Wednesday, April 23, 2008

Merdeka vs Harusitis

Seekor ikan hias yang indah begitu riang bergerak dalam sebuah kotak kaca yang dilengkapi dengan lampu hias dan segala wahana permainan yang tersedia dalam akuariumnya, dunia tempat dirinya merasa aman dan bahagia.

Dia mampu melihat dunia di sekitarnya yang penuh nuansa dan perubahan, tetapi tidak sadar bahwa dirinya telah memilih untuk terbatas pada ruang edar sebatas dinding kaca yang mewadahi air. Air yang memberinya kehidupan. Bahkan ketika mendengar kabar sepintas bahwa kehidupan yang sebenarnya jauh lebih luas dari kotak kacanya, belum tentu dia siap menguji kebenaran kabar tersebut.

Ketika suatu hari dia memberanikan dirinya untuk menguji kebebasannya… tok! Ternyata barulah dia menyadari adanya kaca-kaca yang selama ini tidak dilihatnya, baru ketika dia menyadari dirinya tidaklah lebih dari sebuah kesadaran yang dibatasi oleh kesadaran lain, yakni kesadaran si pemelihara ikan. Mulai hari itulah si ikan menyadari keterbatasannya dan punya pilihan untuk menerima keterbatasan tersebut atau mengubah kondisi hidupnya yang selama ini “disangka” bebas.



Tidak terasa sudah 62 tahun negara ini menyatakan dirinya merdeka. Bagi mereka yang lahir setelah masa kemerdekaan tahun 1945, termasuk saya, kita mengenal kemerdekaan sebatas pelajaran formal di sekolah saja, entah bagaimana rasanya.

Bagi sebagian besar orang, merdeka merupakan suatu momen historis, suatu peristiwa yang tidak sempat kita alami dan rasakan langsung. Barangkali bentuk konkretnya yang terasa di hati pun tidak ada, hanya cuplikan kata-kata atau gambar historis seperti sedang menonton film dokumenter di televisi.

Tetapi apakah Anda tahu rasanya kebebasan? Bagi yang tidak pernah merasakan, mungkin baginya tidaklah penting untuk menghayati ini. Masih adakah relevansi dari kemerdekaan bagi Anda dan saya di saat ini?

Untuk bisa merasakan kemerdekaan, pertama-tama kita harus mengerti benar esensi dari ketidakmerdekaan. Segala bentuk ketidakmerdekaan akan melahirkan penderitaan dalam hidup, baik dalam kesehatan, kesuksesan maupun hubungan pribadi kita.

Kita mengenal istilah medis seperti gastritis (radang lambung), bronkhitis (radang saluran napas), dan berbagai istilah penyakit lain yang menggunakan akhiran “-itis”. Dalam berbagai istilah tersebut, “-itis” diartikan sebagai radang, yang mengganggu kesehatan tubuh kita.

Kalau boleh saya kaitkan dengan pembahasan tentang kemerdekaan sejati, barangkali kita terbenam dalam budaya global yang tanpa disadari telah mencuri pilihan dan kebebasan kita untuk menikmati momen-momen hidup. Penyakit tersebut saya beri nama “harusitis”, di mana kita terjepit dalam berbagai keharusan, baik keharusan yang kita tetapkan sendiri maupun yang dituntut oleh masyarakat.

Harus sehat, harus bahagia, harus sukses, harus kaya, harus cantik, harus punya pasangan, harus punya ini-itu, dan lain lain. Segala bentuk “harus” ini, mau tidak mau, mendidik kita untuk tidak menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, serta tidak bisa berdamai dengan kenyataan hidup saat ini apa adanya. Selama jiwa kita masih terinfeksi “harusitis”, bagaimana kita bisa berhenti dari kegelisahan dan rasa tidak cukup yang senantiasa menghantui hidup, memaksa kita untuk selalu merasa bahwa yang ada saat ini belum cukup baik, memaksa kita untuk meyakini bahwa “more is better than less”?

Biasanya ketika menghadapi suatu masalah, kita meng-kambinghitam-kan situasi atau orang lain sebagai penyebabnya. Misalnya saja, di zaman penjajahan dahulu, yang dipersalahkan adalah para penjajahnya. Namun apa yang terlintas dalam jiwa pihak yang terjajah sebenarnya juga punya andil dalam situasi tersebut, atau jika dicermati, sebenarnya pikiran dan perasaan seseorang tentang situasi yang dihadapinya turut menciptakan ketidakbahagiaannya.

Inilah sebabnya saya berani mengambil kesimpulan, terutama dari pengalaman memberikan terapi secara holistik, bahwa banyak orang salah kaprah tentang apa inti masalah yang mereka hadapi. Tanpa disadari pikiran dan perasaan kita menjadi “penjajah terselubung” yang tidak kita ketahui, dan kita terkecoh menyangka bahwa perilaku orang lain atau situasi di luarlah yang menjadi sumber ketidakbahagiaan kita.

Salah satu penulis favorit saya, Thich Nhat Hanh, pernah mengatakan bahwa pada dasarnya aspirasi setiap manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mencapai kebahagiaan sejati. Dan syarat mencapai kebahagiaan tersebut, adalah dengan mengalami suatu kemerdekaan dalam diri, untuk memiliki keberanian dalam menjadi diri sendiri apa adanya.

Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita secara realistis bisa mencapai kebahagiaan melalui kemerdekaan di masa modern ini?

Ada banyak yang berpendapat, berbahagia dicapai ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan (getting what we want). Mungkin kita menginginkan sukses, harta, kekuasaan, kesehatan, persahabatan, cinta, keluarga, dan sederet “paket” keinginan yang kita jadikan sebagai syarat. Seolah terukir dalam hati: “Kalau semua keinginan saya terwujud, maka barulah saya akan berbahagia”. Ini yang saya istilahkan conditional happiness.

Barangkali ukiran hati ini layak diperiksa ulang, karena tidak sedikit orang yang harapan dan keinginannya terwujud, kemudian merasakan kesenangan sesaat, lalu mulai tidak puas lagi karena dua hal yang muncul dalam dirinya.

Pertama, karena seringkali ego kita tidak bisa dipuaskan, begitu satu keinginan tercapai, muncul lagi sederet keinginan baru yang mencegah kita untuk merasa lega, damai dan tercukupi. Kedua, karena sudah menjadi kodrat bahwa tiada sesuatu pun yang kekal, maka setiap hal yang kita miliki, mau tidak mau akan berubah. Keinginan kita yang terwujud tidak pernah selalu bersama kita selamanya, sehingga kita kembali mengejar hasrat yang dahulu sudah sempat terpenuhi.

Bolehkah kita mempertanyakan kembali apakah merasakan kebahagiaan dengan cara mencapai apa yang kita inginkan benar-benar efektif? Jika tidak, apakah itu berarti keinginan, hasrat dan harapan justru menjadi ketidakmerdekaan terselubung yang membatasi kebahagiaan kita?

Barangkali para penjajah eksplisit yang ada d iluar sana sudah tidak ada, tapi bagaimana tentang penjara rutinitas hidup dan kerja, arus informasi yang begitu dahsyat di sekitar kita, gaya hidup yang penuh upaya untuk memuaskan keinginan kita secara instan?

Bagaimana juga dengan pengondisian cara berpikir dan berperilaku yang selama ini kita peroleh dari pola asuh keluarga, tatanan sosial, agama dan budaya, yang “dilekatkan” pada kita sebelum kita punya kejernihan untuk mempertimbangkan apa yang sesuai dengan diri kita, serta keberanian untuk menerima atau menolak nilai yang disodorkan pada kita?

Bisakah kita dalam suatu hari mengatakan, “Saat ini saya bebas untuk memilih, bebas untuk menjadi diri saya sendiri, dan menentukan apa yang sesuai dengan jatidiri saya?”

Saya tidak berani menjawabnya secara absolut bagi Anda. Saya percaya semua orang mampu bercermin dari pengalaman hidup kita masing-masing dan menyimpulkannya sendiri. Untuk saat ini, sekadar bernapas, menyadari dan memerhatikannya sudah lebih dari cukup bagi saya.

Published, EVE Magazine, Agustus 2007.
Read More ..

Liburan Sepenuh Hati

Saya merindukan kelegaan, kedamaian dan kebebasan. Mengapa? Apakah karena hidup ini begitu sering terasa sesak, bising, dan terjepit dalam berbagai keharusan, kewajiban, dan tanggung jawab?

Memang begitu banyak peran yang harus kita jalankan. Dari mulai tugas sebagai anak, orang tua, karyawan, teman, maupun tugas yang hadir sesuai dengan profesi kita.

Gambaran yang muncul di benak saya adalah seekor hamster yang berlari di atas roda tempuhnya, merasa akan sampai di suatu tujuan akhir, padahal sebenarnya hanya berputar-putar dalam rutinitas yang sama. Apakah ini mirip dengan hidup kita?

Dulu, ketika saya bekerja di perusahaan bidang perbankan dan keuangan, saya menyangka bahwa obat dari kejenuhan akan rutinitas ini adalah melakukan liburan di luar kota, melihat tempat baru, mengalami pengalaman yang tidak biasanya dirasakan. Berpisah dari fenomena rutin, memang merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh.

Namun setelah beberapa kali merenung, apakah benar ini cara yang tuntas untuk mengobati rasa jenuh? Seringkali ketika liburan ke luar kota atau ke luar negeri, di mana rasanya dalam waktu sekian hari, kita ingin sekali mengunjungi dua puluh lokasi wisata yang berbeda, malah justru rasanya letih, uang habis, belum lagi jetlag serta semakin tidak bersemangat untuk kembali ke rutinitas kerja yang sudah lapar dan tidak sabar untuk melahap kita kembali ke dalamnya.

Jadi, bagaimana sebenarnya liburan yang manjur?

Seorang sahabat saya, sebutlah namanya Yola, lebih menyukai liburan yang bersifat wisata alami. Menurutnya rutinitas harus dinetralisir dengan hidup yang lebih spontan, bebas dari perencanaan dan target. Yola meluangkan waktu 1-2 kali dalam setahun untuk berlibur, yang diisi dengan kegiatan yang tidak direncanakan seperti pola kerja pada umumnya, bersentuhan dengan alam yang memberikannya inspirasi. Baginya, di situlah kesempatan dia untuk meluangkan waktu bagi diri sendiri, untuk rehat sejenak dari kewajiban sehari-hari.

Ada lagi teman saya yang bernama Tessa. Liburan favoritnya adalah pergi ke resor liburan yang bernuansa alam, diisi dengan kegiatan detoks, makan sehat, yoga dan terapi spa. Menurutnya, lebih penting merilekskan diri dari kepenatan hidup di kota. Dan berbagai jenis terapi, seperti hidroterapi, aromaterapi dan pijat tubuh benar-benar mengendurkan saraf-sarafnya yang letih. Menurutnya, liburan semacam ini punya kelebihan tersendiri, karena biasanya karyawan perusahaan hanya bisa cuti panjang sekitar 1-2 kali dalam setahun. Sementara, bila terbiasa liburan yang penuh kegiatan relaksasi ini, maka setelah selesai liburan, setiap 1-2 minggu sekali pun dia bisa pergi menikmati terapi di spa dalam kota. Baginya, ini bisa memberikan efek rileks yang lebih merata sepanjang tahun bekerja.

Saya sendiri punya kegiatan libur favorit yang juga tidak lazim. Sekitar 6 tahun yang lalu, saya mengenal kegiatan meditasi untuk ketenteraman dan kesehatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, kegiatan berlatih meditasi ini diadakan di sebuah hotel yang bernuansa alami di Bali.

Coba Anda bayangkan situasinya. Selama 7 hari 6 malam, setiap peserta tidak diizinkan untuk berbicara satu patah kata pun, tidak membaca atau menulis, tidak menonton televisi, dan tidak boleh juga merokok maupun minum alkohol. Setiap peserta hanya diberikan makanan vegetarian selama program tersebut.

Melihat peraturan di atas, sebagian orang akan merasa ragu, dan bahkan enggan melakukannya karena merasa bentuk kegiatan ini bukanlah liburan, melainkan lebih seperti asrama yang penuh disiplin. Saya pun merasakan hal ini ketika belum pernah mengalaminya, dan sempat tergoda untuk mengundurkan diri.

Kami diberitahu bahwa semua aturan ini bertujuan agar bagian otak yang biasanya begitu aktif dan terstimulasi oleh berbagai informasi, komunikasi dan kegiatan yang kita lakukan, bisa beristirahat, dan juga batin mengalami kejernihan yang dalam agar meditasinya pun mencapai ketenangan sempurna.

Ternyata, setelah dijalani, saya dan setiap peserta merasakan hasilnya. Kami semua pulang dengan penuh rasa bahagia dan bersyukur. Pikiran pun begitu lega dan ringan, karena tidak lagi penuh dengan penyesalan masa lalu dan kekuatiran masa depan. Kalau biasanya di akhir liburan rasanya begitu berat kembali bekerja, justru dengan liburan meditatif seperti ini, saya merasa begitu segar dan bersemangat untuk kembali bekerja. Selain itu hal-hal kecil yang terkadang mencetuskan rasa kesal, marah dan stres tiba-tiba semakin berkurang pengaruhnya terhadap suasana hati sehari-hari.

Bagaimana dengan Anda sendiri? Apa pun pilihan liburan Anda, ingatlah bahwa pikiran dan jiwa Anda juga perlu diistirahatkan. Seringkali ketika kita berlibur tempat yang paling indah sekalipun, pikiran kita masih bekerja dan itulah sebenarnya sumber kejenuhan yang sering kita tidak sadari. Ketenteraman bukanlah suatu konsep yang cukup sekadar dicita-citakan, tapi perlu dialami langsung dalam keseharian.

Published, Eve Magazine, July 2007. Read More ..

Tuesday, April 08, 2008

Reinkarnasi Blog

Sudah resmi sudah hampir 1.5 tahun saya tidak posting di blog ini.

Entah perjalanan hidup seperti apa yang akhirnya membawa saya kembali ke sini, di saat ini. Yang terasa jelas, sudah tak terhitung momentum serta letupan evolusi ke dalam diri yang menghiasi keseharian saya.

Sebenarnya selama ini saya tidak berhenti berupaya untuk menuangkan isi hati. Mulai dari artikel bulanan di majalah EVE, talkshow bulanan di O'Channel, hingga sekarang talkshow mingguan di Cosmopolitan FM. Agaknya jiwa saya tetap mengondisikan saya untuk terus berekspresi, tapi entah mengapa saya tidak tergerak untuk menulis di blog ini.

Kalau bukan saja karena sahabat sekaligus penyemangat hidup saya yang tiba-tiba menawarkan niat baiknya untuk menjadi blog master saya, barangkali situs ini tinggal kenangan.

Bermodal setumpuk hasil menulis yang siap diterbitkan, semoga rangkaian kata yang akan segera dimuat ini bisa memberikan Anda kesejukan yang sama, seperti saya pun terinspirasi ketika pertama kali menuangkannya ke dalam tulisan.

Salam reinkarnasi. Blog saya sekarang resmi bangkit dari 'mati suri'-nya. Read More ..