Entah sudah beberapa tahun di Indonesia, kita memperhatikan fenomena dan sepak terjang dunia pergosipan (baca: infotainment). Saya masih ingat suatu waktu ketika keluarga saya sendiri seringkali menikmati tayangan kehidupan figur publik tanah air, setiap hari. Saya sendiri sejak dahulu tidak terlalu menikmatinya, karena menurut saya buat apa mengintip urusan pribadi orang lain. Begitu banyak urusan sendiri yang masih perlu perhatian. Namun karena tinggal di satu rumah, saya akhirnya memutuskan untuk latihan bertoleransi terhadap kebiasaan keluarga tersebut.
Saya tidak pernah menyangka bahwa observasi saya pada saat itu, ternyata berkembang menjadi suatu pengalaman, bahkan pelajaran, yang cukup mendalam. Pengalaman selama beberapa bulan terakhir ini dipicu oleh perubahan baru dalam kehidupan pribadi saya. Rasa pahit, sedih, bercampur marah tidak jarang menghampiri. Memang benar kata orang bijak, kita belajar bukan dari pengalaman yang manis, namun justru yang berat dan pahit.
Jarak dan Keterlibatan Mempengaruhi StrategiDahulu, mudah sekali saya menyimpulkan dalam hati ketika teman-teman figur publik menyampaikan uneg-unegnya diburu pers. Dalam benak saya berkata “ah, itu kan resikomu menjalani peran sebagai figur publik, mau tidak mau harus belajar menerimanya kan?” Hidup memang lucu, ketika kita mengamati suatu pengalaman dari jarak tertentu, dengan kadar keterlibatan tertentu, maka rasa, pengalaman dan kesimpulan yang kita petik bisa jauh berbeda begitu jarak dan keterlibatan kita mengental. Itupun terjadi pada saya, sekarang saya belajar memelihara kewarasan dengan kadar keterlibatan yang baru.
Menurut pengamatan saya, yang juga diperkuat dengan saran berbagai pihak, untuk menghadapi buruan serigala pelaku infotainment, strategi yang paling jitu adalah “cuekin aja”, atau “no comment”, atau “diam itu emas”. Boleh dibilang sebagian besar figur publik menggunakan strategi ini sebagai “agama”-nya.
Entah apa alasannya, saya merasa cuek itu berbahaya. Memang kita jadi lebih terlihat dari luar seperti tenang, seperti tak terpengaruh, dan seperti kuat. Namun ketika rasa tidak nyaman tersebut terus menerus diacuhkan, dia mulai menyelinap ke bawah sadar, dan mulai menggerogoti ketenangan sejati, bahkan kesehatan fisik dan mental.
Diam itu emas pun, bilamana tidak ditakar dengan bijaksana, seringkali bagaikan menumpuk bom waktu. Saya sudah beberapa kali mengalami ini. Justru ketika saya mengizinkan diri untuk berbicara, tanpa diikuti harapan untuk mengubah orang lain, hanya sekadar mengkomunikasikan isi hati, di saat itulah saya berhasil memulihkan ketenangan dan kedamaian.
Dalam ilmu terapi, kita bisa lega ketika berkesempatan mengekspresikan diri secara jujur, apakah itu melalui menulis, berbicara, melukis, menari, bernyanyi, dll. Selama ekspresi tersebut tidak diikuti harapan hati untuk mengubah pendapat dan sikap orang lain, dia tidak akan menumpuk lebih banyak stres, justru mencairkan beban yang sudah ada.
Agaknya inilah satu-satunya alasan mengapa saya menulis, terkadang tentang kehidupan pribadi saya, karena bagi saya, menulis adalah terapi untuk diri sendiri. Ketika jarak dan keterlibatan narasumber dengan pelaku infotainment sudah sedemikian dekat, maka strategi cuek dan diam sudah kehilangan efektivitasnya bagi saya.
Berita infotainment: lebih banyak fakta atau fiksi?Kalau dari kata ‘gosip’, sebenarnya kita semua tahu bahwa gosip tidaklah selalu faktual, namun saya sering mendapati bahwa tanpa sadar, saat kita duduk depan televisi yang menyiarkan acara gosip, atau membaca tabloid gosip, sulit sekali untuk tidak berpendapat tentang liputan tersebut, atau bisa menikmatinya dari posisi yang netral. Bahkan tidak mudah juga untuk menerimanya sebagai gosip (baca: belum tentu fakta).
Saya ingin berbagi pengalaman pribadi tentang proses peliputan berita gosip yang saya alami. Tentunya belum tentu setiap figur publik mengalami persis sama dengan yang saya alami. Sebelum pengalaman ini, saya pun sudah cukup sering menghadapi media cetak maupun televisi (yang bukan media gosip) untuk keperluan liputan seputar kesehatan holistik.
Dari pengalaman media umum (bukan media gosip), tidak jarang ada pemberitaan yang melenceng dari wawancara. Ini cukup saya bisa maklumi karena terkadang pewawancara kurang jeli atau kurang mengerti, sehingga ketika dia menuangkan tulisannya, terpaksa memang menggunakan interpretasi subjektifnya sendiri.
Namun dalam pengalaman dengan media gosip, sungguh luar biasa derajat pemutarbalikan fakta, dan berikut ini saya ingin berbagi beberapa strategi peliputan gosip yang sudah pernah terjadi. Ini hanya sebagian contoh yang kami alami, saya hanya ingin memberikan gambaran nyata proses peliputannya saja:
1. Pemalsuan suara narasumber
Dalam suatu kesempatan, asisten Dewi Lestari ditelepon oleh salah satu infotainment yang meminta kesempatan wawancara, sekaligus klarifikasi berita pernikahan kami. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ternyata percakapan telepon tersebut direkam oleh pihak infotainment. Ini belum apa-apa, karena begitu keesokan harinya ketika rekaman percakapan tersebut ditayangkan, di akhir komentar sang asisten tersebut, ada lanjutan suara wanita lain yang mirip dengannya, memberikan komentar dan pernyataan tambahan yang tidak pernah disebutkan oleh sang asisten, dan dibuat seolah-olah menjadi satu komentar utuh dari pihak yang sama.
2. Pelencengan drama melalui narator
Pernahkah Anda memperhatikan suara narator dalam liputan infotainment, dengan intonasi dramatis? Itu juga salah satu alat pembentukan opini dalam liputan infotainment. Ketika sudah diselipkan di antara komentar langsung dari narasumber, maka pemirsa sulit membedakan lagi yang mana fakta, dan yang mana fiksi.
3. Fitnah yang sengaja, maupun (barangkali) tidak disengaja
Baru-baru ini, ada sebuah insiden antara saya dengan peliput gambar infotainment. Saat shooting acara televisi di panggung, saya berbicara baik-baik untuk meminta agar pengambilan gambar tidak dilakukan dengan jarak sangat dekat. Awalnya, kedua peliput gambar dari Indigo Production tersebut mau mengerti, dan kemudian meliput dari jarak yang lebih renggang, sehingga kami lebih nyaman dalam melaksanakan pekerjaan kami. Ini sangat saya hargai.
Namun ketika saya dan Dewi berjalan dari panggung menuju ruang rias, dan kemudian menuju mobil, kamera tersebut terus mengikuti kami dengan jarak sangat dekat, sekitar 30-50 cm dari tubuh kami, dan saya hanya bicara berulang kali agar peliputan gambar sudah cukup. Si peliput gambar hanya sekadar mengiyakan di mulut, tanpa mematikan kamera atau mengambil jarak yang lebih santun. Akhirnya saya memegang lensa kamera dengan permintaan yang sama, sambil memasuki mobil. Tiba-tiba si peliput gambar justru marah, memaki-maki kasar, bahkan memukul mobil saya dengan peralatannya.
Begitu keluar di liputan gosip online 'artistainment.wordpress.com', justru saya yang dinyatakan marah tanpa sebab yang jelas, dan bahkan dicurigai bahwa sayalah yang menghantamkan peralatan kamera ke mobil saya sendiri. Ini tidak mungkin terjadi karena waktu saya mendengar bunyi peralatan bertumbukan dengan mobil, kami semua sudah berada dalam mobil dengan pintu dan jendela tertutup. Saya punya minimal 3 saksi langsung dalam insiden ini. Entah karena dendam atau alasan apa, berita yang keluar justru sangat jauh dari kronologisnya.
4. Wawancara imajiner
Dalam tabloid C&R, pernah sekali Dewi Lestari muncul dalam sebuah artikel yang dikemas dalam bentuk wawancara langsung tentang kedekatan Dewi dengan saya. Ini sudah dibahas sebelumnya dalam posting Dewi di dee-idea.blogspot.com. Wawancara tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Tidak pernah ada kontak bicara, email atau telpon dengan sang wartawan. Bahkan beberapa waktu kemudian, kami mendapat input dari salah seorang mantan peliput infotainment, bahwa memang ada teknik ‘wawancara imajiner’, yang dihalalkan (baca: dianggap lazim dan boleh) dalam dunia peliputan gosip, karena teknik ini meningkatkan nilai berita yang disajikan.
5. Bongkar pasang komentar narasumber dan mengubah judul liputannya.
Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota keluarga Marcell diwawancara infotainment dengan pertanyaan apakah dirinya kecewa dengan perceraian Dewi-Marcell, dan dengan tenang dia menjawab di depan kamera bahwa dalam setiap perpisahan tentu ada kekecewaan, namun agaknya kedua pihak sudah memutuskan bahwa itulah yang terbaik, jadi pihak keluarga tentunya juga tidak menghalangi bilamana itulah jalan yang membuat kedua pihak bahagia.
Tetapi dalam liputan infotainment, keluarlah teks “Keluarga Marcell kecewa dengan keputusan Dewi”, didukung narator yang mengatakan bahwa pihak keluarga Marcell kecewa karena Dewi memutuskan untuk menikah dengan saya, bukannya kecewa karena keputusan Marcell dan Dewi untuk berpisah, sebagaimana liputan wawancara yang sebenarnya.
Jadi dalam hasil bongkar pasang tersebut, muncullah kesan adanya kekecewaan keluarga Marcell atas pernikahan kami, bukan atas perceraian sebelumnya. Bongkar pasang komentar dan narasi seperti ini, mungkin juga lazim dan lumrah.
6. Salah menangkap fakta
Kalau kategori terakhir ini, terus terang lebih banyak mengundang gelak tawa dan senyum bagi kami yang diliput. Meskipun saya akui, mungkin saja ini lebih banyak tidak disengaja. Di tengah keterbatasan informasi, keluarlah berbagai liputan maha meleset seperti:
“Marcell dan Dewi tukar pasangan, karena Reza Gunawan dan Rima Adams dulu adalah pasangan suami istri.”
Fakta: Reza dan Rima baru kenal beberapa bulan yang lalu, ketika Marcell memperkenalkan Rima sebagai kekasihnya. Rima memang sudah pernah menikah, dan kemudian bercerai dengan mantan suaminya yang tinggal di luar negeri. Tetapi mantan suami tersebut bukanlah Reza.
“Ketika Reza sudah mengakui hubungan cintanya dengan Dewi Lestari, justru Dewi MENYANGKAL dengan pernyataan blognya ‘There’s nothing unspecial between me and Reza’ yang artinya tidak ada yang istimewa dengan hubungan saya dan Reza”
Fakta: salah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Nothing unspecial” artinya tidak ada yang tidak istimewa. Ini cukup membuat kami terpingkal-pingkal karena liputannya menggunakan narator dramatis yang membacakan skrip salah terjemahan tersebut. Ini membuat Dewi dituduh menyangkal, bahkan dicap munafik. Bagi kami, rasanya seperti ada lomba adu bodoh antar infotainment, dan mereka saling mengungguli satu sama lain, sehingga kami sulit menentukan “siapa yang jadi juaranyaaa…”
“Balada wanita paruh baya berusia hampir 50 tahun”
Oh, ada satu lagi. Dulu sekali, Rima sempat diliput sebagai wanita paruh baya yang ada di dalam mobil Marcell. Dengan bermodal niat baik, dalam blognya, Dewi berusaha menjelaskan bahwa Dewi kenal langsung dengan Rima yang begitu baik dan ramah, dan juga Rima itu “nowhere near half century old”. Begitu keluar di salah satu media online, tulisannya menjadi “Kabarnya Rima ini sudah berusia hampir 50 tahun / setengah abad”. Saya langsung menyerah dan angkat tangan.
“Nama anak kami sering sekali salah liput”
Entah mengapa di berbagai media keluar nama “Keenan Sidharta, 3 tahun”, padahal nama aslinya “Keenan Avalokita Kirana” dan dia sudah berusia 4 tahun lebih.
“Seringnya komentar yang tertukar dan/atau ditambah”
Sewaktu saya dan Dewi diwawancari di Blitz Megaplex, dan kami membaca liputan tertulisnya di beberapa media, banyak sekali komentar yang tertukar. Pernyataan yang saya buat, justru diliput seolah Dewi yang berbicara dan juga sebaliknya. Bukankah kalau memang wawancara tersebut direkam gambar dan/atau suaranya, peliput bisa membedakan siapakah yang sedang membuat pernyataan? Bahkan banyak juga pernyataan yang tidak pernah kami sampaikan, tetapi diliput seolah kami mengatakan hal-hal yang sebenarnya isapan jempol sang peliput.
Pernyataan Terpenting yang Perlu PerenunganSaya belajar untuk realistis. Di tengah praktek pelaku liputan gosip yang seringkali menjengkelkan karena melanggar etika dan privasi, saya tidak menuntut atau meminta mereka berhenti, atau menjadi lebih etis dan cerdas. Itu cukup menjadi doa dalam hati saya saja.
Fokus yang terpenting saat ini adalah bukan pada para peliput gosip, namun pada saya dan Anda sebagai publik. Ketika kita terekspos dengan informasi gosip terkini setiap hari, tentunya merupakan pilihan bebas kita masing-masing untuk mengonsumsinya (baca: lihat, baca dan dengar) atau tidak.
Namun pertanyaan maha pentingnya adalah, setelah kita tahu bagaimana proses peliputan di balik produk berita-jadi-siap-saji tersebut, apakah kita masih bisa berasumsi bahwa apa yang kita tangkap dari media gosip, merupakan fakta, atau minimal lebih banyak faktanya?
Dan lebih lanjut lagi, kalau kita bisa melihat bahwa kadar fakta dalam liputan gosip seringkali sangatlah sedikit, masihkah kita bisa mempertahankan bahkan menganggap benar pendapat, reaksi, dukungan, cibiran, pujian, hinaan, dan sederet penilaian kita yang didasari oleh berita-minim-fakta tersebut?
Hanya diri kita yang bisa menjawabnya dengan hati yang jujur.
Yang saya tahu pasti, sebagai pihak yang terlibat langsung dengan jarak dekat, sekarang saya menyadari bahwa kesehatan mental saya sendiri, berbanding terbalik dengan konsumsi infotainment yang saya terima. Bahkan saya telah mencabut ulang semua penilaian dan pendapat saya terhadap setiap figur publik yang diliput infotainment, karena sejujurnya saya tidak tahu apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi secara faktual dalam hidup dan pilihan mereka.
Bagi saya, mengkonsumsi informasi gosip dengan terus membacanya, menyaksikannya, bahkan menceritakannya pada orang lain, secara tidak langsung menjadikan saya berpartisipasi aktif sebagai pelaku gosip, yang memang terkadang lebih enak daripada membicarakan kelemahan dan permasalahan diri dan keluarga kita sendiri.
Bagi saya, biarlah ukuran baik-buruk dan benar-salah dalam kehidupan mereka tidak diukur oleh kesadaran manusiawi yang tidak lepas dari keterbatasan. Bagi saya, itu urusan pribadi antara mereka dan Sang Maha.
Read More ..