Forgiveness is our compassionate acceptance of reality,
not the approval of how things should be or should not be.
It is the gentle and profound surrendering
of whatever should be happening in our lives,
into accepting the perfection of what is now happening.
Menjelang Ramadhan dan juga Idul Fitri, kita kebanjiran sms, e-mail dan juga percakapan dari mereka yang terpenting dalam hidup Anda. Kurang lebih, intinya: “Maafkan ya, atas mungkin segala kesalahan atau kekurangan yang saya pernah lakukan.” Bahkan ini tidak hanya terbatas pada umat yang berpuasa dan merayakan Idul Fitri saja, umat nonmuslim pun seringkali memanfaatkan suasana ini untuk meringankan hatinya dengan saling bermaaf-maafan.
Apakah kita sempat berhenti sejenak untuk memahami arti “maaf” tersebut? Ketika kita sibuk membalas puluhan bahkan ratusan sms dengan kata-kata indah yang berintikan maaf, apakah dalam hati kita benar-benar berproses dan memaafkan orang tersebut? Ataukah ini hanya bagian dari ritual dan kebiasaan yang ada dalam suasana saja? Suatu “mata uang” sosial yang kita gunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Jawaban jujurnya, hanya kita yang tahu masing-masing nurani kita.
Ketulusan vs. Keterpaksaan
Memang sudah saatnya membedakan bahwa ritualitas tidak selalu berarti sama dengan spiritualitas. Ketika kita melakukan sesuatu, belum tentu ketulusan hati dan niat berdiri di baliknya. Bisa juga keterpaksaan, atau kebutuhan untuk diterima, atau takut tidak harmonis dengan orang lain, menjadi motor di balik berbagai kata-kata, ucapan dan tindakan kita.
Bisakah kita mundur beberapa langkah dari kebiasaan ini untuk sejenak?
Hidup adalah Tergantung Diri Sendiri
Sebelum mencapai tindakan memohon maaf dan memaafkan orang lain, sudahkah kita lakukan proses maaf bagi diri sendiri secara tulus? Apakah benar bahwa perasaan kita, baik senang atau sedih, bisa berubah akibat orang lain? Bukankah sebenarnya seluruh hidup kita, baik atau buruk, tergantung dari bagaimana kita sendiri menjalaninya? Betapa tidak adilnya kita menyalahkan orang lain, ketika kitalah sebenarnya yang paling berperan dalam hidup sendiri. Sudahkah kita memohon maaf dan memaafkan diri sendiri atas berbagai “penjara batin” yang kita ciptakan? Yang menjadi akar dari segala keluhan, stres dan penderitaan kita sendiri?
Stres bukanlah tentang gagalnya karier, cinta atau kesehatan. Stres adalah ketidakmampuan kita menerima kenyataan saat ini. Kita menjadi terbebani karena kita memaksakan bahwa keinginan kita yang harus menjadi kenyataan, padahal realitasnya tidak selalu sama. Bisakah kita melatih hati untuk menerima kenyataan dengan tulus?
Sibuk Mengurus dan Memperbaiki Orang Lain
Ketidakmampuan kita untuk menerima diri sendiri apa adanya jugalah yang membuat kita terkadang begitu bernafsu untuk mengubah perilaku dan hidup orang lain, yang sejujurnya… bukan urusan kita. Namun karena kita tidak tahan menyaksikan mereka, perasaan kita disalurkan melalui upaya untuk mengubah dan memperbaiki orang lain. Sungguh tidak realistis, buat kita maupun mereka.
Siapakah orang yang paling penting dalam hidup kita? Mungkin pasangan hidup Anda? Anak? Sahabat? Keluarga? Rekan kerja?
Merekalah biasanya pihak-pihak yang menjadi sasaran kita, dengan dalih niat baik, kita menghabiskan begitu banyak pikiran, ucapan dan tindakan. Memeras energi untuk memperbaiki hidup mereka, agar mereka lebih bisa Anda terima apa adanya. Sudahkah kita memaafkan diri sendiri atas ketidakmampuan kita untuk mencintai mereka apa adanya? Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka, yang, by the way, kita juga miliki?
Tidak Pernah Menang Melawan Kenyataan, Tapi Terus Bertempur
Bisakah kita menolak kenyataan yang sudah terjadi? Pernahkah kita menang, kapanpun kita melawan realita? Mungkin seandainya hal-hal ini kita resapi sepenuh hati, maka kesadaran dan ketulusan lebih muncul dalam diri kita.
Mungkin kita tidak perlu memaafkan lagi, karena kita memosisikan hati untuk senantiasa tulus, ikhlas dan bahagia. Bisakah kita berhenti sejenak, memaafkan diri sendiri, dan berdamai dengan kehidupan kita, saat ini?
Read More ..
Surat Suara Tanpa Angka
-
*Surat Suara Tanpa Angka *
Setelah empat tahun absen, saya kembali ke rumah tua ini, *blog* yang
tadinya sudah ingin saya pensiunkan demi pindah ke alam...
10 years ago