Thursday, February 12, 2009

Pindah Rumah


Kepada pembaca Inner Life of Reza Gunawan,

Saya menemukan napas kreatif baru, untuk terus menulis, berbagi dan berinteraksi dengan mereka yang mencintai hidup selaras dan alamiah.

Setiap siaran dan talkshow yang pernah dilakukan, sekarang dituangkan secara bertahap dalam bentuk tulisan, dan tersedia untuk diskusi bagi yang berminat dalam blog baru saya.

Dan untuk rezagunawan.blogspot.com ini sendiri meski tidak akan ditutup, namun sementara waktu tidak akan saya isi dengan posting baru, agar energi kreativitas saya bisa berkembang di satu rumah dulu saja, yaitu rezagunawan.com

Berkunjunglah barang sejenak, semoga Anda bisa menikmatinya, sama seperti saya menikmati proses penciptaannya.

Salam,
Reza Read More ..

Friday, January 23, 2009

Blog Baru: Self Healing - Reza Gunawan


Kepada para pembaca blog yang budiman,

Nikmati rangkuman renungan, tulisan dan siaran Reza Gunawan, baik yang pernah disajikan di televisi maupun radio, di blog baru kami.

Alamatnya adalah rezagunawan.com.

Disini Anda bisa berdiskusi, komentar, tanya-jawab lebih mendalam seputar self healing dan bagaimana kita semua bisa menikmati hidup semakin ringan, ikhlas dan selaras. Bahkan Anda pun boleh memberikan usulan topik yang ingin dibahas dalam siaran radio mingguan kami di Cosmopolitan FM 90.4, tiap Selasa pukul 07.00 - 08.30.

Saya tunggu kunjungan, kehadiran, dan partisipasi Anda.

Salam,
Reza Gunawan
www.truenaturehealing.net Read More ..

Tuesday, January 20, 2009

Yes, this is personal.

I truly appreciate
how warmly you held me in the mornings of our wakefulness
how tightly you embraced my heart in the midst of difficulties
how honestly you share the innermost fears and desires

I truly love
how gently you let me ease into the sudden life of fatherhood
how sincerely you experimented with cooking recipes that had fed our hearts
how peacefully you made me feel when we sit in silence, just breathing

I truly celebrate in gratitude
how you bravely allowed me to die, and welcomed my rebirth heartfully
how you made room for my misery, even when it can seem endless at times
how you gave permission me complain over coffee, shrimps and little fishes

To the most wonderful companion in my life...
I love you deeply, my bestfriend, my soultwin, my lovely wife.
May we always share and celebrate our laughter, our tears and our silence.
Happy birthday, sweedee.

Read More ..

Monday, December 01, 2008

Media Gosip: 'secuil' Fakta berbumbu Isapan Jempol & Fitnah

Entah sudah beberapa tahun di Indonesia, kita memperhatikan fenomena dan sepak terjang dunia pergosipan (baca: infotainment). Saya masih ingat suatu waktu ketika keluarga saya sendiri seringkali menikmati tayangan kehidupan figur publik tanah air, setiap hari. Saya sendiri sejak dahulu tidak terlalu menikmatinya, karena menurut saya buat apa mengintip urusan pribadi orang lain. Begitu banyak urusan sendiri yang masih perlu perhatian. Namun karena tinggal di satu rumah, saya akhirnya memutuskan untuk latihan bertoleransi terhadap kebiasaan keluarga tersebut.

Saya tidak pernah menyangka bahwa observasi saya pada saat itu, ternyata berkembang menjadi suatu pengalaman, bahkan pelajaran, yang cukup mendalam. Pengalaman selama beberapa bulan terakhir ini dipicu oleh perubahan baru dalam kehidupan pribadi saya. Rasa pahit, sedih, bercampur marah tidak jarang menghampiri. Memang benar kata orang bijak, kita belajar bukan dari pengalaman yang manis, namun justru yang berat dan pahit.

Jarak dan Keterlibatan Mempengaruhi Strategi

Dahulu, mudah sekali saya menyimpulkan dalam hati ketika teman-teman figur publik menyampaikan uneg-unegnya diburu pers. Dalam benak saya berkata “ah, itu kan resikomu menjalani peran sebagai figur publik, mau tidak mau harus belajar menerimanya kan?” Hidup memang lucu, ketika kita mengamati suatu pengalaman dari jarak tertentu, dengan kadar keterlibatan tertentu, maka rasa, pengalaman dan kesimpulan yang kita petik bisa jauh berbeda begitu jarak dan keterlibatan kita mengental. Itupun terjadi pada saya, sekarang saya belajar memelihara kewarasan dengan kadar keterlibatan yang baru.

Menurut pengamatan saya, yang juga diperkuat dengan saran berbagai pihak, untuk menghadapi buruan serigala pelaku infotainment, strategi yang paling jitu adalah “cuekin aja”, atau “no comment”, atau “diam itu emas”. Boleh dibilang sebagian besar figur publik menggunakan strategi ini sebagai “agama”-nya.

Entah apa alasannya, saya merasa cuek itu berbahaya. Memang kita jadi lebih terlihat dari luar seperti tenang, seperti tak terpengaruh, dan seperti kuat. Namun ketika rasa tidak nyaman tersebut terus menerus diacuhkan, dia mulai menyelinap ke bawah sadar, dan mulai menggerogoti ketenangan sejati, bahkan kesehatan fisik dan mental.

Diam itu emas pun, bilamana tidak ditakar dengan bijaksana, seringkali bagaikan menumpuk bom waktu. Saya sudah beberapa kali mengalami ini. Justru ketika saya mengizinkan diri untuk berbicara, tanpa diikuti harapan untuk mengubah orang lain, hanya sekadar mengkomunikasikan isi hati, di saat itulah saya berhasil memulihkan ketenangan dan kedamaian.

Dalam ilmu terapi, kita bisa lega ketika berkesempatan mengekspresikan diri secara jujur, apakah itu melalui menulis, berbicara, melukis, menari, bernyanyi, dll. Selama ekspresi tersebut tidak diikuti harapan hati untuk mengubah pendapat dan sikap orang lain, dia tidak akan menumpuk lebih banyak stres, justru mencairkan beban yang sudah ada.

Agaknya inilah satu-satunya alasan mengapa saya menulis, terkadang tentang kehidupan pribadi saya, karena bagi saya, menulis adalah terapi untuk diri sendiri. Ketika jarak dan keterlibatan narasumber dengan pelaku infotainment sudah sedemikian dekat, maka strategi cuek dan diam sudah kehilangan efektivitasnya bagi saya.

Berita infotainment: lebih banyak fakta atau fiksi?

Kalau dari kata ‘gosip’, sebenarnya kita semua tahu bahwa gosip tidaklah selalu faktual, namun saya sering mendapati bahwa tanpa sadar, saat kita duduk depan televisi yang menyiarkan acara gosip, atau membaca tabloid gosip, sulit sekali untuk tidak berpendapat tentang liputan tersebut, atau bisa menikmatinya dari posisi yang netral. Bahkan tidak mudah juga untuk menerimanya sebagai gosip (baca: belum tentu fakta).

Saya ingin berbagi pengalaman pribadi tentang proses peliputan berita gosip yang saya alami. Tentunya belum tentu setiap figur publik mengalami persis sama dengan yang saya alami. Sebelum pengalaman ini, saya pun sudah cukup sering menghadapi media cetak maupun televisi (yang bukan media gosip) untuk keperluan liputan seputar kesehatan holistik.

Dari pengalaman media umum (bukan media gosip), tidak jarang ada pemberitaan yang melenceng dari wawancara. Ini cukup saya bisa maklumi karena terkadang pewawancara kurang jeli atau kurang mengerti, sehingga ketika dia menuangkan tulisannya, terpaksa memang menggunakan interpretasi subjektifnya sendiri.

Namun dalam pengalaman dengan media gosip, sungguh luar biasa derajat pemutarbalikan fakta, dan berikut ini saya ingin berbagi beberapa strategi peliputan gosip yang sudah pernah terjadi. Ini hanya sebagian contoh yang kami alami, saya hanya ingin memberikan gambaran nyata proses peliputannya saja:

1. Pemalsuan suara narasumber

Dalam suatu kesempatan, asisten Dewi Lestari ditelepon oleh salah satu infotainment yang meminta kesempatan wawancara, sekaligus klarifikasi berita pernikahan kami. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ternyata percakapan telepon tersebut direkam oleh pihak infotainment. Ini belum apa-apa, karena begitu keesokan harinya ketika rekaman percakapan tersebut ditayangkan, di akhir komentar sang asisten tersebut, ada lanjutan suara wanita lain yang mirip dengannya, memberikan komentar dan pernyataan tambahan yang tidak pernah disebutkan oleh sang asisten, dan dibuat seolah-olah menjadi satu komentar utuh dari pihak yang sama.

2. Pelencengan drama melalui narator

Pernahkah Anda memperhatikan suara narator dalam liputan infotainment, dengan intonasi dramatis? Itu juga salah satu alat pembentukan opini dalam liputan infotainment. Ketika sudah diselipkan di antara komentar langsung dari narasumber, maka pemirsa sulit membedakan lagi yang mana fakta, dan yang mana fiksi.

3. Fitnah yang sengaja, maupun (barangkali) tidak disengaja

Baru-baru ini, ada sebuah insiden antara saya dengan peliput gambar infotainment. Saat shooting acara televisi di panggung, saya berbicara baik-baik untuk meminta agar pengambilan gambar tidak dilakukan dengan jarak sangat dekat. Awalnya, kedua peliput gambar dari Indigo Production tersebut mau mengerti, dan kemudian meliput dari jarak yang lebih renggang, sehingga kami lebih nyaman dalam melaksanakan pekerjaan kami. Ini sangat saya hargai.

Namun ketika saya dan Dewi berjalan dari panggung menuju ruang rias, dan kemudian menuju mobil, kamera tersebut terus mengikuti kami dengan jarak sangat dekat, sekitar 30-50 cm dari tubuh kami, dan saya hanya bicara berulang kali agar peliputan gambar sudah cukup. Si peliput gambar hanya sekadar mengiyakan di mulut, tanpa mematikan kamera atau mengambil jarak yang lebih santun. Akhirnya saya memegang lensa kamera dengan permintaan yang sama, sambil memasuki mobil. Tiba-tiba si peliput gambar justru marah, memaki-maki kasar, bahkan memukul mobil saya dengan peralatannya.

Begitu keluar di liputan gosip online 'artistainment.wordpress.com', justru saya yang dinyatakan marah tanpa sebab yang jelas, dan bahkan dicurigai bahwa sayalah yang menghantamkan peralatan kamera ke mobil saya sendiri. Ini tidak mungkin terjadi karena waktu saya mendengar bunyi peralatan bertumbukan dengan mobil, kami semua sudah berada dalam mobil dengan pintu dan jendela tertutup. Saya punya minimal 3 saksi langsung dalam insiden ini. Entah karena dendam atau alasan apa, berita yang keluar justru sangat jauh dari kronologisnya.

4. Wawancara imajiner

Dalam tabloid C&R, pernah sekali Dewi Lestari muncul dalam sebuah artikel yang dikemas dalam bentuk wawancara langsung tentang kedekatan Dewi dengan saya. Ini sudah dibahas sebelumnya dalam posting Dewi di dee-idea.blogspot.com. Wawancara tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Tidak pernah ada kontak bicara, email atau telpon dengan sang wartawan. Bahkan beberapa waktu kemudian, kami mendapat input dari salah seorang mantan peliput infotainment, bahwa memang ada teknik ‘wawancara imajiner’, yang dihalalkan (baca: dianggap lazim dan boleh) dalam dunia peliputan gosip, karena teknik ini meningkatkan nilai berita yang disajikan.

5. Bongkar pasang komentar narasumber dan mengubah judul liputannya.

Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota keluarga Marcell diwawancara infotainment dengan pertanyaan apakah dirinya kecewa dengan perceraian Dewi-Marcell, dan dengan tenang dia menjawab di depan kamera bahwa dalam setiap perpisahan tentu ada kekecewaan, namun agaknya kedua pihak sudah memutuskan bahwa itulah yang terbaik, jadi pihak keluarga tentunya juga tidak menghalangi bilamana itulah jalan yang membuat kedua pihak bahagia.

Tetapi dalam liputan infotainment, keluarlah teks “Keluarga Marcell kecewa dengan keputusan Dewi”, didukung narator yang mengatakan bahwa pihak keluarga Marcell kecewa karena Dewi memutuskan untuk menikah dengan saya, bukannya kecewa karena keputusan Marcell dan Dewi untuk berpisah, sebagaimana liputan wawancara yang sebenarnya.

Jadi dalam hasil bongkar pasang tersebut, muncullah kesan adanya kekecewaan keluarga Marcell atas pernikahan kami, bukan atas perceraian sebelumnya. Bongkar pasang komentar dan narasi seperti ini, mungkin juga lazim dan lumrah.

6. Salah menangkap fakta

Kalau kategori terakhir ini, terus terang lebih banyak mengundang gelak tawa dan senyum bagi kami yang diliput. Meskipun saya akui, mungkin saja ini lebih banyak tidak disengaja. Di tengah keterbatasan informasi, keluarlah berbagai liputan maha meleset seperti:

“Marcell dan Dewi tukar pasangan, karena Reza Gunawan dan Rima Adams dulu adalah pasangan suami istri.”

Fakta: Reza dan Rima baru kenal beberapa bulan yang lalu, ketika Marcell memperkenalkan Rima sebagai kekasihnya. Rima memang sudah pernah menikah, dan kemudian bercerai dengan mantan suaminya yang tinggal di luar negeri. Tetapi mantan suami tersebut bukanlah Reza.

“Ketika Reza sudah mengakui hubungan cintanya dengan Dewi Lestari, justru Dewi MENYANGKAL dengan pernyataan blognya ‘There’s nothing unspecial between me and Reza’ yang artinya tidak ada yang istimewa dengan hubungan saya dan Reza”

Fakta: salah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Nothing unspecial” artinya tidak ada yang tidak istimewa. Ini cukup membuat kami terpingkal-pingkal karena liputannya menggunakan narator dramatis yang membacakan skrip salah terjemahan tersebut. Ini membuat Dewi dituduh menyangkal, bahkan dicap munafik. Bagi kami, rasanya seperti ada lomba adu bodoh antar infotainment, dan mereka saling mengungguli satu sama lain, sehingga kami sulit menentukan “siapa yang jadi juaranyaaa…”

“Balada wanita paruh baya berusia hampir 50 tahun”

Oh, ada satu lagi. Dulu sekali, Rima sempat diliput sebagai wanita paruh baya yang ada di dalam mobil Marcell. Dengan bermodal niat baik, dalam blognya, Dewi berusaha menjelaskan bahwa Dewi kenal langsung dengan Rima yang begitu baik dan ramah, dan juga Rima itu “nowhere near half century old”. Begitu keluar di salah satu media online, tulisannya menjadi “Kabarnya Rima ini sudah berusia hampir 50 tahun / setengah abad”. Saya langsung menyerah dan angkat tangan.

“Nama anak kami sering sekali salah liput”

Entah mengapa di berbagai media keluar nama “Keenan Sidharta, 3 tahun”, padahal nama aslinya “Keenan Avalokita Kirana” dan dia sudah berusia 4 tahun lebih.

“Seringnya komentar yang tertukar dan/atau ditambah”

Sewaktu saya dan Dewi diwawancari di Blitz Megaplex, dan kami membaca liputan tertulisnya di beberapa media, banyak sekali komentar yang tertukar. Pernyataan yang saya buat, justru diliput seolah Dewi yang berbicara dan juga sebaliknya. Bukankah kalau memang wawancara tersebut direkam gambar dan/atau suaranya, peliput bisa membedakan siapakah yang sedang membuat pernyataan? Bahkan banyak juga pernyataan yang tidak pernah kami sampaikan, tetapi diliput seolah kami mengatakan hal-hal yang sebenarnya isapan jempol sang peliput.

Pernyataan Terpenting yang Perlu Perenungan

Saya belajar untuk realistis. Di tengah praktek pelaku liputan gosip yang seringkali menjengkelkan karena melanggar etika dan privasi, saya tidak menuntut atau meminta mereka berhenti, atau menjadi lebih etis dan cerdas. Itu cukup menjadi doa dalam hati saya saja.

Fokus yang terpenting saat ini adalah bukan pada para peliput gosip, namun pada saya dan Anda sebagai publik. Ketika kita terekspos dengan informasi gosip terkini setiap hari, tentunya merupakan pilihan bebas kita masing-masing untuk mengonsumsinya (baca: lihat, baca dan dengar) atau tidak.

Namun pertanyaan maha pentingnya adalah, setelah kita tahu bagaimana proses peliputan di balik produk berita-jadi-siap-saji tersebut, apakah kita masih bisa berasumsi bahwa apa yang kita tangkap dari media gosip, merupakan fakta, atau minimal lebih banyak faktanya?

Dan lebih lanjut lagi, kalau kita bisa melihat bahwa kadar fakta dalam liputan gosip seringkali sangatlah sedikit, masihkah kita bisa mempertahankan bahkan menganggap benar pendapat, reaksi, dukungan, cibiran, pujian, hinaan, dan sederet penilaian kita yang didasari oleh berita-minim-fakta tersebut?

Hanya diri kita yang bisa menjawabnya dengan hati yang jujur.

Yang saya tahu pasti, sebagai pihak yang terlibat langsung dengan jarak dekat, sekarang saya menyadari bahwa kesehatan mental saya sendiri, berbanding terbalik dengan konsumsi infotainment yang saya terima. Bahkan saya telah mencabut ulang semua penilaian dan pendapat saya terhadap setiap figur publik yang diliput infotainment, karena sejujurnya saya tidak tahu apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi secara faktual dalam hidup dan pilihan mereka.

Bagi saya, mengkonsumsi informasi gosip dengan terus membacanya, menyaksikannya, bahkan menceritakannya pada orang lain, secara tidak langsung menjadikan saya berpartisipasi aktif sebagai pelaku gosip, yang memang terkadang lebih enak daripada membicarakan kelemahan dan permasalahan diri dan keluarga kita sendiri.

Bagi saya, biarlah ukuran baik-buruk dan benar-salah dalam kehidupan mereka tidak diukur oleh kesadaran manusiawi yang tidak lepas dari keterbatasan. Bagi saya, itu urusan pribadi antara mereka dan Sang Maha. Read More ..

Thursday, September 04, 2008

Bersahabat dengan Nafsu

Siapa manusia yang tidak kenal dengan nafsu? Nafsu adalah bagian alami semua makhluk hidup. Nafsu adalah energi yang mampu menggerakkan kita dalam hidup ini. Dia sanggup mendorong sepotong buah pikiran menjadi minat, dan kemudian menghasilkan tindakan, yang akhirnya berbuah menjadi hobi, pola dan kebiasaan.

Dalam hakikatnya, nafsu adalah daya semangat yang memberikan bensin bagi perjalanan hidup dan pertumbuhan kita. Lihatlah sekitar Anda, hampir tidak ada keberhasilan atau kemajuan bisa dicapai bila tidak disemangati oleh nafsu dan keinginan.

Nafsu Sebagai Sumber Masalah

Tidak jarang juga ketika kita salah dalam mengelola energi nafsu kita sendiri, beragam masalah pun timbul, padahal sebenarnya nafsu itu bersifat alami dan netral. Contoh, nafsu makan. Ketika dikelola dengan baik, nafsu makan memberikan asupan makanan yang lezat dan gizi yang menyehatkan tubuh. Namun bila salah kelola, bisa menyebabkan adiksi makanan, kebiasaan ‘ngemil’ berlebih, bahkan penyakit akibat kelebihan gizi.

Contoh lain, nafsu birahi. Ketika disalurkan dengan baik maka nafsu ini menjadi sarana untuk memproduksi cinta, keintiman hati, dan penciptaan keturunan. Ketika birahi salah dikelola, dia bisa menjadi akar pelarian stres, pemuasan kebutuhan secara dangkal, menimbulkan kecanduan seks, atau bahkan perilaku seksual yang tidak sehat.

Belum contoh terakhir berikut, nafsu emosi. Ketika emosi dirasakan dan disalurkan dengan sehat, apa pun bentuknya, maka emosi menjadi sarana untuk mengenal diri sendiri secara cermat, menjadi jembatan komunikasi hati dalam setiap hubungan, dan juga menjadi dinamika yang membuat hidup ‘lebih hidup’. Akan tetapi, emosi yang tidak dikelola dengan baik begitu mudah menciptakan kerenggangan, pertikaian, dan stres dalam hidup kita.

Tidak terlalu meleset rasanya untuk menyimpulkan bahwa setiap masalah yang kita miliki, bisa dirunut lapis demi lapis hingga kita tiba pada satu ujung yang biasanya sama: nafsu yang salah dikelola.

Yang lebih menyulitkan lagi, lingkungan telah mengondisikan kita untuk memberikan penilaian negatif pada nafsu. Nafsu telah memperoleh cap buruk dari masyarakat, budaya dan agama. Padahal, sesuatu yang sudah bercap buruk, biasanya malah semakin sulit untuk dikelola dengan baik.

Jadikan Musuh, Atasan, atau Sahabat?

Kalau kita periksa dengan jeli, maka ada 2 pendekatan paling populer untuk menghadapi nafsu, yaitu memperlakukan nafsu bagaikan MUSUH, dan memperlakukan nafsu bagaikan ATASAN.

Ketika nafsu dijadikan MUSUH, kita cenderung ingin mengendalikannya, menaklukkannya, menekannya hingga nafsu tak punya kuasa untuk berekspresi dalam diri kita. Pendekatan ini sangat sulit karena semakin kuat kita bermusuhan, berusaha mengusir dan mengalahkan nafsu, maka semakin kuat pula nafsu berceloteh dan meronta. Di puncak adu kuat antara diri dengan nafsu ini, seringkali kita pun menyalahkan diri, atau orang lain, atau situasi, terutama saat nafsu kita ‘menang’. Inilah pendekatan yang paling umum, sekaligus juga sangat tidak natural, sehingga rentan memicu stres.

Sebaliknya, ketika nafsu dijadikan ATASAN, kita cenderung mengikuti dan mengalir dengan apa pun yang diminta oleh sang nafsu. Tentu kita semua tahu bahwa menuruti semua tuntutan nafsu tentunya akan menghasilkan problema yang lebih banyak lagi. Namun kita kadang tak punya jurus lain selain menuruti nafsu yang mungkin saja memang terlanjur kuat karena dipupuk kebiasaan.

Kalau memang demikian, adakah jalan yang bisa kita tempuh demi mengelola nafsu secara sehat dan natural? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana, yaitu belajarlah mengenal nafsu sebagai SAHABAT kita.

Ini berarti pertama-tama kita perlu melepas dahulu cap buruk dan negatif atas segala nafsu. Semua nafsu adalah alamiah dan netral nilainya. Positif atau negatif itu tergantung persepsi dan keberhasilan kita dalam mengelolanya. Bersahabat dengan nafsu berarti kita belajar untuk mengenal, merasakan, memahami dan merawatnya dengan perhatian yang jernih dan hati yang berkesadaran.

Memahami Kebutuhan Sebenarnya Di Balik Nafsu

Setelah Anda mengerti bahwa semua nafsu pada dasarnya adalah netral, cobalah belajar mengenali kembali setiap energi nafsu yang datang dan pergi dalam diri kita. Ini tentu butuh latihan yang sederhana, namun sangat mencerahkan bila dilatih dengan tekun.

Ketika muncul nafsu tertentu, apa pun bentuknya, coba rasakan, sadari dan amati. Kenali dia apa adanya, tanpa memberikan pemenuhan atas tuntutannya. Kuncinya adalah merasakan tanpa langsung memenuhinya.

Mari kita praktekkan langsung. Anda sedang merasa lapar. Remlah sedikit refleks Anda untuk mengambil makanan terdekat, tetapi rasakan dulu dan kenali benar pengalaman lapar tersebut dengan penuh perhatian.

Mungkinkah tubuh Anda sebenarnya sedang tidak butuh makanan? Barangkali Anda hanya ‘merasa’ lapar karena sedang kesal hati dan mengunyah makanan terasa pas sebagai obat kesal?

Ketika muncul nafsu birahi, berhentilah sejenak. Benarkah Anda sedang merasakan energi cinta yang ingin dipadu? Barangkali Anda sebenarnya sedang merasa stres atau tegang, dan butuh pelarian nikmat sejenak?

Suatu saat Anda ingin sekali merokok. Stop dan bernafaslah sebentar. Benarkah tubuh Anda membutuhkannya? Mungkinkah Anda sebenarnya sedang merasa jenuh atau bosan, dan merokok menjanjikan terusirnya rasa bosan tersebut?

Ketika Anda mulai kenal dengan rasanya ‘nafsu’, maka lapisan-lapisan selanjutnya di balik nafsu tersebut seringkali akan menunjukkan dirinya. Dengan kata lain, apa yang DIMINTA oleh nafsu seringkali tanpa kita sadari bukanlah hal yang sebenarnya kita BUTUHKAN.

Jika seandainya hanya atas nama refleks dan pemenuhan instan kita sekadar mengikuti permintaan nafsu, tanpa sadar dan merawat kebutuhan yang sebenarnya, tidak heran kalau kita tidak pernah bebas dari perbudakan sang nafsu. Ketika ‘kebutuhan sebenarnya’ di balik lapisan-lapisan nafsu sudah bisa kita sadari dan rawat, maka permintaan nafsu di permukaan menjadi semakin tidak relevan dan tidak merongrong lagi untuk dipenuhi.

Sekadar Memulihkan Kepekaan Alami yang Hilang

Proses menyadari lapis demi lapis, dari nafsu sepintas hingga bisa tiba pada kebutuhan diri yang sebenarnya, bukanlah suatu hal yang biasa kita lakukan. Membutuhkan latihan untuk bisa perlahan-lahan bersahabat dengan nafsu dan merawat diri kita hingga pada kebutuhan sebenarnya. Tidak perlu kecil hati, karena keterampilan untuk merasakan diri ke dalam bukanlah hal asing.

Pada saat bayi, kita semua sangat peka untuk merasakan ke dalam diri, hanya saja kebiasaan ini mulai pudar ketika kita semakin dewasa. Latihan ini tidaklah sulit sulit karena tidak ditujukan untuk memperoleh keterampilan baru, tapi sekadar untuk memulihkan kepekaan alamiah yang sempat hilang akibat proses kehidupan menjadi orang dewasa.

Selamat berlatih, selamat belajar kembali untuk bersahabat dengan nafsu yang secara alamiah dalam diri Anda. Melatih diri akan mengembalikan kepekaan jiwa dan menghidupkan kembali hati kita. Hati yang hidup adalah hati yang semakin mudah bersyukur dan merayakan hidup itu sendiri. Read More ..

Thursday, July 17, 2008

Respons Reza Gunawan tentang Perceraian Dewi & Marcell

Tulisan ini saya buat sebagai respons atas berita tentang keterlibatan saya dalam kasus perceraian kedua sahabat dekat saya, Dewi Lestari dan Marcell Siahaan. Awalnya ketika dihubungi beberapa media, saya memilih untuk bungkam karena tidak ingin mengusik ketenteraman proses mereka dengan bumbu-bumbu sensasi pemberitaan. Setelah waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini.

Setelah beberapa waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini, demi mempertahankan keaslian komentar saya tanpa menjadi komoditas infotainment yang seru bagi sebagian konsumennya, meskipun tidak selalu faktual dan cenderung menyesatkan.

Distorsi Pemberitaan di Media Gosip

Selama beberapa waktu terakhir, saya menyaksikan betapa tingginya distorsi pemberitaan yang terjadi di berbagai media tentang kasus ini.

Yang saya amati, kebenaran sesungguhnya menjadi terdistorsi karena: (1) pernyataan asli dipotong-potong dari kalimat yang utuh, menjadi berbeda artinya karena disajikan secara parsial, (2) pernyataan jujur menjadi bias karena ditambahi atau bahkan dibuat-buat media sehingga memojokkan pihak di luar proporsinya, (3) kisah yang disampaikan jujur dan benar tidak bisa dijual sehingga harus dibumbui agar menjadi berita yang fiktif dan penuh sensasi.

Dari mulai pernyataan yang tidak pernah dituturkan bisa tampil seolah-olah terjadi dialog antara narasumber, klarifikasi jujur yang tidak diterima sebagai pernyataan kebenaran, karena terkadang wartawan dan publik lebih suka mencari ‘sensasi’ ketimbang kebenaran, hingga muncul berbagai pelanggaran etika dan privasi yang menyebabkan stres yang lebih besar daripada keputusan dan proses perceraian itu sendiri bagi para pihak.

Apa yang saya tulis di blog ini bisa dipertahankan kemurniannya, karena meskipun barangkali tulisan ini akan diputarbalik lagi untuk memenuhi standar komoditas gosip, minimal publik setiap saat bisa mengakses blog ini dan melihat versi aslinya.

Bagi yang berminat pada kisah yang parsial, bias, fiktif penuh sensasi, silakan “beli” apa yang Anda cari di toko gosip langganan Anda, namun tulisan ini saya sajikan sebagai upaya untuk memberikan informasi yang lebih utuh, murni dan faktual.

Saya hanya bisa berpesan, jangan telan dan percaya bulat-bulat apa yang Anda baca, simak, tonton di media gosip. Tentunya percaya atau tidak adalah pilihan Anda, saya hanya sekadar menggarisbawahi bahwa banyak porsi pemberitaan yang disajikan bukanlah fakta apalagi kebenaran. Itulah kenyataan dunia pemberitaan figur publik, sebagai bisnis citra yang bisa laku karena menjadikan rumor sebagai komoditi, demi honor, rating dan oplah.

Komentar Saya Tentang Isu Pihak Ketiga

Dalam pertemuan pers yang dilakukan Dewi dan Marcell baru-baru ini, dari mulut mereka sendiri telah disampaikan bahwa tidak ada pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian mereka. Setelah pernyataan tersebut disampaikan, beberapa media sibuk mengutak-utik kebenaran dari pernyataan tersebut, termasuk kepada saya, yang diberitakan sebagai pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian tersebut.

Bersama ini, saya sebagai diri sendiri, maupun sebagai sahabat Dewi dan Marcell, serta sebagai pihak yang dituding, menyatakan sejauh pengetahuan saya, pernyataan Dewi dan Marcell tentang tidak adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, adalah benar. Sekali lagi, saya tegaskan bahwa rumor tentang adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, baik itu saya sendiri maupun pihak lain, adalah salah.

Saya sadar bahwa pernyataan ini bisa saja mengundang reaksi percaya maupun tidak percaya, dan rentang diantara rasa percaya dan tidak percaya ini menjadi ruang yang bisa dikomoditaskan kembali oleh ‘pedagang drama dan gosip’ di manapun mereka berada. Saya hanya bisa menyatakan kebenaran, percaya atau tidak kembali kepada pilihan masing-masing individu.

Bagi yang haus drama dan gosip, entah karena kisah ini memberikan nafkah bagi mereka yang berdagang rumor, atau karena kisah ini memberikan Anda kesempatan untuk berpaling dari kerumitan hidup Anda sendiri, silakan percaya apa yang ingin Anda yakini, silakan berikan cap yang ingin Anda sematkan. Bilamana gosip ini memberikan manfaat buat Anda, anggaplah itu kepedulian sosial saya yang merelakan diri untuk berperan menjadi objek kesimpangsiuran suasana.

Komentar Saya Tentang Perceraian

Saya sependapat dengan Dewi Lestari, sebagaimana pernyataan yang dia buat di tulisan “Catatan tentang Perpisahan” baru-baru ini dalam blog pribadinya dee-idea.blogspot.com.

Segala perpisahan, apakah itu perceraian, putus pacaran maupun kematian, pada hakikatnya yang paling sederhana, hanya bisa dicetuskan oleh penyebab yang paling mendasar: memang sudah waktunya. Ketika sudah waktunya berpisah, kita bisa meronta disertai dengan berbagai bumbu ‘gejala’, namun pertemuan dan perpisahan sebenarnya sama-sama kehendak Tuhan, sama-sama jalan takdir.

Tentang dampak negatif terhadap anak dan keutuhan jiwa para pihak, saya merasa kita perlu lebih jeli. Yang menimbulkan efek negatif bukanlah perpisahan itu sendiri, namun pertikaian dan ketidakjujuran hati dari para pihak yang terlibat.

Memang barangkali 95% perpisahan pernikahan bisa saja selalu disertai dengan pertikaian tersebut, sehingga kita lompat pada kesimpulan bahwa perceraian itu berdampak negatif, namun sesungguhnya bukan perceraian itu sendiri yang merusak jiwa, dan sepengetahuan saya, baik Dewi maupun Marcell menyadari betul hal ini.

Itu juga yang membawa saya pada poin bahwa ketika mereka bisa menjalani perpisahan ini dengan damai, tanpa bertikai dan jujur dengan hati masing-masing, memang ini sesuatu yang langka. Justru melalui kelangkaan “cerai damai” ini muncul harapan positif bahwa dalam keputusan mereka yang memilih untuk berpisah tanpa bertikai, mungkin efek negatif pada jiwa yang terlibat, termasuk Keenan, bisa diminimalkan ketimbang mempertahankan pernikahan yang dari luar terlihat manis, namun di dalamnya menyimpan pertikaian dan kepalsuan hati.

Bagi saya, bersatu dalam pernikahan tidak selamanya pasti baik, dan berpisah melalui perceraian tidak selamanya pasti buruk. Setiap pihak berhak punya pendapat sendiri tentang hal ini.

Menghargai Privasi, Pilihan dan Proses

Kepada teman-teman di media, saya meminta kerelaannya untuk menghargai privasi, pilihan dan proses yang saat ini sedang dilakoni para pihak yang terlibat. Saya bisa memahami bahwa Anda sedang menjalankan pekerjaan masing-masing dengan sebaik-baiknya, namun kami pun demikian. Pekerjaan saya sebagai terapis (praktisi penyembuhan holistik) menuntut adanya ketenangan yang setiap hari perlu kami sajikan bagi para klien kami. Mohon jangan desak saya untuk mengambil langkah lebih tegas dan akhirnya mengusik keharmonisan hubungan saya dengan pihak media selama ini.

Bersama ini saya tegaskan bahwa saya tidak bersedia untuk dihubungi, ditemui maupun diwawancara dalam format apa pun oleh media mana pun, hingga proses perpisahan kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell, selesai dengan tuntas.

Bagaimanapun juga, kita semua membuat pilihan dan keputusan berdasarkan apa yang kita yakini merupakan hal terbaik yang kita perlu tempuh.

Saya mencintai kejujuran dan keterbukaan, namun kasus ini bukanlah tentang hidup saya sendiri, namun hidup dan ketenteraman mereka. Saya hanya ingin menjaga itu agar keputusan mereka untuk berpisah, yang sebenarnya sudah merupakan pilihan besar dan proses berat, bisa dijalani dengan tenang, ikhlas dan selaras.

Semoga kebenaran sesungguhnya bisa menjadi jernih dan utuh, dan saya berdoa agar proses perpisahan mereka merupakan keputusan yang terbaik dan membawa kebahagiaan bagi para pihak yang terlibat.

UPDATE 5 SEPTEMBER 2008: CATATAN TERAKHIR

Dua hari yang lalu, 3 September 2008, proses perceraian kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell telah resmi tuntas. Begitu banyak hal yang terjadi selama beberapa minggu ini, saya hanya ingin memberikan catatan terakhir tentang masalah ini.

Saya sekadar memenuhi janji kepada beberapa pihak untuk memperjelas duduk situasi yang tidak bisa saya jelaskan sebelumnya, karena saya perlu melindungi beberapa kepentingan (seperti ketenangan klien kami di pusat terapi, kelancaran proses persidangan, maupun ketenangan hati para pihak yang terlibat langsung). Saya tidak mencari persetujuan, dukungan atau pembenaran dari siapapun, toh siapapun yang yang membaca inipun akan bisa punya pendapatnya sendiri.

1. Memang benar saya dan Dewi Lestari berada dalam sebuah hubungan cinta saat ini, namun bagi kami yang terlibat, ini bukanlah hubungan perselingkuhan (yang mana saya definisikan sebagai hubungan asmara yang terjadi antara 2 pihak, di mana salah satu atau keduanya sudah punya pasangan, dan hubungan asmara tersebut terjadi TANPA sepengetahuan atau restu dari pasangan resminya), berdasarkan kronologis faktual yang diketahui langsung oleh para pihak, sebagaimana berikut ini:

· Marcell dan Dewi memutuskan bulat untuk berpisah secara hukum di akhir 2007. Sebelumnya di akhir 2006, mereka sudah punya kesepakatan untuk mengikhlaskan satu sama lain bilamana menemukan seseorang yang dirasakan sesuai menjadi pendamping hidupnya.

· Tidak lama setelah keputusan berpisah tersebut, Marcell pun atas inisiatifnya sendiri kepada saya menyampaikan itikad baiknya untuk tetap menjalin keharmonisan antar pihak, dan juga Marcell menyampaikan kepada saya langsung keikhlasannya, dengan membuka jalan bagi saya untuk memulai hubungan lebih lanjut dengan Dewi.

· Perubahan hubungan dari sahabat dekat menjadi hubungan cinta, baru terjadi beberapa bulan setelah keputusan berpisah secara hukum tersebut, dan setelah terjadi komunikasi langsung antara Marcell dan saya sebagaimana dijelaskan diatas.

· Itulah yang membuat saya memberikan pernyataan di bulan Juli 2008, yang memuat konfirmasi saya bahwa memang tidak ada pihak ketiga yang menjadi PENYEBAB perceraian mereka. Mereka sudah memutuskan untuk bercerai, kemudian baru memutuskan untuk merestui satu sama lain dalam membina hubungan baru dengan pasangan masing-masing. Hubungan cinta antara saya dan Dewi Lestari, adalah AKIBAT dari perceraian mereka.

2. Dewi Lestari tidak pernah menjadi pasien saya di klinik penyembuhan holistik yang saya jalankan. Pengertian pasien di sini adalah individu yang memutuskan untuk mengikuti terapi individual, di mana saya selaku terapis punya kode etik pribadi dan profesional. Kode etik ini memberikan pembatasan kepada saya sebagai terapis, di mana seorang terapis tidak diperbolehkan bersosialisasi (makan siang, ngopi sore, jalan-jalan, dsb) dengan pasien, selama pasien tersebut masih menjalani terapi.

Keterlibatan Dewi dalam dunia penyembuhan holistik selama ini bukanlah sebagai pasien saya, sebagaimana yang secara meleset disebutkan di beberapa forum dan media, namun sebagai peserta pelatihan / workshop berkelompok yang kami adakan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan cinta saya dengan Dewi tidak melanggar kode etik terapis yang selama ini saya jalankan bagi setiap pasien kami.

Demikian klarifikasi final dari saya, yang sekaligus menjadi catatan terakhir tentang kehidupan pribadi saya di blog ini. Terimakasih atas semua pihak yang telah meletakkan perhatiannya pada episode ini, mari kita bersama melanjutkan hidup dengan langkah yang jernih. Read More ..

Menunggu Bimbang Berlalu

Pernahkah Anda merasa bingung, bimbang dan ragu-ragu ketika menghadapi suatu masalah? Atau memilih suatu keputusan yang penting? Atau menunggu lahirnya solusi dari problem yang rumit?

Mencintai hidup tidaklah selalu mudah, terutama ketika kita sedang terbebani oleh berbagai masalah. Waktu kita dihadapkan pada tertundanya penyelesaian suatu masalah, rasa bimbang dan ragu muncul dalam diri. Rasa ini terasa tidak nyaman untuk dipikul, sehingga kita ingin mengusirnya, menghilangkannya, mengubahnya. Dan dalam kepala kita, satu-satunya cara untuk mengakhiri rasa bimbang dan ragu itu adalah dengan menyelesaikan situasi yang sedang kita permasalahkan.

Namun dalam kenyataannya, situasi hidup yang kita hadapi, tidak selalu bisa terselesaikan tuntas dalam waktu yang singkat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi siapnya solusi dan tuntasnya situasi. Dan, faktanya, tidak semua faktor, terutama yang berhubungan dengan orang lain, bisa kita kendalikan secara absolut. Inilah yang kemudian menjadi lahan gembur untuk lahirnya stres. Kita ingin bebas dari stres dengan cara segera tuntas dari masalah, tapi masalah tak kunjung selesai karena ada hal-hal di luar kuasa kita yang belum bisa berubah sesuai harapan.

Kalau memang demikian, adakah cara lain untuk mengobati rasa bimbang dan ragu yang tidak nyaman ini? Bisakah kita memahami lebih baik tentang timbul tenggelamnya masalah dalam hidup ini, sehingga meskipun tidaklah realistis untuk hidup bebas masalah sama sekali, minimal kita bisa menjalani dan menghadapinya lebih ringan dan selaras?

Perlunya Fase Bimbang, Bingung, dan Ragu


Kalau kita memerhatikan alam dan kehidupan ini, sebenarnya ada suatu pola kekacauan yang selalu terjadi sebelum perubahan dan pertumbuhan. Dalam ilmu fisika kuantum, hal ini disebut ‘chaos principle’. Prinsip chaos bilang bahwa setiap hal perlu menjadi kacau, berantakan dan tidak beraturan, sebelum hal tersebut bisa menyusun kembali dirinya sendiri dalam tatanan yang lebih matang, lebih maju dan lebih baik.

Kita bisa mengamati prinsip chaos ini dalam setiap aspek kehidupan. Sebelum musim semi, harus ada musim gugur terlebih dahulu. Bila Anda sedang berniat membereskan rumah, pasti dalam prosesnya rumah Anda akan sejenak lebih berantakan daripada sebelum dirapihkan, sebelum akhirnya menjadi lebih rapi dan apik.

Pada kesehatan anak, dia perlu mengalami sakit dan infeksi sebelum kekebalan tubuhnya menjadi semakin kuat ketika dia pulih. Vaksinasi pun bekerja dengan cara ‘menghancurkan’ kekebalan tubuh untuk sementara, sehingga ketika tubuh memulihkan diri, lahirlah antibodi baru yang sebelumnya tidak tersedia.

Pada skala yang lebih besar, suatu negara pun membutuhkan kekacauan untuk bisa tumbuh. Ketika kekacauan muncul dalam intensitas kecil, kita sebut itu evolusi. Jika kekacauannya besar, kita sebut itu revolusi. Semua kekacauan tersebut adalah prasyarat untuk lahirnya kondisi baru, kematangan baru dan kesempatan baru.

Pada tingkat yang paling pribadi dan dekat di hati kita, cobalah lihat kembali setiap kemajuan dan pertumbuhan yang kita nikmati dalam hidup kita sendiri. Bukanlah selalu bisa kita temukan momen-momen bingung, bimbang dan ragu sebelum mengambil langkah, pilihan dan keputusan yang sekarang hasilnya kita nikmati? Dan ingatkah betapa kita kerapkali berharap bahwa hidup ini bebas dari bingung, bimbang dan ragu, tapi sungguh tidak mungkin seperti itu?

Barangkali inilah yang bisa membantu kita semua: sadarilah bahwa tahapan kita merasa bingung, bimbang dan ragu itu sangatlah PERLU. Semakin cepat kita bisa menyambut dan menerima ‘perlunya’ tahapan yang tidak nyaman ini, semakin lancar pula tuntasnya masalah.

Memperpanjang Rasa Tidak Nyaman Tidaklah Perlu

Meskipun kekacauan diperlukan, bukan berarti rasa tidak nyaman akibat kekacauan perlu ada. Dari mana sebenarnya rasa tidak nyaman ini muncul ketika situasi hidup sedang kacau? Jawabannya hanya satu: penolakan kita terhadap kekacauan. Kita tidak memberikan ruang, izin dan kesempatan untuk hadirnya kekacauan, sehingga ketika kekacauan muncul, kita berjuang setengah mati untuk mengusirnya, dan inilah yang merintis stres dan rasa tidak nyaman.

Stres memang fenomena ajaib. Stres mampu mengubah rentang waktu menjadi elastis. Tentu kita semua ingat betapa momen-momen menyenangkan dalam hidup terasa berlalu begitu cepat, serta betapa momen yang tidak menyenangkan serta membosankan terasa berjalan begitu lambat dan tidak kunjung habis.

Persepsi kita tentang berjalannya waktu ternyata tidak pernah objektif. Bagaimana ini bisa dijelaskan? Prinsip emas inilah kuncinya: apa pun yang kita ingin tolak, ingin ubah, ingin usir, ingin hilangkan, justru hal tersebut akan menjadi awet, langgeng dan bertahan. What you resist, persists. Sedangkan apa pun yang kita izinkan, rasakan, amati dengan hening tanpa reaksi, justru akan menjadi pudar dan tuntas.

Jadi, ketika bingung, bimbang dan ragu muncul, ingatlah prinsip emas tersebut. Membenci dan mengusir rasa tidak nyaman, hanya akan berakibat bertambahnya ‘bensin’ dari rasa tersebut sehingga semakin lama pula kita alami. Belajarlah untuk tidak menolaknya, justru amati, sadari dan rasakan.

Tinggal Menunggu Mangga Jatuh

Mengharapkan munculnya solusi dan tuntasnya masalah sebenarnya bagaikan menunggu mangga jatuh sendiri dari pohonnya. Bila mangga tersebut belum matang, memetik sebelum waktunya akan membuat kita memperoleh rasa buah yang masam.

Sementara itu, biasanya ketika kita sedang mendesak tuntasnya masalah kita, kita justru sibuk berpikir terlalu banyak, menganalisa tanpa henti secara berlebihan, berusaha memilah-milah benar dan salah, menimbang baik dan buruk, seolah-olah itu mampu mempercepat ‘matangnya mangga’ berjudul masalah.

Baru-baru ini saya bercakap-cakap dengan salah seorang klien saya yang sedang bimbang di persimpangan keputusan. Dia tidak menyadari bahwa bimbang itu perlu, dan seandainya dia izinkan dirinya untuk menunggu, ketimbang berusaha mengatasi masalah secara tergesa, tentunya dia bisa menjalani proses lebih rileks.

Padahal setelah dia mengingat kembali, sebenarnya dalam setiap momen hidupnya, bingung selalu hadir sebelum kejernihan. Setelah sekian lama bergulat dengan keraguan, tiba-tiba suatu hari muncullah kesiapan untuk melangkah. Kesiapan tersebut bisa saja berbentuk kondisi eksternal. Misalnya, mau tidak mau sudah harus melangkah karena tiba di batas waktu tertentu, atau karena kondisi internal, misalnya tiba-tiba saja hatinya bulat dan jernih untuk memutuskan. Inilah yang saya sebut dengan saatnya ‘mangga jatuh’ dan kita tinggal siap, sadar dan menangkapnya.

Terkadang memang ketika kita sedang bingung, bimbang dan ragu, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah diam, hening dan menunggu sambil mengamati. Ketika kita mulai menerima perlunya kekacauan dalam hidup, kita mulai mempersiapkan ‘ruang’ dan ‘izin’ bagi kehadirannya. Di situlah kedamaian mulai tersedia bagi kita semua. Bernapaslah, nikmati proses menunggu kekacauan, dan waspadalah untuk menunggu ‘mangga’ Anda matang alami dan jatuh dengan sendirinya.

Published, EVE Magazine, Juni 2008. Read More ..

Friday, May 09, 2008

Menahan Diri, Menghidupkan Hati

Setiap tahun, ketika memasuki suasana berpuasa, saya merenungkan makna dan relevansinya. Demi kejujuran, terkadang saya mengikuti serunya sahur, dan merayakan nikmatnya berbuka puasa. Namun ada kalanya saya juga bertanya tentang apa perlunya melatih diri selama 30 hari ini. Mengapa dalam sebelas bulan lainnya saya tidak selalu tergerak untuk mengasah kemurnian diri? Kok, saya merasa lebih sering sekadar mengikuti arus ketimbang melatih diri dengan sadar?

Ini bukan masalah ketaatan atau kepatuhan. Saya hanya merasa, pada usia dewasa manusia perlu berevolusi dari sekadar keyakinan yang “dituangkan” pada saat masih kecil dan belum bisa menentukan pilihan, menjadi individu yang mampu melihat dengan jernih tujuan dan pilihan hidupnya, termasuk meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan yang bersifat tradisi atau ritual agar esensinya tidak hilang.

Dalam perjalanan hidup selama ini, saya cenderung universalis, yang memandang bahwa kebenaran hidup bisa diperoleh di mana pun. Dan itu membuat saya memberanikan diri untuk mengintip berbagai tradisi, budaya, dan agama di dunia.

Saya sangat takjub ketika menemukan bahwa dalam setiap ajaran yang saya telaah, selalu saya temukan suatu bentuk latihan menahan diri, dari mulai menahan lapar, menahan emosi, menahan nafsu, hingga menahan untuk tidak menilai suatu situasi atau orang lain. Memang, judul, bungkus, dan tujuannya berbeda-beda, tapi bentuk latihan ini bisa ditemukan dalam setiap suasana hidup.

Padahal, tidak jarang juga terlintas di benak saya, “Hidup pada zaman ini kan sudah penuh masalah, mengapa kita perlu dengan sengaja membuatnya lebih susah dengan menahan diri?”

Saya jadi mulai menelusuri segala macam hal yang biasanya perlu ditahan. Nafsu makan, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu untuk menguasai. Semua ini muncul dalam batin. Batin kita bereaksi akibat pasokan informasi yang mampir lewat panca indra kita. Dengan kata lain, ketika panca indra berhenti memberikan informasi, maka kita pun tidak punya dorongan untuk merasakan apalagi memenuhi “nafsu”.

Masih ingat cerita pahlawan Daredevil, superhero pembela kebenaran yang begitu gesit dan tangguh, padahal sebenarnya buta? Sudah menjadi hukum alam, ketika informasi di salah satu panca indra terhenti, maka semua indra lainnya secara alamiah menjadi lebih peka, lebih mampu menangkap getaran halus yang biasanya tidak diperhatikan.

Barangkali inilah yang terjadi ketika seseorang melatih menahan diri. Dengan memperlambat pemenuhan nafsu yang biasanya dituruti dengan seketika, barulah kita bisa melihat lebih jernih batas antara nafsu dan kebutuhan. Kita lebih menghargai beragam berkah hidup yang sebelumnya mungkin kurang disyukuri. Rasa syukur ini tumbuh dari satu hal, yaitu bertambah pekanya hati.

Ya, memang kalau ditelusuri barulah kita sadar bahwa meskipun mata bisa melihat, hatilah yang mengapresiasi apa yang dilihat. Meski lidah kita mengecap, hati jugalah yang menikmati apa yang dikecap. Meskipun telinga kita mendengar, hati kitalah yang terbuai oleh keindahan bunyi, suara dan musik. Panca indra hanya menangkap informasi. Pada akhirnya kepekaan rasalah yang memungkinkan kita untuk menuai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari informasi tersebut.

Proses perenungan panjang ini melahirkan suatu kesadaran dalam diri saya, bahwa hidup bukanlah tergantung dari apa yang terjadi, apa yang kita inginkan maupun apa yang kita dapatkan dari kehidupan ini. Hidup ini tergantung dari bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menari dengan perubahannya.

Bagi saya, tanpa hati yang hidup, peka dan terbuka, tidaklah mungkin kita menjadi manusia yang mengerti, menikmati dan mensyukuri. Dan jika melatih untuk mengelola berbagai nafsu dalam diri memang jalan menuju hidupnya hati, saya merasa ada suatu urgensi untuk “berpuasa” setiap saat, setiap momen. Sudahkah Anda menghirup napas, berhenti sejenak dan menghidupkan hati Anda pada hari ini? Dalam jeda-jeda sederhana seperti inilah, saya menemukan hidup yang sebenarnya, dan saya berharap untuk bertemu Anda di sana.

Published, EVE Magazine, September 2007. Read More ..

ABC: Acceptance–Before–Change

Dari beragam kompleksitas peristiwa, situasi, masalah dalam kehidupan kita, maukah Anda berkenalan dengan dua elemen yang senantiasa hadir dan berdansa satu sama lain, sepanjang hidup Anda? Kedua hal ini bagaikan mitra abadi yang bernama ‘perubahan’ dan ‘penerimaan’.

Kita semua tentu pernah mengalami masalah karier, masalah rezeki, masalah percintaan, masalah kesehatan (penyakit) serta segala masalah hidup. Tentunya dalam setiap masalah, mencari perbedaan adalah mudah, karena dalam setiap jenis masalah di atas pastinya situasi dan pihak yang terlibat berbeda.

Teka-teki besarnya sekarang adalah, apakah Anda bisa menemukan satu hal tunggal yang mengawali dan juga mengakhiri setiap masalah? Sebagai petunjuk tambahan, hal tunggal itu merupakan hal yang sama untuk setiap jenis masalah di atas. Renungkan baik-baik. Karena memahami hal ini menjadi kunci Anda untuk menyelesaikan masalah apa pun.

Petunjuk baru lagi buat Anda, meskipun zaman sudah berkembang dan kompleksitas kehidupan manusia juga terus berganti, hal tunggal ini senantiasa menjadi awal dan akhir setiap masalah, tanpa terkecuali, dan ada sejak awal sejarah manusia hingga sekarang.

Bisakah Anda menemukannya?

Jawabannya adalah PERUBAHAN.

Setiap masalah yang lahir, selalu diawali dengan “kondisi yang dapat diterima”, yang tiba-tiba atau berangsur-angsur BERUBAH menjadi “kondisi yang tidak dapat diterima”. Setiap selesainya atau tuntasnya suatu masalah, selalu ditandai dengan pergerakan dari “kondisi yang tidak dapat diterima” menjadi “kondisi yang dapat diterima”.

Siklus Kehidupan yang Pasti Terjadi


Dengan kata lain, siklus hidup selalu berputar antara: (1) kondisi MENERIMA kenyataan, (2) terjadi PERUBAHAN, (3) kondisi TIDAK MENERIMA kenyataan, (4) terjadi PERUBAHAN, (5) kondisi MENERIMA kenyataan, (6) terjadi PERUBAHAN, dan seterusnya berulang terus hingga kehidupan ini usai. Kisah, situasi, peristiwa, dan pemerannya bisa berganti 1001 kali, tapi siklusnya tetap akan berulang seperti yang dijabarkan.

Contohnya, seorang wanita yang muda, cantik dan cerdas tiba dalam situasi hidup yang penuh sukses dan persahabatan. Tentunya ini kenyataan yang tidak sulit untuk diterima. Suatu saat, jika penampilan fisiknya berubah, atau kariernya mengalami suatu krisis, maka perubahan ini cenderung menjadi kenyataan yang lebih sulit untuk diterima. Melalui proses, upaya, doa, dan dinamika, di suatu titik dia pun akan bisa menerima kenyataan dan berdamai kembali. Namun kehidupan tidak berhenti di sini, dan tentu masih akan ada serangkaian perubahan berikutnya yang silih berganti membawanya dari kondisi “terima” menuju “tidak terima”, dan seterusnya.

Contoh lain adalah kondisi jiwa seseorang yang menjadi korban bencana alam. Dari kondisi “terima” di mana hidup baik-baik saja, tiba-tiba terjadi perubahan bencana alam yang kemudian mengakibatkan kondisi yang sulit diterima karena mungkin dia kehilangan hartanya paling berharga. Namun pada saatnya, dia kembali akan berdamai dengan kenyataan, untuk sementara waktu hingga muncul perubahan baru yang akan hadir.

Benang Merah: ‘Perubahan’ dan ‘Penerimaan’

Dalam siklus yang saya ceritakan di atas, tidaklah sulit untuk memahami bahwa hidup ini adalah dansa yang silih berganti antara perubahan dan penerimaan. Di dalam dansa abadi ini, terseliplah pengalaman rasa yang kita sebut stres, sedih, susah, bahagia, lega, kuatir, takut, cemas, sesal, damai, dll.

Pertama, marilah kita tengok mitra dansa pertama yang bernama ‘perubahan’. Perubahan adalah bagian paling alami dalam hidup. Ada datang, ada pergi. Ada untung, ada sial. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada sehat, ada sakit. Ada senang, ada sedih. Ada lega, ada beban. Ada hidup, ada mati. Tidak ada satu orang pun, termasuk orang suci sekalipun, yang bisa terbebas dari dualitas ini serta perubahan yang senantiasa terjadi.

Memang sangat wajar jika kita ingin menumpuk sehat, senang, untung, dan ingin menampik sakit, sedih dan sial. Namun kebijaksanaan jiwa sejati hanya bisa tumbuh ketika kita mengerti dan menerima bahwa kedua sisi tersebut pasti akan hadir, tidak bisa dicegah, tidak bisa dipertahankan, karena kekuatan perubahan akan selalu mengayunkan nasib kita dari satu sisi ke sisi lainnya bagaikan bandul kehidupan.

Seperti pepatah yang mengatakan “satu-satunya yang pasti dalam hidup adalah perubahan”, maka kalau kita ingin lebih mengalir dalam hidup, kuncinya adalah MENERIMA bahwa perubahan itu selalu ada, dan perubahan tersebut bisa saja berubah ke arah mana pun, kapan pun juga. Semakin cepat kita mengerti dan menerima ini, maka semakin mudah kita “mengalir” dengan hidup.

Melatih Otot Menerima

Ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan tidak bisa kita atur-atur, atau kita kendalikan sesuai dengan kehendak dan kepentingan kita, maka kita mulai menengok ke dalam. Mencari jalan keluar dengan memperbaiki situasi di luar memang rasanya ideal, tapi tidak selalu mungkin karena situasi di luar bergantung pada banyak faktor.

Jadi, bagaimana jalan keluar dari berbagai masalah? Jalan ‘keluar’-nya adalah melangkah ‘ke dalam’. Ingat, situasi di luar tidak selalu bisa kita kendalikan. Namun menerima dan tidak menerima adalah sebuah pilihan yang kita semua miliki. Memang benar bahwa menerima bukan selalu mudah, tapi merupakan jalan keluar yang selalu realistis.

Usaha: Perlu atau Tidak?


Kalau sudah tiba pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah pilihan antara menerima atau tidak menerima, pertanyaan alamiah selanjutnya adalah apakah usaha masih diperlukan dalam hidup? Ini barangkali merupakan suatu perenungan yang paling kontroversial.

Di satu sisi, kita punya “sistem keyakinan” yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa memperoleh apa yang kita inginkan, atau mengatasi suatu masalah, atau mengubah keadaan kalau tidak berusaha dan berupaya. Namun kita pun juga punya bukti nyata bahwa terkadang usaha pun tidak membawa perubahan hasil dan kenyataan.

Di lain sisi, ada juga yang meyakini bahwa takdir, kehendak alam dan/atau Tuhan, serta karmalah yang menentukan kenyataan. Jadi, meskipun kita berusaha, hasilnya tidak tergantung dari usaha tersebut semata. Dan lahir pulalah sikap hidup yang ingin pasrah total, sekaligus meniadakan upaya.

Terus terang, saya tidak anti pada konsep usaha dan upaya. Namun saya juga merasa bahwa kadang usaha, apalagi sampai ngoyo’, yang tidak diimbangi dengan keikhlasan dan kepasrahan, seringkali membawa rasa frustrasi dan kepedihan.

Usaha Dahulu atau Menerima Dahulu?


Jalan keluar yang paling lazim kita tempuh ketika ingin mengubah kenyataan atau menyelesaikan suatu masalah adalah pertama-tama berusaha maksimal untuk menciptakan perubahan situasi dan menerima hasil akhirnya—baik menerima dengan ikhlas maupun terpaksa.

Namun, mengingat bahwa kenyataan tidak semata-mata tergantung pada usaha kita, ada jalan lain yang tidak selalu lazim. Ini jalan yang saya sebut “ABC”. Singkatan dari “Acceptance Before Change”.

Jalan ini adalah ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan pasti terjadi, dengan maupun tanpa usaha. Langkah pertamanya adalah menerima tanpa syarat apa pun kenyataan yang ada saat ini, apa pun perilaku dan sikap orang yang terlibat saat ini, apa pun pikiran dan perasaan kita saat ini. Apa pun perubahan yang hadir setelah kita sudah bisa menerima, jauh lebih mudah untuk menyambutnya dengan pikiran jernih dan hati yang lapang.

Saya harus mengakui bahwa ini bukan jalan pikiran yang umum. Namun bagi mereka yang sudah pernah mengalami obat ABC ini dalam hidupnya, mereka juga pernah menyaksikan betapa ajaibnya situasi bisa berubah, ketika masalah yang sedang dihadapi diterima sepenuh hati.

Saya sendiri sudah pernah melihat penyakit fisik yang berat, masalah hubungan cinta yang sudah parah, hingga kesulitan rezeki, bisa berbalik secara ajaib ketika hati sudah mencapai titik ikhlas menerima total keadaan. Ini sungguh sulit untuk ditulis. Anda perlu keberanian untuk mengalaminya sendiri.

Langkah Pertama dan Terakhir untuk Bahagia


Barangkali buah pikiran terakhir yang saya sadari tentang betapa pentingnya kita menerima segala sesuatu yang ada saat ini, sebelum perubahan bisa terjadi, adalah berikut ini: jika kita mencoba untuk mengubah diri, masalah maupun situasi melalui berbagai daya upaya, tanpa kita terlebih dahulu menerima diri sendiri apa adanya, maka meskipun situasi tersebut berhasil kita ubah, kita tidak akan pernah puas, tidak akan pernah damai, apalagi bahagia.

Dahulu, saya pikir kebahagiaan adalah mencapai apa yang saya inginkan. Namun sekarang saya melihat bahwa kebahagiaan adalah ketika tidak ada perselisihan antara keinginan dan kenyataan. Karena kenyataan tidak bisa saya kendalikan sepenuhnya, maka mengelola keinginan menjadi kunci saya untuk bahagia. Dan kunci tersebut bernama: menerima sepenuh hati.

Pilihan dan upaya tidak menghasilkan kenyataan hidup saat ini. Pilihan dan upaya adalah “permainan” yang kita perlu lakukan demi tiba pada kesiapan untuk menerima dan berserah total pada takdir, hidup, dan Tuhan.

Selamat bermain dan berdansa, para sahabatku.

Published, EVE Magazine, Maret 2008. Read More ..