima diri dan orang lain adalah peran yang hanya bisa dijalankan diri kita sendiri. <br /><br />Ketika kita yang berharap agar orang lain yang bisa lebih menerima kita, maka sesungguhnya kita yang sedang tidak menerima diri mereka apa adanya. Bilamana kita merasa sulit untuk menerima dalam hati, maka belajarlah untuk menerima diri kita sendiri yang masih belum bisa untuk menerima orang lain.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Perampok Tanggung Jawab Orang Lain</span><br /><br />Dalam kasus sebaliknya, ada juga orang yang tidak mengerti batas tanggung jawab dirinya, sehingga seringkali “merampok” porsi tanggung jawab orang lain. Setiap urusan orang lain dijadikan tanggung jawabnya sendiri, dan kalau ada yang tidak beres, maka dia akan merasa dirinyalah yang paling patut disalahkan atas segala situasi. <br /><br />Bila Anda cenderung ada di posisi ini, cobalah renungkan ulang apakah Anda sering merasa perlu ‘menyelamatkan dunia’, menolong semua orang, dan menjadikan hidup lebih baik? Kalau iya, kemungkinan Anda tanpa disadari bisa saja sering merecoki hidup orang lain, atas nama cinta atau kebaikan, dan di saat itu jugalah hubungan pribadi Anda dengan orang tersebut menjadi tidak sehat. <br /><br />Ini seringkali muncul dalam refleks selalu ingin menolong, selalu ingin memberikan nasehat, mudah sekali iba kepada orang lain. Jangan salah sangka, saya tidak menyarankan orang untuk bergabung ke dalam komunitas ‘hati beku’ yang tidak peduli dengan sesama. Saya hanya menyoroti keadaan di mana terkadang kita pun bisa lengah dan kurang bijak dalam menolong orang lain.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Hadiah Cinta Paling Bermakna</span><br /><br />Dalam hubungan pribadi yang saya alami langsung, maupun dalam kehidupan orang lain yang saya amati, ada dua hadiah cinta yang tak ternilai maknanya, dan bilamana diberikan dengan seimbang, maka biasanya hubungan tersebut cenderung sehat. Hadiah cinta ini berlaku baik pada hubungan cinta, persahabatan, keluarga dan bentuk hubungan pribadi apapun.<br /><br />Hadiah tersebut adalah perhatian <span style="font-style:italic;">(attention)</span> dan ruang <span style="font-style:italic;">(space)</span>. Terlalu banyak perhatian, tanpa diimbangi dengan kebebasan bagi pasangan untuk hidup dan bertumbuh, akan terasa sempit, dan hubungan tersebut akan perlahan berubah menjadi kontes adu kuat, siapa yang lebih sering menang, kalah, unggul atau mengalah. Contoh paling umum adalah hubungan yang cenderung terlalu overprotective antara orang tua dengan anak, atau terlalu banyak pembatasan dan kesepakatan dalam sebuah hubungan cinta.<br /><br />Sebaliknya, terlalu banyak kebebasan dan ruang gerak, tanpa diiringi dengan perhatian, seringkali berarti ketidakpedulian. Bagaikan hidup saling memunggungi, relasi seperti ini juga hidup dengan bom waktu. Hampir tidak bisa dihindari, bahwa kita memiliki saat-saat tertentu di mana kita ingin diperhatikan, dan juga saat-saat lain di mana kita ingin bebas untuk bertumbuh ke arah manapun alam membimbing.<br /><br />Saya sajikan sepotong filosofi kehidupan dari Hawaii tentang relasi yang sehat. Menurut mereka, ada empat penggal kalimat universal yang bilamana dihayati merupakan kunci dari sembuhnya segala bentuk masalah antar pribadi, yaitu: <br /><span style="font-style:italic;"><br />I’m sorry.<br />Please forgive me.<br />I love you.<br />Thank you.</span><br /><br />Maukah Anda menemani saya dalam perjalanan bercermin ini? Ingatlah sejenak orang-orang yang ada dalam kehidupan Anda. Perhatikan bagaimana kehadiran mereka serta hubungan yang Anda jalani bersama mereka, telah memupuk Anda menjadi sosok jiwa saat ini. Sudahkah cukup dan berimbang hadiah ‘perhatian’ dan ‘ruang’ yang kita berikan pada mereka? Bisakah dalam hati, Anda sampaikan kepada mereka, <span style="font-style:italic;">“I’m sorry. Please forgive me. I love you. Thank you”?</span><br /><br />Semoga makna dari filosofi tersebut terus bergema dalam hati Anda, dan pantulannya singgah dalam jiwa setiap orang yang singgah dalam hidup kita. Di balik segala peran dan kerumitan hidup ini, pada akhirnya kejernihan sederhana sebenarnya berpangkal pada ‘Saya’ dan ‘Anda’. <br /><span style="font-style:italic;"><br />Published, Eve Magazine, Desember 2007.<br /></span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-22475941767533971192008-05-07T21:10:00.001+07:002008-05-07T21:15:22.658+07:00Menerima Segala Sesuatu Apa AdanyaBelum lama ini, saya selalu mengirimkan ucapan selamat ulang tahun via sms kepada para teman-teman yang isinya begini: “Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu mencintai dirimu sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.” Apakah ucapan seperti ini seperti menyarankan untuk hidup apatis dan pasif? Ataukah di dalamnya tersembunyi suatu pesan yang bisa kita nikmati?<br /><br />Sebenarnya, kalau hidup modern ini mau diamati, kita cuma punya satu permasalahan utama. Sesuatu yang begitu lumrah, biasa, bahkan lebih sering tidak kita sadari keberadaannya. Sesuatu yang sudah sedemikian otomatis, tak terhindarkan dan dihadapi setiap hari, sehingga tidak lagi terdeteksi sebagai sesuatu yang perlu diatasi. Sesuatu yang sebenarnya begitu mendasar dalam munculnya berbagai konflik dalam kehidupan pribadi maupun karier kita, bahkan tidak jarang mengakibatkan penyakit.<br /><br />Hal itu adalah… <span style="font-style:italic;">stres.</span><br /><span style="font-weight:bold;"><br />Terbiasa Melarikan Diri</span><br /><br />Ya, kita tahu tentang kata ‘stres’, mengerti tentang artinya, bahkan akrab dengan rasanya. Namun dalam pengamatan saya berbagi pengalaman dengan para klien terapi, sedikit sekali di antara kita yang tahu dan mampu mengelola stres secara sehat. Dalam percakapan sehari-hari, lazim saya dengar berbagai orang mengatasi stres dengan cara makan enak, berbelanja barang-barang yang diidamkan, menyanyi, berdansa, olahraga, merokok, menikmati alkohol, dll. <br /><br />Tentunya dari berbagai kegiatan mengatasi stres yang ditulis di atas, tidak ada yang salah bilamana dilakukan pada takaran yang pas. Masalahnya adalah, selain kadang dilakukan berlebihan, semua kegiatan di atas mempunyai suatu kesamaan. Semuanya cenderung dilakukan untuk mengalihkan perhatian kita dari situasi atau permasalahan yang membuat kita mulai stres. Dengan kata lain, semua di atas bersifat “pelarian”, ketimbang menghadapi.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Baru Peduli Ketika Sudah Terlambat</span><br /><br />Pertanyaannya sekarang: mengapa kita tidak mau menghadapi masalah atau situasi yang membuat stres? Sementara kita sibuk mengalihkan perhatian dari masalah, sebenarnya stres kita tidak benar-benar sirna, hanya sekadar larut dan tertimbun begitu dalam di gudang jiwa, dan lambat laun gudang tersebut akan penuh dan meledak. Ketika sudah mencapai titik buyar ini, barangkali meledaknya stres tersebut disertai dengan pecahnya konflik dalam hubungan antar pribadi, atau disertai penyakit kronis fisik yang sudah telanjur sulit diobati.<br /><br />Cukup ironis bahwa terkadang kalau kita mulai ada gejala sakit ringan, seperti batuk, bersin atau demam, maka kita relatif cepat mencari obat, periksa ke dokter atau rumah sakit. Namun, ketika kita stres, terutama ketika memiliki masalah dalam hubungan pribadi kita dengan orang lain, agaknya cenderung ditunggu dulu sampai parah stadium-4 atau kondisi siaga-5, barulah kita sadar dan mulai memerhatikannya.<br /><br />Saya jadi berpikir, apakah ada hal-hal kecil dan sederhana yang bisa kita pahami, tempuh, dan petik dari sesuatu yang begitu akrab dengan keseharian kita ini? Dalam renungan singkat ini, saya mengundang Anda untuk menelusuri di mana titik lahirnya stres. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Formula Lahirnya Stres & Masalah</span><br /><br />Saya ingin menawarkan sebuah formula tentang stres dan masalah, yaitu:<br /><br />MASALAH = observasi panca indra + evaluasi pikiran + rasa tidak nyaman hati<br /><br />Contoh pertama, misalnya saya bermasalah terjebak macet dan stres sepanjang jalan karena mengejar waktu untuk rapat bisnis yang penting. Masalah ini punya tiga komponen, dari: (1) panca indra, yang mengobservasi lewat pandangan dan pendengaran bahwa saya sedang terjebak macet, dan beberapa ratus meter ke depan kelihatannya tidak ada tanda-tanda lancarnya lalu lintas, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “ini buruk sekali! Saya bisa terlambat ke rapat bisnis dan ditegur oleh atasan saya”, dan (3) hati, yang takut dimarahi, takut kehilangan kesempatan bisnis, marah dengan kenyataan terjebak macet.<br /><br />Contoh kedua, misalnya seorang istri yang dimarahi suaminya dalam suatu konflik dan merasa stres. Ini pun punya tiga komponen yaitu, (1) panca indra yang melihat dan mendengar peristiwa konflik dan dimarahi, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “oh, ini tidak benar! Saya kan tidak salah kenapa dibentak-bentak seenak hatinya! Saya harus membela diri”, dan (3) hati, yang tidak terima dimarahi, ingin membalas dengan caci maki atau merasa sedih karena selalu disalahkan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Obat Stres yang Lazim tapi Rapuh</span><br /><br />Jadi, semua bentuk masalah, pasti punya tiga komponen ini. Biasanya upaya yang paling lazim adalah kita mengerahkan segenap kemampuan kita untuk berusaha mengubah komponen pertama, yaitu situasi dan kondisi objektif yang dapat kita amati dengan panca indra. Umpama dalam contoh di atas, kita berusaha mengubah situasi macet dengan mencari jalur alternatif, atau menghentikan omelan suami dengan berbalik marah, kabur ke ruangan lain, atau berusaha menjelaskan posisi kita agar dia tidak lagi marah-marah.<br /><br />Namun tidak semua situasi dan kondisi dapat kita kendalikan sepenuhnya, karena biasanya melibatkan orang lain serta kehendak Tuhan. Bahkan pada saat kita berhasil mengubah situasi dengan daya upaya sekalipun, belum tentu perubahan tersebut akan stabil dan tidak berubah lagi. Mengubah situasi dan kondisi yang kita tidak inginkan, memang merupakan suatu cara untuk menjadi bahagia. Namun kebahagiaan tersebut sangat rapuh, karena tidak selalu dapat dicapai, dan kalaupun dicapai, belum tentu permanen.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Melirik Kebiasaan Menilai dan Mengevaluasi</span><br /><br />Di lain sisi, apa yang menjadi evaluasi di pikiran kita, maupun perasaan di hati yang muncul sekejap setelahnya, cenderung dianggap baku, kaku, dan tidak bisa lagi diubah. Memang, perasaan hati akan cenderung mengikuti evaluasi pikiran, atau bagaimana kita melihat dan menilai suatu kondisi. Kalau kita menilai suatu kondisi baik/benar, maka kita cenderung merasa senang dan nyaman. Kalau suatu kondisi kita nilai sebagai buruk/salah, maka kita menderita dan tidak nyaman. Inilah yang saya sebut penjara baik/buruk vs benar/salah.<br /><br />Coba kita ingat seorang bayi. Jarang sekali sewaktu kecil, seorang bayi mengalami stres dibanding sewaktu dewasa nanti. Cara mereka menghadapi hidup dan dunia ini adalah bermain, bereksplorasi, dan penuh semangat keingintahuan. Tidak lama kemudian, jiwa sang bayi mulai belajar dari keluarga, sekolah dan lingkungan untuk menilai, mengevaluasi, menghakimi mana yang benar atau salah, mana yang baik atau buruk. Kemudian, ia beranjak dewasa, semangat bermain berubah menjadi serba serius, eksplorasi dan rasa ingin tahu menjadi keharusan untuk selalu benar dan baik, dan penuh rasa takut berbuat salah atau dinilai buruk oleh orang lain.<br /><br />Saya tidak menyangkal bahwa kemampuan membeda-bedakan memang kita butuhkan agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam hidup ini, tapi pada saat yang sama kita sebagai manusia dewasa terlalu sering menyalahgunakan kemampuan evaluasi ini untuk terlalu banyak membanding-bandingkan diri dengan orang lain.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Saya Selalu Merasa Ada Tidak Beres dengan Diri Saya</span><br /><br />Efek akhir dari terlalu sering menilai dan mengevaluasi ini adalah kita selalu merasa kurang layak, kurang percaya diri, kurang bahagia, selalu merasa ada yang perlu kita perbaiki di dalam diri kita, penampilan kita, dan hidup kita. <br /><br />Tanpa kita sadari, perjalanan jiwa kita menuju kedewasaan telah juga ditunggangi oleh ‘virus pikiran’ yang tak pernah puas dengan hidup. Tak peduli kita punya begitu banyak berkah yang pantas disyukuri, semua itu tidak pernah cukup. Dan rasa ketidakcukupan itulah yang menjadi lahan gembur untuk lahirnya… stres.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tidak ada Penilaian Yang Absolut, Semua itu Relatif</span><br /><br />Kalau kita mau menengok sedikit lebih dalam, segala penilaian yang kita buat dalam pikiran tersebutlah yang membuat kita sulit untuk menerima dengan segala sesuatu apa adanya, apalagi berdamai dengan kenyataan. <br /><br />Mari kita ambil sebuah contoh, misalnya saja perilaku malas. Umumnya, orang yang sedang malas, akan dicap dan dihakimi sebagai pihak yang berkelakuan buruk dan salah. Namun pada situasi di mana seseorang terobsesi dengan bekerja <span style="font-style:italic;">(workaholic)</span>, pernahkah kita terpikir bahwa justru bila dia ‘disuntik’ virus malas, itulah yang akan membawa keselarasan yang sehat dalam hidupnya?<br /><br />Contoh lain, menangis umumnya dinilai sebagai kelemahan yang perlu dihindari, karena menunjukkan tidak kuatnya jiwa, kurang gagah, dsb. Namun dalam ilmu penyembuhan dan terapi, menangis adalah salah satu tanda terbebasnya jiwa dari tekanan hidup yang berkepanjangan, dan juga seringkali merupakan titik awal sembuhnya seseorang, baik dari penyakit fisik maupun masalah kejiwaan.<br /><br />Untuk setiap sudut pandang tentang apapun, selalu ada sudut pandang sebaliknya yang memiliki keabsahan yang sama. Dengan kata lain, kita juga tidak harus selalu bersikukuh dengan penilaian, sudut pandang, dan evaluasi kita dalam suatu situasi, maupun tentang perilaku orang lain.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Melatih “Tak Menilai” Dalam Keseharian</span><br /><br />Bagi saya pribadi, saya ingin tetap bisa menilai segala sesuatu dengan wajar dan pada tempatnya. Namun saya juga menyadari betapa pikiran saya sudah sedemikian lama terjangkit kebiasaan menilai yang berlebihan, sehingga perlu latihan yang sadar, sengaja dan khusus agar tidak selalu bersikukuh dengan penilaian saya.<br /><br />Pertama, saya sangat mencintai napas saya. Kapan pun kita bernapas dengan sadar dan mengembuskannya dengan lega, rasa di hati selalu terasa lebih cair, lebih bebas, dan lebih lapang. Itu sebabnya dalam situasi yang sulit, atau ketika saya telanjur menilai situasi atau orang lain, saya sengaja menghentikan diri untuk bernapas sejenak. Tidak perlu terlalu lama, cukup hirup napas dengan lembut, rasakan diri Anda, dan embuskan dengan perlahan, “aaah…”. Ulangi beberapa kali hingga terasa lebih tenang.<br /><br />Anggaplah napas ini sebagai tombol <span style="font-style:italic;">reset</span> pada komputer yang menetralisasi segalanya atau, seperti ungkapan sahabat saya, bagaikan teriakan seorang sutradara film <span style="font-style:italic;">“Cut!” </span>dan semua drama yang dilakoni berhenti. Kembali ke kenyataan.<br /><br />Kedua, setelah lebih tenang, saya mengingat bahwa apa pun penilaian saya akan situasi atau orang lain saat ini, tentu ada berbagai penilaian dan sudut pandang lain yang sama sahnya, dan belum tentu sudut pandang sayalah yang paling benar. Bahkan ketika saya mengerti sepenuh hati bahwa semua sudut pandang sebenarnya memiliki kebenaran masing-masing, tergantung dari arah mana kita menghadapi masalah, saya tidak punya alasan untuk memaksakan pendapat ataupun membuktikan bahwa sayalah yang paling benar, dan pihak lain yang salah.<br /><br />Ketiga, saya berusaha mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi, segala sesuatu muncul dengan sempurna sebagaimana yang memang harus terjadi. Secara singkat: apa yang seharusnya terjadi, adalah apa yang sedang terjadi. Barangkali saya tidak selalu langsung mengerti mengapa situasi harus terjadi seperti ini, ataupun langsung mengerti hikmahnya, namun ketika saya siap untuk memahami, saya akan melihat dengan perspektif yang lebih melegakan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Semuanya Berpulang pada Diri Sendiri</span><br /><br />Saya sadar betul bahwa berbagai sudut pandang yang saya cantumkan di atas merupakan sebuah evaluasi pribadi saya terhadap kehidupan. Berbagai persetujuan maupun keberatan yang mungkin saja muncul dalam benak Anda, memiliki kebenaran yang sama sahnya, karena kita sulit sekali hidup tanpa menilai dan berpendapat.<br /><br />Pada akhirnya, apapun sudut pandang yang kita pilih sebagai kebenaran, tentunya tergantung dari diri kita sendiri. Bagi yang jeli dalam merenungkan formula stres di atas, mereka pun akan menyadari bahwa semua masalah sebenarnya kuncinya pun kembali pada diri kita sendiri, bukan berubahnya situasi atau tergantung orang lain.<br /><br />Dan mungkin, kalau kita bersama-sama lebih sadar tentang hal ini, maka segala upaya mengatasi kehidupan dan dunia yang semakin cepat, tegang, dan penuh beban ini bisa menjadi perjalanan yang lebih ringan, ikhlas, dan selaras. <br /><br />Semoga kita semakin mencintai diri kita sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.<br /><span style="font-style:italic;"><br />Published, Eve Magazine, November 2007.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-21145200821373194672008-05-07T21:04:00.001+07:002008-05-07T21:08:13.138+07:00Tiada Maaf BagimuBertepatan dengan berakhirnya bulan suci Ramadhan, di mana mulut dan laku sudah dibudayakan untuk mengucap maaf, serta jari jemari sibuk mengirimkan untaian kata-kata indah yang bernada pemaafan via SMS, saya mengundang Anda untuk merenungkan sejenak makna maaf yang sebenarnya, agar benar-benar bisa berlatih saling memaafkan dari hati.<br /><br />Saya seorang pecinta kebijaksanaan hidup. Tidak karena ingin menjadi orang bijak, tapi saya menemukan bahwa kebijaksanaan membuat hidup lebih ringan, lebih ikhlas dan lebih selaras. <br /><br />Kebijaksanaan adalah esensi dari bagaimana kita memaknai dan menjalani hidup. Namun bungkusnya sungguh bisa bermacam-macam. Dulu saya berpikir kebijaksanaan hanya ada di segala hal yang saya anggap “suci”, seperti kitab suci, orang suci, dan bulan suci. Ternyata saya salah besar. Benar-benar dungu dan acuh terhadap kenyataan bahwa kebijaksanaan hidup ada dalam setiap bungkus. Masalahnya saya kurang jeli dalam menghayati momen-momen hidup.<br /><br />Bungkus-bungkus yang paling sering tidak saya kenali sebagai “pembawa kebijaksanaan” adalah justru orang-orang yang membuat perasaan hati saya terusik, momen kehidupan di mana saya merasa sial, dirugikan, disakiti, di mana hati sungguh bergelut mengunyah pahitnya hidup dengan penuh rasa geram.<br /><br />Kita semua tentu pernah mengalami betapa sulitnya memaafkan dengan ikhlas, tuntas dan sepenuh hati. Kita juga pasti pernah merasakan beratnya memohon maaf kepada orang lain, apalagi kalau orang tersebut tidak berkenan memaafkan kita. Bagaikan hidup menanggung beban yang semakin mendera, tidak hanya bagi yang mohon maaf, melainkan bagi semua yang terlibat dalam suatu konflik.<br /><br />Pada saat-saat seperti ini, tidak jarang batin menjerit untuk mengutuk keadaan, menolak kenyataan sebagaimana apa adanya, dan ingin rasanya mengatakan “Tiada maaf bagimu!” kepada orang-orang yang kita salahkan sebagai penyebab derita ini, meskipun banyak guru bijak mengajarkan jalan pemaafan sebagai sarana untuk memulihkan ketentraman hidup.<br /><br />Jadi tidaklah sulit untuk melihat bahwa pemaafan <span style="font-style:italic;">(forgiveness)</span> yang terjadi sepenuh hati, merupakan suatu obat kedamaian. Obat yang membantu mengakhiri penderitaan, menerima kenyataan, dan mencintai diri sendiri serta orang lain.<br /><br />Untuk bisa menyadari esensi pemaafan <span style="font-style:italic;">(forgiveness)</span> yang sesungguhnya, kita perlu belajar dari tidak tercapainya pemaafan <span style="font-style:italic;">(unforgiveness)</span>. Apa saja salah kaprah tentang pemaafan, yang justru mengurangi manjurnya obat maaf, barulah setelah itu kita bisa belajar pemaafan yang efektif.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Salah Kaprah 1: Kita harus memaafkan</span><br /><br />Untuk setiap pekerjaan hati, kata “harus” seringkali melahirkan keterpaksaan, dan rasa terpaksa ini mendistorsi pemaafan yang jernih dan tuntas. Meskipun orangtua, budaya dan agama mengajarkan bahwa pemaafan adalah sesuatu yang baik, sering sekali hati punya ritme dan tahapan tersendiri yang perlu dihormati. Ini sebabnya setiap kali kita memaksakan hati, sulit sekali merasakan lega atau tuntas dari masalah.<br /><br />Bahkan sebelum segala emosi seperti sedih, marah, sakit hati, frustrasi sempat dinetralisir, seringkali kita memaksakan diri untuk memaafkan. Akibatnya, dalam keseharian kita sering mendengar orang mengatakan, “Sebenarnya saya sudah memaafkan dia dan peristiwa itu, tapi entah mengapa masalah itu masih sering sekali menyelinap di pikiran saya, dan ini sungguh mengganggu.” Ini yang disebut pemaafan prematur (premature forgiveness).<br /><br />Bisa jadi, bilamana kita merasakan hati belum siap memaafkan, lebih sehat kita akui itu kepada diri sendiri, daripada membohongi diri maupun pihak lain bahwa kita sudah memberikan maaf. Ingat bahwa tidak memaafkan karena belum siap, belum tentu lebih buruk daripada pura-pura memaafkan karena dituntut untuk memaafkan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Salah Kaprah 2: Pemaafan menentukan siapa yang benar / salah</span><br /><br />Berikutnya seringkali masing-masing pihak menunda untuk meminta atau memberi maaf. Mengapa ini terjadi? Dalam bawah sadar, kita menganggap bahwa meminta maaf berarti mengaku sebagai salah, dan memberikan maaf berarti memosisikan diri sebagai pihak yang benar. <br /><br />Sebuah konflik akhirnya terus berkepanjangan karena ego masing-masing akan menemukan 1001 alasan yang membenarkan posisi dirinya sendiri, dan tidak mau sepenuh hati mengaku salah. Mungkin yang perlu berubah adalah konsep benar/salah ini, sebab kalau pemaafan terus berkait dengan siapa yang benar/salah, sebuah masalah bisa menjadi semakin panjang umur, sementara si manusia yang bermasalah bisa jadi semakin pendek umur.<br /><br />Seandainya saja kita bisa merenungkan lebih dalam, sebenarnya dalam setiap konflik tidak ada pihak yang secara absolut benar maupun salah. Biasanya setiap pihak sebenarnya sekadar bertindak berdasarkan “apa yang dirasakan paling benar” menurut dirinya sendiri, dan kebetulan tindakan tersebut berbenturan dengan pihak lain yang bertindak juga sesuai dengan apa yang dirasakan paling benar bagi pihak tersebut. Dengan kata lain, keduanya punya tujuan yang sama. Namun dalam mencapai tujuan tersebut, terjadi konflik yang menyebabkan penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat.<br /><br />Kalau kita mengerti bahwa tidak ada keabsolutan dalam posisi benar/salah, maka dalam sebuah konflik kita mengerti bahwa setiap pihak punya kontribusinya masing-masing dalam terjadinya derita. Dan dari pengertian ini, meminta maaf bisa lebih mudah dilakukan karena bukan untuk mengaku salah tetapi untuk bertanggung jawab dalam mengakhiri penderitaan bersama sesuai andil masing-masing. <br /><br />Anehnya, ketika kita dengan tulus meminta maaf atas andil kita sendiri dalam suatu persoalan, seringkali memberikan maaf kepada orang lain juga lebih mudah, karena mengerti bahwa masing-masing pihak punya andil. Inilah praktek pemaafan yang lebih realistis dan bertanggung jawab, ketimbang hanya membuktikan siapa yang benar atau salah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Latihan untuk Pemaafan yang Sempurna</span><br /><br />Sama dengan keterampilan apa pun, pemaafan yang sempurna hanya bisa dicapai dengan latihan, setiap saat, sepanjang hidup kita. Ada tiga bentuk latihan yang memungkinkan kita untuk hidup lebih ikhlas, dan mampu memaafkan dengan tulus dan sepenuh hati.<br /><br />Pertama-tama, meskipun tidak selalu mudah, belajarlah mengomunikasikan pikiran dan perasaan Anda dengan jujur dan apa adanya. Kita semua punya keinginan mendasar yang ada di dalam jiwa setiap manusia. Keinginan tersebut adalah ingin dipahami, ingin dimengerti. Berlatihlah jujur kepada diri sendiri dan menyampaikannya kepada orang lain. <br /><br />Sangatlah penting juga melatih kemampuan untuk mendengarkan dan memahami orang lain, tanpa menilai, berkomentar, menghakimi atau menyetujui mereka. Bentuk-bentuk komunikasi yang lebih jujur, baik dalam mengungkap isi hati maupun mendengar tanpa menilai, membantu mencairkan beban hati yang seharusnya dinetralisir terlebih dahulu sebelum kita siap untuk tahap pemaafan.<br /><br />Kedua, kita perlu belajar menata hati. Apa yang dirasakan dalam hati sebenarnya bagaikan cuaca. Tidak bisa kita ubah, hanya bisa disadari, dirasakan dan dipahami—seperti halnya cuaca, kalau sudah waktunya akan berlalu. Namun kalau cuaca hati tersebut ditolak, dipaksakan untuk berubah, justru malah jadi bertahan lebih lama. Latihlah diri untuk menerima perasaan hati dan kondisi hidup seperti apa adanya. <br /><br />Ketiga, latih diri untuk lebih hidup nyata, di sini dan saat ini <span style="font-style:italic;">(here and now)</span> ketimbang hidup di pikiran kita yang penuh dengan memori dari masa lalu serta fantasi tentang masa depan. Apa pun yang pernah terjadi yang mungkin menyakitkan hati, sungguh sebenarnya sudah terjadi dan sudah berlalu. Apa pun yang kita takutkan dan kuatirkan di masa depan, tidak bisa kita perbaiki atau tanggulangi karena belum benar-benar terjadi di saat ini. <br /><br />Satu-satunya pilihan yang nyata, adalah hidup dari momen saat ini sepenuhnya, jujur dengan diri dan hati sendiri, mengizinkan pemaafan muncul dari jiwa yang terdalam, dan bersyukur atas pembelajaran yang bisa kita petik dari hidup ini.<br /><span style="font-style:italic;"><br />Published, Eve Magazine, Oktober 2007.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-80447456204403629312008-04-23T18:45:00.002+07:002008-04-27T20:30:10.802+07:00Merdeka vs Harusitis<span style="font-style:italic;">Seekor ikan hias yang indah begitu riang bergerak dalam sebuah kotak kaca yang dilengkapi dengan lampu hias dan segala wahana permainan yang tersedia dalam akuariumnya, dunia tempat dirinya merasa aman dan bahagia.<br /><br />Dia mampu melihat dunia di sekitarnya yang penuh nuansa dan perubahan, tetapi tidak sadar bahwa dirinya telah memilih untuk terbatas pada ruang edar sebatas dinding kaca yang mewadahi air. Air yang memberinya kehidupan. Bahkan ketika mendengar kabar sepintas bahwa kehidupan yang sebenarnya jauh lebih luas dari kotak kacanya, belum tentu dia siap menguji kebenaran kabar tersebut.<br /><br />Ketika suatu hari dia memberanikan dirinya untuk menguji kebebasannya… tok! Ternyata barulah dia menyadari adanya kaca-kaca yang selama ini tidak dilihatnya, baru ketika dia menyadari dirinya tidaklah lebih dari sebuah kesadaran yang dibatasi oleh kesadaran lain, yakni kesadaran si pemelihara ikan. Mulai hari itulah si ikan menyadari keterbatasannya dan punya pilihan untuk menerima keterbatasan tersebut atau mengubah kondisi hidupnya yang selama ini “disangka” bebas.</span><br /><br /><br />Tidak terasa sudah 62 tahun negara ini menyatakan dirinya merdeka. Bagi mereka yang lahir setelah masa kemerdekaan tahun 1945, termasuk saya, kita mengenal kemerdekaan sebatas pelajaran formal di sekolah saja, entah bagaimana rasanya.<br /><br />Bagi sebagian besar orang, merdeka merupakan suatu momen historis, suatu peristiwa yang tidak sempat kita alami dan rasakan langsung. Barangkali bentuk konkretnya yang terasa di hati pun tidak ada, hanya cuplikan kata-kata atau gambar historis seperti sedang menonton film dokumenter di televisi.<br /><br />Tetapi apakah Anda tahu rasanya kebebasan? Bagi yang tidak pernah merasakan, mungkin baginya tidaklah penting untuk menghayati ini. Masih adakah relevansi dari kemerdekaan bagi Anda dan saya di saat ini?<br /><br />Untuk bisa merasakan kemerdekaan, pertama-tama kita harus mengerti benar esensi dari ketidakmerdekaan. Segala bentuk ketidakmerdekaan akan melahirkan penderitaan dalam hidup, baik dalam kesehatan, kesuksesan maupun hubungan pribadi kita.<br /><br />Kita mengenal istilah medis seperti gastritis (radang lambung), bronkhitis (radang saluran napas), dan berbagai istilah penyakit lain yang menggunakan akhiran “-itis”. Dalam berbagai istilah tersebut, “-itis” diartikan sebagai radang, yang mengganggu kesehatan tubuh kita.<br /><br />Kalau boleh saya kaitkan dengan pembahasan tentang kemerdekaan sejati, barangkali kita terbenam dalam budaya global yang tanpa disadari telah mencuri pilihan dan kebebasan kita untuk menikmati momen-momen hidup. Penyakit tersebut saya beri nama “harusitis”, di mana kita terjepit dalam berbagai keharusan, baik keharusan yang kita tetapkan sendiri maupun yang dituntut oleh masyarakat.<br /><br />Harus sehat, harus bahagia, harus sukses, harus kaya, harus cantik, harus punya pasangan, harus punya ini-itu, dan lain lain. Segala bentuk “harus” ini, mau tidak mau, mendidik kita untuk tidak menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, serta tidak bisa berdamai dengan kenyataan hidup saat ini apa adanya. Selama jiwa kita masih terinfeksi “harusitis”, bagaimana kita bisa berhenti dari kegelisahan dan rasa tidak cukup yang senantiasa menghantui hidup, memaksa kita untuk selalu merasa bahwa yang ada saat ini belum cukup baik, memaksa kita untuk meyakini bahwa <span style="font-style:italic;">“more is better than less”</span>?<br /><br />Biasanya ketika menghadapi suatu masalah, kita meng-kambinghitam-kan situasi atau orang lain sebagai penyebabnya. Misalnya saja, di zaman penjajahan dahulu, yang dipersalahkan adalah para penjajahnya. Namun apa yang terlintas dalam jiwa pihak yang terjajah sebenarnya juga punya andil dalam situasi tersebut, atau jika dicermati, sebenarnya pikiran dan perasaan seseorang tentang situasi yang dihadapinya turut menciptakan ketidakbahagiaannya.<br /><br />Inilah sebabnya saya berani mengambil kesimpulan, terutama dari pengalaman memberikan terapi secara holistik, bahwa banyak orang salah kaprah tentang apa inti masalah yang mereka hadapi. Tanpa disadari pikiran dan perasaan kita menjadi “penjajah terselubung” yang tidak kita ketahui, dan kita terkecoh menyangka bahwa perilaku orang lain atau situasi di luarlah yang menjadi sumber ketidakbahagiaan kita.<br /><br />Salah satu penulis favorit saya, Thich Nhat Hanh, pernah mengatakan bahwa pada dasarnya aspirasi setiap manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mencapai kebahagiaan sejati. Dan syarat mencapai kebahagiaan tersebut, adalah dengan mengalami suatu kemerdekaan dalam diri, untuk memiliki keberanian dalam menjadi diri sendiri apa adanya.<br /><br />Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita secara realistis bisa mencapai kebahagiaan melalui kemerdekaan di masa modern ini?<br /><br />Ada banyak yang berpendapat, berbahagia dicapai ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan <span style="font-style:italic;">(getting what we want)</span>. Mungkin kita menginginkan sukses, harta, kekuasaan, kesehatan, persahabatan, cinta, keluarga, dan sederet “paket” keinginan yang kita jadikan sebagai syarat. Seolah terukir dalam hati: “Kalau semua keinginan saya terwujud, maka barulah saya akan berbahagia”. Ini yang saya istilahkan <span style="font-style:italic;">conditional happiness</span>.<br /><br />Barangkali ukiran hati ini layak diperiksa ulang, karena tidak sedikit orang yang harapan dan keinginannya terwujud, kemudian merasakan kesenangan sesaat, lalu mulai tidak puas lagi karena dua hal yang muncul dalam dirinya.<br /><br />Pertama, karena seringkali ego kita tidak bisa dipuaskan, begitu satu keinginan tercapai, muncul lagi sederet keinginan baru yang mencegah kita untuk merasa lega, damai dan tercukupi. Kedua, karena sudah menjadi kodrat bahwa tiada sesuatu pun yang kekal, maka setiap hal yang kita miliki, mau tidak mau akan berubah. Keinginan kita yang terwujud tidak pernah selalu bersama kita selamanya, sehingga kita kembali mengejar hasrat yang dahulu sudah sempat terpenuhi.<br /><br />Bolehkah kita mempertanyakan kembali apakah merasakan kebahagiaan dengan cara mencapai apa yang kita inginkan benar-benar efektif? Jika tidak, apakah itu berarti keinginan, hasrat dan harapan justru menjadi ketidakmerdekaan terselubung yang membatasi kebahagiaan kita?<br /><br />Barangkali para penjajah eksplisit yang ada d iluar sana sudah tidak ada, tapi bagaimana tentang penjara rutinitas hidup dan kerja, arus informasi yang begitu dahsyat di sekitar kita, gaya hidup yang penuh upaya untuk memuaskan keinginan kita secara instan?<br /><br />Bagaimana juga dengan pengondisian cara berpikir dan berperilaku yang selama ini kita peroleh dari pola asuh keluarga, tatanan sosial, agama dan budaya, yang “dilekatkan” pada kita sebelum kita punya kejernihan untuk mempertimbangkan apa yang sesuai dengan diri kita, serta keberanian untuk menerima atau menolak nilai yang disodorkan pada kita?<br /><br />Bisakah kita dalam suatu hari mengatakan, “Saat ini saya bebas untuk memilih, bebas untuk menjadi diri saya sendiri, dan menentukan apa yang sesuai dengan jatidiri saya?”<br /><br />Saya tidak berani menjawabnya secara absolut bagi Anda. Saya percaya semua orang mampu bercermin dari pengalaman hidup kita masing-masing dan menyimpulkannya sendiri. Untuk saat ini, sekadar bernapas, menyadari dan memerhatikannya sudah lebih dari cukup bagi saya.<br /><span style="font-style:italic;"><br />Published, EVE Magazine, Agustus 2007.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-29568402072858270502008-04-23T18:43:00.000+07:002008-04-23T18:45:10.257+07:00Liburan Sepenuh HatiSaya merindukan kelegaan, kedamaian dan kebebasan. Mengapa? Apakah karena hidup ini begitu sering terasa sesak, bising, dan terjepit dalam berbagai keharusan, kewajiban, dan tanggung jawab? <br /><br />Memang begitu banyak peran yang harus kita jalankan. Dari mulai tugas sebagai anak, orang tua, karyawan, teman, maupun tugas yang hadir sesuai dengan profesi kita. <br /><br />Gambaran yang muncul di benak saya adalah seekor hamster yang berlari di atas roda tempuhnya, merasa akan sampai di suatu tujuan akhir, padahal sebenarnya hanya berputar-putar dalam rutinitas yang sama. Apakah ini mirip dengan hidup kita?<br /><br />Dulu, ketika saya bekerja di perusahaan bidang perbankan dan keuangan, saya menyangka bahwa obat dari kejenuhan akan rutinitas ini adalah melakukan liburan di luar kota, melihat tempat baru, mengalami pengalaman yang tidak biasanya dirasakan. Berpisah dari fenomena rutin, memang merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh.<br /><br />Namun setelah beberapa kali merenung, apakah benar ini cara yang tuntas untuk mengobati rasa jenuh? Seringkali ketika liburan ke luar kota atau ke luar negeri, di mana rasanya dalam waktu sekian hari, kita ingin sekali mengunjungi dua puluh lokasi wisata yang berbeda, malah justru rasanya letih, uang habis, belum lagi <span style="font-style:italic;">jetlag</span> serta semakin tidak bersemangat untuk kembali ke rutinitas kerja yang sudah lapar dan tidak sabar untuk melahap kita kembali ke dalamnya.<br /><br />Jadi, bagaimana sebenarnya liburan yang manjur?<br /><br />Seorang sahabat saya, sebutlah namanya Yola, lebih menyukai liburan yang bersifat wisata alami. Menurutnya rutinitas harus dinetralisir dengan hidup yang lebih spontan, bebas dari perencanaan dan target. Yola meluangkan waktu 1-2 kali dalam setahun untuk berlibur, yang diisi dengan kegiatan yang tidak direncanakan seperti pola kerja pada umumnya, bersentuhan dengan alam yang memberikannya inspirasi. Baginya, di situlah kesempatan dia untuk meluangkan waktu bagi diri sendiri, untuk rehat sejenak dari kewajiban sehari-hari.<br /><br />Ada lagi teman saya yang bernama Tessa. Liburan favoritnya adalah pergi ke resor liburan yang bernuansa alam, diisi dengan kegiatan detoks, makan sehat, yoga dan terapi spa. Menurutnya, lebih penting merilekskan diri dari kepenatan hidup di kota. Dan berbagai jenis terapi, seperti hidroterapi, aromaterapi dan pijat tubuh benar-benar mengendurkan saraf-sarafnya yang letih. Menurutnya, liburan semacam ini punya kelebihan tersendiri, karena biasanya karyawan perusahaan hanya bisa cuti panjang sekitar 1-2 kali dalam setahun. Sementara, bila terbiasa liburan yang penuh kegiatan relaksasi ini, maka setelah selesai liburan, setiap 1-2 minggu sekali pun dia bisa pergi menikmati terapi di spa dalam kota. Baginya, ini bisa memberikan efek rileks yang lebih merata sepanjang tahun bekerja.<br /><br />Saya sendiri punya kegiatan libur favorit yang juga tidak lazim. Sekitar 6 tahun yang lalu, saya mengenal kegiatan meditasi untuk ketenteraman dan kesehatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, kegiatan berlatih meditasi ini diadakan di sebuah hotel yang bernuansa alami di Bali. <br /><br />Coba Anda bayangkan situasinya. Selama 7 hari 6 malam, setiap peserta tidak diizinkan untuk berbicara satu patah kata pun, tidak membaca atau menulis, tidak menonton televisi, dan tidak boleh juga merokok maupun minum alkohol. Setiap peserta hanya diberikan makanan vegetarian selama program tersebut. <br /><br />Melihat peraturan di atas, sebagian orang akan merasa ragu, dan bahkan enggan melakukannya karena merasa bentuk kegiatan ini bukanlah liburan, melainkan lebih seperti asrama yang penuh disiplin. Saya pun merasakan hal ini ketika belum pernah mengalaminya, dan sempat tergoda untuk mengundurkan diri.<br /><br />Kami diberitahu bahwa semua aturan ini bertujuan agar bagian otak yang biasanya begitu aktif dan terstimulasi oleh berbagai informasi, komunikasi dan kegiatan yang kita lakukan, bisa beristirahat, dan juga batin mengalami kejernihan yang dalam agar meditasinya pun mencapai ketenangan sempurna.<br /><br />Ternyata, setelah dijalani, saya dan setiap peserta merasakan hasilnya. Kami semua pulang dengan penuh rasa bahagia dan bersyukur. Pikiran pun begitu lega dan ringan, karena tidak lagi penuh dengan penyesalan masa lalu dan kekuatiran masa depan. Kalau biasanya di akhir liburan rasanya begitu berat kembali bekerja, justru dengan liburan meditatif seperti ini, saya merasa begitu segar dan bersemangat untuk kembali bekerja. Selain itu hal-hal kecil yang terkadang mencetuskan rasa kesal, marah dan stres tiba-tiba semakin berkurang pengaruhnya terhadap suasana hati sehari-hari.<br /><br />Bagaimana dengan Anda sendiri? Apa pun pilihan liburan Anda, ingatlah bahwa pikiran dan jiwa Anda juga perlu diistirahatkan. Seringkali ketika kita berlibur tempat yang paling indah sekalipun, pikiran kita masih bekerja dan itulah sebenarnya sumber kejenuhan yang sering kita tidak sadari. Ketenteraman bukanlah suatu konsep yang cukup sekadar dicita-citakan, tapi perlu dialami langsung dalam keseharian.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Published, Eve Magazine, July 2007.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-10974110918173837092008-04-08T00:17:00.005+07:002008-04-18T21:36:38.922+07:00Reinkarnasi BlogSudah resmi sudah hampir 1.5 tahun saya tidak posting di blog ini. <br /><br />Entah perjalanan hidup seperti apa yang akhirnya membawa saya kembali ke sini, di saat ini. Yang terasa jelas, sudah tak terhitung momentum serta letupan evolusi ke dalam diri yang menghiasi keseharian saya. <br /><br />Sebenarnya selama ini saya tidak berhenti berupaya untuk menuangkan isi hati. Mulai dari artikel bulanan di majalah EVE, <span style="font-style:italic;">talkshow</span> bulanan di O'Channel, hingga sekarang talkshow mingguan di Cosmopolitan FM. Agaknya jiwa saya tetap mengondisikan saya untuk terus berekspresi, tapi entah mengapa saya tidak tergerak untuk menulis di blog ini. <br /><br />Kalau bukan saja karena sahabat sekaligus penyemangat hidup saya yang tiba-tiba menawarkan niat baiknya untuk menjadi <span style="font-style:italic;">blog master</span> saya, barangkali situs ini tinggal kenangan.<br /><br />Bermodal setumpuk hasil menulis yang siap diterbitkan, semoga rangkaian kata yang akan segera dimuat ini bisa memberikan Anda kesejukan yang sama, seperti saya pun terinspirasi ketika pertama kali menuangkannya ke dalam tulisan.<br /><br />Salam reinkarnasi. Blog saya sekarang resmi bangkit dari 'mati suri'-nya.Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com12tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-1158691732032132552006-09-20T01:46:00.001+07:002008-04-18T22:07:32.029+07:00Forgiving Ourselves<span style="font-style:italic;">Forgiveness is our compassionate acceptance of reality,<br />not the approval of how things should be or should not be.<br />It is the gentle and profound surrendering<br />of whatever should be happening in our lives,<br />into accepting the perfection of what is now happening.</span><br /><br />Menjelang Ramadhan dan juga Idul Fitri, kita kebanjiran sms, e-mail dan juga percakapan dari mereka yang terpenting dalam hidup Anda. Kurang lebih, intinya: “Maafkan ya, atas mungkin segala kesalahan atau kekurangan yang saya pernah lakukan.” Bahkan ini tidak hanya terbatas pada umat yang berpuasa dan merayakan Idul Fitri saja, umat nonmuslim pun seringkali memanfaatkan suasana ini untuk meringankan hatinya dengan saling bermaaf-maafan.<br /><br />Apakah kita sempat berhenti sejenak untuk memahami arti “maaf” tersebut? Ketika kita sibuk membalas puluhan bahkan ratusan sms dengan kata-kata indah yang berintikan maaf, apakah dalam hati kita benar-benar berproses dan memaafkan orang tersebut? Ataukah ini hanya bagian dari ritual dan kebiasaan yang ada dalam suasana saja? Suatu “mata uang” sosial yang kita gunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.<br /><br />Jawaban jujurnya, hanya kita yang tahu masing-masing nurani kita.<br /><br /><strong>Ketulusan vs. Keterpaksaan</strong><br /><br />Memang sudah saatnya membedakan bahwa ritualitas tidak selalu berarti sama dengan spiritualitas. Ketika kita melakukan sesuatu, belum tentu ketulusan hati dan niat berdiri di baliknya. Bisa juga keterpaksaan, atau kebutuhan untuk diterima, atau takut tidak harmonis dengan orang lain, menjadi motor di balik berbagai kata-kata, ucapan dan tindakan kita.<br /><br />Bisakah kita mundur beberapa langkah dari kebiasaan ini untuk sejenak? <br /><br /><strong>Hidup adalah Tergantung Diri Sendiri</strong><br /><br />Sebelum mencapai tindakan memohon maaf dan memaafkan orang lain, sudahkah kita lakukan proses maaf bagi diri sendiri secara tulus? Apakah benar bahwa perasaan kita, baik senang atau sedih, bisa berubah akibat orang lain? Bukankah sebenarnya seluruh hidup kita, baik atau buruk, tergantung dari bagaimana kita sendiri menjalaninya? Betapa tidak adilnya kita menyalahkan orang lain, ketika kitalah sebenarnya yang paling berperan dalam hidup sendiri. Sudahkah kita memohon maaf dan memaafkan diri sendiri atas berbagai “penjara batin” yang kita ciptakan? Yang menjadi akar dari segala keluhan, stres dan penderitaan kita sendiri?<br /><br />Stres bukanlah tentang gagalnya karier, cinta atau kesehatan. Stres adalah ketidakmampuan kita menerima kenyataan saat ini. Kita menjadi terbebani karena kita memaksakan bahwa keinginan kita yang harus menjadi kenyataan, padahal realitasnya tidak selalu sama. Bisakah kita melatih hati untuk menerima kenyataan dengan tulus?<br /><br /><strong>Sibuk Mengurus dan Memperbaiki Orang Lain</strong><br /><br />Ketidakmampuan kita untuk menerima diri sendiri apa adanya jugalah yang membuat kita terkadang begitu bernafsu untuk mengubah perilaku dan hidup orang lain, yang sejujurnya… bukan urusan kita. Namun karena kita tidak tahan menyaksikan mereka, perasaan kita disalurkan melalui upaya untuk mengubah dan memperbaiki orang lain. Sungguh tidak realistis, buat kita maupun mereka.<br /><br />Siapakah orang yang paling penting dalam hidup kita? Mungkin pasangan hidup Anda? Anak? Sahabat? Keluarga? Rekan kerja?<br /><br />Merekalah biasanya pihak-pihak yang menjadi sasaran kita, dengan dalih niat baik, kita menghabiskan begitu banyak pikiran, ucapan dan tindakan. Memeras energi untuk memperbaiki hidup mereka, agar mereka lebih bisa Anda terima apa adanya. Sudahkah kita memaafkan diri sendiri atas ketidakmampuan kita untuk mencintai mereka apa adanya? Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka, yang, <span style="font-style:italic;">by the way,</span> kita juga miliki?<br /><br /><strong>Tidak Pernah Menang Melawan Kenyataan, Tapi Terus Bertempur</strong><br /><br />Bisakah kita menolak kenyataan yang sudah terjadi? Pernahkah kita menang, kapanpun kita melawan realita? Mungkin seandainya hal-hal ini kita resapi sepenuh hati, maka kesadaran dan ketulusan lebih muncul dalam diri kita. <br /><br />Mungkin kita tidak perlu memaafkan lagi, karena kita memosisikan hati untuk senantiasa tulus, ikhlas dan bahagia. Bisakah kita berhenti sejenak, memaafkan diri sendiri, dan berdamai dengan kehidupan kita, saat ini?Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-1158689108966406962006-09-20T00:30:00.002+07:002008-04-18T23:18:06.433+07:00The Art of Listening to Your Own BodySukses, kerja keras, ambisi, motivasi, target, harapan dan cita-cita.<br /><br />Hidup ini kerap kita jalani setiap momennya penuh dengan ketegangan. Ketegangan yang dibenarkan dalam rangka mengejar sukses, rezeki, dan impian. <br /><br />Semua kita lakukan karena ada sebuah formula hidup yang ada dalam batin ini. <br /><br />Formula tersebut berbunyi: “Sukses = Pencapaian = Kebahagiaan”. Formula yang seringkali tidak kita sadari karena sudah terpatri di alam bawah sadar ini. Yang kita sadari hanyalah ketergesaan kita setiap saat yang mengatasnamakan sukses.<br /><br /><strong>Balapan Kehidupan</strong><br /> <br />Bagaikan mobil balap yang sedemikian canggihnya, kita injak “pedal gas kehidupan” ini sampai mentok semaksimal mungkin, karena begitu banyak yang harus kita capai, begitu banyak saingan yang harus kita dahului, dan kita begitu yakin bahwa sekali kita lengah, maka kesuksesan akan terlewat di depan hidung kita dan jatuh ke tangan orang lain. Orang lain yang lebih agresif, yang lebih ganas, lebih tangkas, dan lebih gesit.<br /><br />Kita harus membayar mahal untuk dunia ketergesaan dan ambisi ini. Ketika realitas hidup tidak sama dengan apa yang kita harapkan, lahirlah beban hati, yang bahasa kerennya: stres. Bahkan ketika stres terasa, sering kita tidak punya ide bagaimana menetralisirnya. Bahkan rasanya dalam obrolan-obrolan sambil ngopi sore hari antar sekelompok eksekutif, rasanya malu kalau dalam pekerjaannya tidak ada stres. Stres menjadi bukti bahwa kita pekerja yang gigih, lihai dan gesit.<br /><br />Ketika stres mulai muncul semakin banyak, apa yang biasanya kita lakukan? Demi “dewa ambisi dan produktivitas”, kita justru berlari lebih cepat, dengan harapan bahwa stres tersebut akan terlupakan, atau berlalu karena kesibukan. Bagaikan seekor hamster yang berlari di roda yang tak kunjung henti, kita terserap dalam slogan “Jangan Berhenti, Terus Pacu Diri!”.<br /><br /><strong>"Semua Pasti Berlalu"</strong><br /> <br />Semuanya dalam hidup adalah pilihan. Pilihan bijaksana adalah pilihan yang diambil berdasarkan kesadaran yang benar. <br /><br />Hal pertama yang layak kita renungkan, apakah formula hidup di atas memang benar? Mengapa sedemikian banyak orang mencapai sukses dalam karier dan rezekinya, namun tidak bahagia juga? Apakah sukses tidak sama dengan kebahagiaan sejati? <br /><br />Memang lucu tapi sangat manusiawi, ketika kita sibuk mengejar kenikmatan inderawi, dalam bentuk karier, rezeki, dan sukses, seringkali rasa bahagia yang datang bersifat hanya sesaat. <br /><br />Dan sesuai dengan hukum alam, bahwa “semua pasti berlalu” dan tidak ada yang kekal, maka ketika kenikmatan inderawi ini hilang, baik karena kita bosan dengannya maupun lenyap dari hidup kita, maka bukan bahagia yang kita rasakan tapi justru stres dan penderitaan. <br /><br />Kebahagiaan tersebut menjadi tidak membebaskan justru memenjarakan kita, karena kembali kita harus berpacu untuk mengejar hal berikut yang akan memuaskan kita. Ini yang saya sebut sebagai ketidaksadaran. <br /><br /><strong>Kesehatan Tubuh pun Jadi Korban</strong><br /> <br />Adakah pilihan lain yang lebih sehat, baik dan bijaksana? Mungkin saja. Namun agaknya pilihan tersebut tidak akan terlintas di benak kita, ketika kita begitu sibuk dalam “pacuan roda hamster” yang kita jalani siang dan malam.<br /><br />Bahkan ketika kelelahan tersebut memuncak, energi kita untuk menjalani hidup semakin tipis, toleransi akan berbagai perubahan semakin berkurang, kecenderungan kita untuk menjadi emosional pun muncul, dan lama-lama kelamaan tubuh mulai angkat bicara.<br /><br />Sadarkah Anda bahwa setiap saat tubuh Anda bisa berkomunikasi dengan Anda? Seringkali tubuh memberikan isyarat “Lapar... lapar...”, atau “Letih... letih...”, atau “Mohon berhenti, rileks...”. Bila kita bersedia untuk berhenti sejenak dari pacuan hidup serta berbagai pelarian yang biasa kita gunakan, mungkin kita lebih mampu mendengar diri sendiri. <br /><br />Sementara ketika kita gagal mendengarkan isyarat alamiah dari tubuh, gejala penyakit mulai muncul. Dari mulai sulit tidur, sakit kepala, turunnya daya tahan tubuh dan stamina, ketegangan otot dan saraf, serta berbagai penyakit kronis lain yang lebih serius, seperti hipertensi, diabetes, dan lainnya seolah-olah menjadi panggilan terakhir dari tubuh yang sudah putus asa memberikan isyaratnya kepada kita. Sebagian besar kita sudah tahu teori bagaimana memelihara kesehatan. Pertanyaan besarnya adalah: sadarkah Anda?<br /><br /><strong>Melatih Kesadaran dengan Sederhana & Praktis</strong><br /> <br />Sadari pilihan-pilihan hidup Anda. Sadar untuk mengingatkan diri sendiri bahwa ada kalanya kita perlu membuat prioritas untuk beristirahat, mengingatkan diri untuk bernapas. Ya, bernapas. Perhatikanlah bagaimana dalam arus kesibukan, kita seringkali terlupa untuk menghela napas lega, dan membunyikan “aaah...”. Tubuh Anda akan menghargainya, dan memberikan Anda energi dan ruang untuk berbahagia dalam hidup Anda.Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-1154275768345420552006-07-30T22:53:00.001+07:002008-04-18T23:07:55.435+07:00Who Am I?I am the one pushing myself to be poetic<br />when words can't even catch a glimpse of the Truth<br /><br />I am aware of my tiredness<br />playing too much games in life<br />when I realize that they are purely the sake of play.<br /><br />I am this silence<br />that longs to be heard,<br />and the seed of awareness where all things are born from.<br /><br />I am God and the creation of God,<br />and the sacred dance that eternally flows in between.<br /><br />I am the love radiating from the eyes of a newly born child<br />no masks to wear, no roles to play<br />just the innocent willingness to experience Truth as it is.<br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">... 30 Juni 2006.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-1153873770340674872006-07-26T07:21:00.001+07:002008-04-18T23:10:15.591+07:00Living AuthenticIt is the willingness to drop the game<br />openness to live without roles, masks and molds<br /><br />It is the readiness to live fluidly,<br />to become pure water again.<br /><br />It is the courage to find Truth<br />without the middleman or middlewoman<br />just the direct experience of That<br /><br />The rebellious inquiry<br />on all the truths that has been planted<br />as the basic reality of the past.<br /><br />The quest for our true home<br />and the decision to live from within this space.<br /><br />I love you, Truth.Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-1153846593039443572006-07-25T23:54:00.001+07:002008-04-18T23:15:24.140+07:00Sang AirDalam ilmu penyembuhan Timur,<br />konon dikenal teori lima eleme,<br />yang membentuk alam semesta,<br />yang membentuk atom, menjadi sel,<br />hingga membentuk makhluk hidup.<br /><br />Salah satu elemen tersebut adalah Sang Air,<br />yang mewakili emosi dan perasaan hati.<br />Dalam ilmu penyembuhan Timur,<br />tidak ada istilah emosi positif maupun negatif.<br />Yang paling mendasar adalah keseimbangan.<br /><br />Kuatir, sedih, marah,<br />takut, dan ketidaktulusan,<br />maupun kegembiraan,<br />adalah hak hati untuk mewadahi<br />Sang Air yang datang dan mengalir.<br /><br />Perasaan hati hanya berbahaya kalau “nyangkut”, ujar Sang Bijak.<br /><br />Apakah masih benar kalau kita terjebak terus dalam dogma<br />yang terus “memaksa” kita untuk positif <br />dan lari terbirit menampik perasaan yang negatif?<br />Bukanlah lebih manusiawi untuk<br />mengalami dan mengalir demi Sang Air?<br /><br />Banjir, tsunami, tanah longsor, kekeringan, <br />adalah pinta Sang Air yang rindu diperhatikan.<br />Apakah mungkin sebagai cerminan perasaan Bumi<br />yang dibiarkan “nyangkut” juga?<br /><br />“Hidup ini cair,” ujar sahabatku yang jenius,<br />menyembunyikan ke-Ilahi-annya di balik<br />wadah air yang telah dipilihnya sendiri,<br />seolah-olah membuka rahasia pada dunia<br />tentang dirinya yang sejati.<br /><br />Hatiku menunduk penuh haru,<br />karena memang air tidak berbentuk, sama seperti hidup ini,<br />Senantiasa mengalir, dan berubah.<br />Kalaupun seandainya hidup ini kelihatannya berbentuk dan pasti,<br />hanya karena pikiran kita menciptakan wadah bagi Sang Air.<br /><br />Ketika Sang Air terjebak dalam wadah,<br />dia pun terenggut dari satu-satunya kekuatan alami yang dimiliki.<br />Kekuatan untuk bebas dan mengalir.<br /><br />Tanpa batasan, tanpa wadah.<br />Hanya ketulusan apa adanya setiap momen...<br />Larut dalam cinta.<br /><br />Bebas dan mengalir.<br /><span style="font-style:italic;"><br />... 25 Juli 2006.</span>Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-31571228.post-1153784200376103392006-07-25T06:36:00.001+07:002008-04-18T23:23:42.023+07:00Divine Games We Like to PlaySudah hampir genap 4 tahun saya berpraktek sebagai “Praktisi Penyembuhan Holistik”, atau terkadang disebut sebagai penyembuh yang menggunakan berbagai terapi alamiah untuk memulihkan kembali keseimbangan tubuh, pikiran dan jiwa manusia.<br /><br />Hari ini, saya terdiam untuk merenungkan: apa yang saya bisa petik dari pengalaman ini?<br /><br />Tidak jarang dalam proses penyembuhan, para klien saya mengalami “keajaiban”, mulai dari hilangnya tiba-tiba penyakit yang dulunya tak kunjung sembuh, kelegaan hati yang luar biasa diiringi tangis syukur dan rasa haru, hingga jiwa yang meledak penuh rasa cinta ketika menyadari “kehadiran Ilahi” dalam hidupnya.<br /><br />Tak jarang pula, saya turut tersentuh dengan pengalaman nyata yang terjadi di depan mata saya, bahkan ikut menangis penuh haru dan rasa syukur.<br /><br />Terkadang ego saya bermain, membuat saya merasa bahwa “penyembuhan” yang saya fasilitasi adalah berkat peran saya, Sang Penyembuh. <br /><br />Ego yang senantiasa bertumbuh dan senantiasa dileburkan. Lahir dan mati, sama persis seperti proses hidup ini.<br /><br />Ketika ego saya lahir, kok Tuhan jadi ada di luar saya, bahkan kadang-kadang saya curi peran-Nya. Ketika ego saya lebur, malahan Tuhan tidak ada sebagai objek eksternal dalam doa saya. Saya cari di atas, tidak ada. Di depan saya, juga tidak ada. Di dalam diri saya, juga tidak ada, padahal kata buku-buku spiritual dan orang bijak: “Carilah Tuhan dalam dirimu”. Enggak ada juga, tuh. <br /><br />Lucunya waktu saya mengalami "Tuhan kok nggak ada, ya?" saya juga sadar bahwa klien saya juga tidak ada, meskipun panca indera saya masih melihat kehadirannya di depan saya. Yang paling aneh lagi, saya – Reza, juga tidak ada! <br /><br />Apakah hidup ini? Bukankah hanya persepsi kita yang berkumpul jadi satu, kemudian kita definisikan, bubuhkan hukum, mekanisme dan peraturan hidup, tentukan penokohannya, lalu pencet tombol START dan berjalanlah ilusi yang mahadahsyat, sehingga kita “berasumsi” hidup ini nyata dan ada.<br /><br />Aneh sekali rasanya menulis ini.<br /><br />Seperti hidup ini dua permainan yang berbeda. Yang pertama, penuh dengan peran dan dinamika. Tidak sejati tapi rasanya nyata banget, mungkin karena terbiasa dengan realitas hasil dari “pabrik pikiran” yang sudah dipupuk puluhan tahun. Kita sebut saja: GAME 1.<br /><br />Yang kedua, kok semuanya Aku? Nggak seru. Karena di mana-mana bertemu dengan Diri Sendiri yang paling Sejati. Tidak ada peran, tokoh, permainan ekspektasi dan harapan. Tidak ada masalah, karena hanya pikiran yang mempermasalahkan segala sesuatu. Hanya ada satu kesadaran. Satu eksistensi. Inilah GAME 2.<br /><br />Mau main yang mana?Reza Gunawanhttp://www.blogger.com/profile/10962055709543414301noreply@blogger.com2