Wednesday, September 20, 2006

Forgiving Ourselves

Forgiveness is our compassionate acceptance of reality,
not the approval of how things should be or should not be.
It is the gentle and profound surrendering
of whatever should be happening in our lives,
into accepting the perfection of what is now happening.


Menjelang Ramadhan dan juga Idul Fitri, kita kebanjiran sms, e-mail dan juga percakapan dari mereka yang terpenting dalam hidup Anda. Kurang lebih, intinya: “Maafkan ya, atas mungkin segala kesalahan atau kekurangan yang saya pernah lakukan.” Bahkan ini tidak hanya terbatas pada umat yang berpuasa dan merayakan Idul Fitri saja, umat nonmuslim pun seringkali memanfaatkan suasana ini untuk meringankan hatinya dengan saling bermaaf-maafan.

Apakah kita sempat berhenti sejenak untuk memahami arti “maaf” tersebut? Ketika kita sibuk membalas puluhan bahkan ratusan sms dengan kata-kata indah yang berintikan maaf, apakah dalam hati kita benar-benar berproses dan memaafkan orang tersebut? Ataukah ini hanya bagian dari ritual dan kebiasaan yang ada dalam suasana saja? Suatu “mata uang” sosial yang kita gunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.

Jawaban jujurnya, hanya kita yang tahu masing-masing nurani kita.

Ketulusan vs. Keterpaksaan

Memang sudah saatnya membedakan bahwa ritualitas tidak selalu berarti sama dengan spiritualitas. Ketika kita melakukan sesuatu, belum tentu ketulusan hati dan niat berdiri di baliknya. Bisa juga keterpaksaan, atau kebutuhan untuk diterima, atau takut tidak harmonis dengan orang lain, menjadi motor di balik berbagai kata-kata, ucapan dan tindakan kita.

Bisakah kita mundur beberapa langkah dari kebiasaan ini untuk sejenak?

Hidup adalah Tergantung Diri Sendiri

Sebelum mencapai tindakan memohon maaf dan memaafkan orang lain, sudahkah kita lakukan proses maaf bagi diri sendiri secara tulus? Apakah benar bahwa perasaan kita, baik senang atau sedih, bisa berubah akibat orang lain? Bukankah sebenarnya seluruh hidup kita, baik atau buruk, tergantung dari bagaimana kita sendiri menjalaninya? Betapa tidak adilnya kita menyalahkan orang lain, ketika kitalah sebenarnya yang paling berperan dalam hidup sendiri. Sudahkah kita memohon maaf dan memaafkan diri sendiri atas berbagai “penjara batin” yang kita ciptakan? Yang menjadi akar dari segala keluhan, stres dan penderitaan kita sendiri?

Stres bukanlah tentang gagalnya karier, cinta atau kesehatan. Stres adalah ketidakmampuan kita menerima kenyataan saat ini. Kita menjadi terbebani karena kita memaksakan bahwa keinginan kita yang harus menjadi kenyataan, padahal realitasnya tidak selalu sama. Bisakah kita melatih hati untuk menerima kenyataan dengan tulus?

Sibuk Mengurus dan Memperbaiki Orang Lain

Ketidakmampuan kita untuk menerima diri sendiri apa adanya jugalah yang membuat kita terkadang begitu bernafsu untuk mengubah perilaku dan hidup orang lain, yang sejujurnya… bukan urusan kita. Namun karena kita tidak tahan menyaksikan mereka, perasaan kita disalurkan melalui upaya untuk mengubah dan memperbaiki orang lain. Sungguh tidak realistis, buat kita maupun mereka.

Siapakah orang yang paling penting dalam hidup kita? Mungkin pasangan hidup Anda? Anak? Sahabat? Keluarga? Rekan kerja?

Merekalah biasanya pihak-pihak yang menjadi sasaran kita, dengan dalih niat baik, kita menghabiskan begitu banyak pikiran, ucapan dan tindakan. Memeras energi untuk memperbaiki hidup mereka, agar mereka lebih bisa Anda terima apa adanya. Sudahkah kita memaafkan diri sendiri atas ketidakmampuan kita untuk mencintai mereka apa adanya? Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka, yang, by the way, kita juga miliki?

Tidak Pernah Menang Melawan Kenyataan, Tapi Terus Bertempur

Bisakah kita menolak kenyataan yang sudah terjadi? Pernahkah kita menang, kapanpun kita melawan realita? Mungkin seandainya hal-hal ini kita resapi sepenuh hati, maka kesadaran dan ketulusan lebih muncul dalam diri kita.

Mungkin kita tidak perlu memaafkan lagi, karena kita memosisikan hati untuk senantiasa tulus, ikhlas dan bahagia. Bisakah kita berhenti sejenak, memaafkan diri sendiri, dan berdamai dengan kehidupan kita, saat ini? Read More ..

The Art of Listening to Your Own Body

Sukses, kerja keras, ambisi, motivasi, target, harapan dan cita-cita.

Hidup ini kerap kita jalani setiap momennya penuh dengan ketegangan. Ketegangan yang dibenarkan dalam rangka mengejar sukses, rezeki, dan impian.

Semua kita lakukan karena ada sebuah formula hidup yang ada dalam batin ini.

Formula tersebut berbunyi: “Sukses = Pencapaian = Kebahagiaan”. Formula yang seringkali tidak kita sadari karena sudah terpatri di alam bawah sadar ini. Yang kita sadari hanyalah ketergesaan kita setiap saat yang mengatasnamakan sukses.

Balapan Kehidupan

Bagaikan mobil balap yang sedemikian canggihnya, kita injak “pedal gas kehidupan” ini sampai mentok semaksimal mungkin, karena begitu banyak yang harus kita capai, begitu banyak saingan yang harus kita dahului, dan kita begitu yakin bahwa sekali kita lengah, maka kesuksesan akan terlewat di depan hidung kita dan jatuh ke tangan orang lain. Orang lain yang lebih agresif, yang lebih ganas, lebih tangkas, dan lebih gesit.

Kita harus membayar mahal untuk dunia ketergesaan dan ambisi ini. Ketika realitas hidup tidak sama dengan apa yang kita harapkan, lahirlah beban hati, yang bahasa kerennya: stres. Bahkan ketika stres terasa, sering kita tidak punya ide bagaimana menetralisirnya. Bahkan rasanya dalam obrolan-obrolan sambil ngopi sore hari antar sekelompok eksekutif, rasanya malu kalau dalam pekerjaannya tidak ada stres. Stres menjadi bukti bahwa kita pekerja yang gigih, lihai dan gesit.

Ketika stres mulai muncul semakin banyak, apa yang biasanya kita lakukan? Demi “dewa ambisi dan produktivitas”, kita justru berlari lebih cepat, dengan harapan bahwa stres tersebut akan terlupakan, atau berlalu karena kesibukan. Bagaikan seekor hamster yang berlari di roda yang tak kunjung henti, kita terserap dalam slogan “Jangan Berhenti, Terus Pacu Diri!”.

"Semua Pasti Berlalu"

Semuanya dalam hidup adalah pilihan. Pilihan bijaksana adalah pilihan yang diambil berdasarkan kesadaran yang benar.

Hal pertama yang layak kita renungkan, apakah formula hidup di atas memang benar? Mengapa sedemikian banyak orang mencapai sukses dalam karier dan rezekinya, namun tidak bahagia juga? Apakah sukses tidak sama dengan kebahagiaan sejati?

Memang lucu tapi sangat manusiawi, ketika kita sibuk mengejar kenikmatan inderawi, dalam bentuk karier, rezeki, dan sukses, seringkali rasa bahagia yang datang bersifat hanya sesaat.

Dan sesuai dengan hukum alam, bahwa “semua pasti berlalu” dan tidak ada yang kekal, maka ketika kenikmatan inderawi ini hilang, baik karena kita bosan dengannya maupun lenyap dari hidup kita, maka bukan bahagia yang kita rasakan tapi justru stres dan penderitaan.

Kebahagiaan tersebut menjadi tidak membebaskan justru memenjarakan kita, karena kembali kita harus berpacu untuk mengejar hal berikut yang akan memuaskan kita. Ini yang saya sebut sebagai ketidaksadaran.

Kesehatan Tubuh pun Jadi Korban

Adakah pilihan lain yang lebih sehat, baik dan bijaksana? Mungkin saja. Namun agaknya pilihan tersebut tidak akan terlintas di benak kita, ketika kita begitu sibuk dalam “pacuan roda hamster” yang kita jalani siang dan malam.

Bahkan ketika kelelahan tersebut memuncak, energi kita untuk menjalani hidup semakin tipis, toleransi akan berbagai perubahan semakin berkurang, kecenderungan kita untuk menjadi emosional pun muncul, dan lama-lama kelamaan tubuh mulai angkat bicara.

Sadarkah Anda bahwa setiap saat tubuh Anda bisa berkomunikasi dengan Anda? Seringkali tubuh memberikan isyarat “Lapar... lapar...”, atau “Letih... letih...”, atau “Mohon berhenti, rileks...”. Bila kita bersedia untuk berhenti sejenak dari pacuan hidup serta berbagai pelarian yang biasa kita gunakan, mungkin kita lebih mampu mendengar diri sendiri.

Sementara ketika kita gagal mendengarkan isyarat alamiah dari tubuh, gejala penyakit mulai muncul. Dari mulai sulit tidur, sakit kepala, turunnya daya tahan tubuh dan stamina, ketegangan otot dan saraf, serta berbagai penyakit kronis lain yang lebih serius, seperti hipertensi, diabetes, dan lainnya seolah-olah menjadi panggilan terakhir dari tubuh yang sudah putus asa memberikan isyaratnya kepada kita. Sebagian besar kita sudah tahu teori bagaimana memelihara kesehatan. Pertanyaan besarnya adalah: sadarkah Anda?

Melatih Kesadaran dengan Sederhana & Praktis

Sadari pilihan-pilihan hidup Anda. Sadar untuk mengingatkan diri sendiri bahwa ada kalanya kita perlu membuat prioritas untuk beristirahat, mengingatkan diri untuk bernapas. Ya, bernapas. Perhatikanlah bagaimana dalam arus kesibukan, kita seringkali terlupa untuk menghela napas lega, dan membunyikan “aaah...”. Tubuh Anda akan menghargainya, dan memberikan Anda energi dan ruang untuk berbahagia dalam hidup Anda. Read More ..