Friday, May 09, 2008

Menahan Diri, Menghidupkan Hati

Setiap tahun, ketika memasuki suasana berpuasa, saya merenungkan makna dan relevansinya. Demi kejujuran, terkadang saya mengikuti serunya sahur, dan merayakan nikmatnya berbuka puasa. Namun ada kalanya saya juga bertanya tentang apa perlunya melatih diri selama 30 hari ini. Mengapa dalam sebelas bulan lainnya saya tidak selalu tergerak untuk mengasah kemurnian diri? Kok, saya merasa lebih sering sekadar mengikuti arus ketimbang melatih diri dengan sadar?

Ini bukan masalah ketaatan atau kepatuhan. Saya hanya merasa, pada usia dewasa manusia perlu berevolusi dari sekadar keyakinan yang “dituangkan” pada saat masih kecil dan belum bisa menentukan pilihan, menjadi individu yang mampu melihat dengan jernih tujuan dan pilihan hidupnya, termasuk meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan yang bersifat tradisi atau ritual agar esensinya tidak hilang.

Dalam perjalanan hidup selama ini, saya cenderung universalis, yang memandang bahwa kebenaran hidup bisa diperoleh di mana pun. Dan itu membuat saya memberanikan diri untuk mengintip berbagai tradisi, budaya, dan agama di dunia.

Saya sangat takjub ketika menemukan bahwa dalam setiap ajaran yang saya telaah, selalu saya temukan suatu bentuk latihan menahan diri, dari mulai menahan lapar, menahan emosi, menahan nafsu, hingga menahan untuk tidak menilai suatu situasi atau orang lain. Memang, judul, bungkus, dan tujuannya berbeda-beda, tapi bentuk latihan ini bisa ditemukan dalam setiap suasana hidup.

Padahal, tidak jarang juga terlintas di benak saya, “Hidup pada zaman ini kan sudah penuh masalah, mengapa kita perlu dengan sengaja membuatnya lebih susah dengan menahan diri?”

Saya jadi mulai menelusuri segala macam hal yang biasanya perlu ditahan. Nafsu makan, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu untuk menguasai. Semua ini muncul dalam batin. Batin kita bereaksi akibat pasokan informasi yang mampir lewat panca indra kita. Dengan kata lain, ketika panca indra berhenti memberikan informasi, maka kita pun tidak punya dorongan untuk merasakan apalagi memenuhi “nafsu”.

Masih ingat cerita pahlawan Daredevil, superhero pembela kebenaran yang begitu gesit dan tangguh, padahal sebenarnya buta? Sudah menjadi hukum alam, ketika informasi di salah satu panca indra terhenti, maka semua indra lainnya secara alamiah menjadi lebih peka, lebih mampu menangkap getaran halus yang biasanya tidak diperhatikan.

Barangkali inilah yang terjadi ketika seseorang melatih menahan diri. Dengan memperlambat pemenuhan nafsu yang biasanya dituruti dengan seketika, barulah kita bisa melihat lebih jernih batas antara nafsu dan kebutuhan. Kita lebih menghargai beragam berkah hidup yang sebelumnya mungkin kurang disyukuri. Rasa syukur ini tumbuh dari satu hal, yaitu bertambah pekanya hati.

Ya, memang kalau ditelusuri barulah kita sadar bahwa meskipun mata bisa melihat, hatilah yang mengapresiasi apa yang dilihat. Meski lidah kita mengecap, hati jugalah yang menikmati apa yang dikecap. Meskipun telinga kita mendengar, hati kitalah yang terbuai oleh keindahan bunyi, suara dan musik. Panca indra hanya menangkap informasi. Pada akhirnya kepekaan rasalah yang memungkinkan kita untuk menuai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari informasi tersebut.

Proses perenungan panjang ini melahirkan suatu kesadaran dalam diri saya, bahwa hidup bukanlah tergantung dari apa yang terjadi, apa yang kita inginkan maupun apa yang kita dapatkan dari kehidupan ini. Hidup ini tergantung dari bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menari dengan perubahannya.

Bagi saya, tanpa hati yang hidup, peka dan terbuka, tidaklah mungkin kita menjadi manusia yang mengerti, menikmati dan mensyukuri. Dan jika melatih untuk mengelola berbagai nafsu dalam diri memang jalan menuju hidupnya hati, saya merasa ada suatu urgensi untuk “berpuasa” setiap saat, setiap momen. Sudahkah Anda menghirup napas, berhenti sejenak dan menghidupkan hati Anda pada hari ini? Dalam jeda-jeda sederhana seperti inilah, saya menemukan hidup yang sebenarnya, dan saya berharap untuk bertemu Anda di sana.

Published, EVE Magazine, September 2007. Read More ..

ABC: Acceptance–Before–Change

Dari beragam kompleksitas peristiwa, situasi, masalah dalam kehidupan kita, maukah Anda berkenalan dengan dua elemen yang senantiasa hadir dan berdansa satu sama lain, sepanjang hidup Anda? Kedua hal ini bagaikan mitra abadi yang bernama ‘perubahan’ dan ‘penerimaan’.

Kita semua tentu pernah mengalami masalah karier, masalah rezeki, masalah percintaan, masalah kesehatan (penyakit) serta segala masalah hidup. Tentunya dalam setiap masalah, mencari perbedaan adalah mudah, karena dalam setiap jenis masalah di atas pastinya situasi dan pihak yang terlibat berbeda.

Teka-teki besarnya sekarang adalah, apakah Anda bisa menemukan satu hal tunggal yang mengawali dan juga mengakhiri setiap masalah? Sebagai petunjuk tambahan, hal tunggal itu merupakan hal yang sama untuk setiap jenis masalah di atas. Renungkan baik-baik. Karena memahami hal ini menjadi kunci Anda untuk menyelesaikan masalah apa pun.

Petunjuk baru lagi buat Anda, meskipun zaman sudah berkembang dan kompleksitas kehidupan manusia juga terus berganti, hal tunggal ini senantiasa menjadi awal dan akhir setiap masalah, tanpa terkecuali, dan ada sejak awal sejarah manusia hingga sekarang.

Bisakah Anda menemukannya?

Jawabannya adalah PERUBAHAN.

Setiap masalah yang lahir, selalu diawali dengan “kondisi yang dapat diterima”, yang tiba-tiba atau berangsur-angsur BERUBAH menjadi “kondisi yang tidak dapat diterima”. Setiap selesainya atau tuntasnya suatu masalah, selalu ditandai dengan pergerakan dari “kondisi yang tidak dapat diterima” menjadi “kondisi yang dapat diterima”.

Siklus Kehidupan yang Pasti Terjadi


Dengan kata lain, siklus hidup selalu berputar antara: (1) kondisi MENERIMA kenyataan, (2) terjadi PERUBAHAN, (3) kondisi TIDAK MENERIMA kenyataan, (4) terjadi PERUBAHAN, (5) kondisi MENERIMA kenyataan, (6) terjadi PERUBAHAN, dan seterusnya berulang terus hingga kehidupan ini usai. Kisah, situasi, peristiwa, dan pemerannya bisa berganti 1001 kali, tapi siklusnya tetap akan berulang seperti yang dijabarkan.

Contohnya, seorang wanita yang muda, cantik dan cerdas tiba dalam situasi hidup yang penuh sukses dan persahabatan. Tentunya ini kenyataan yang tidak sulit untuk diterima. Suatu saat, jika penampilan fisiknya berubah, atau kariernya mengalami suatu krisis, maka perubahan ini cenderung menjadi kenyataan yang lebih sulit untuk diterima. Melalui proses, upaya, doa, dan dinamika, di suatu titik dia pun akan bisa menerima kenyataan dan berdamai kembali. Namun kehidupan tidak berhenti di sini, dan tentu masih akan ada serangkaian perubahan berikutnya yang silih berganti membawanya dari kondisi “terima” menuju “tidak terima”, dan seterusnya.

Contoh lain adalah kondisi jiwa seseorang yang menjadi korban bencana alam. Dari kondisi “terima” di mana hidup baik-baik saja, tiba-tiba terjadi perubahan bencana alam yang kemudian mengakibatkan kondisi yang sulit diterima karena mungkin dia kehilangan hartanya paling berharga. Namun pada saatnya, dia kembali akan berdamai dengan kenyataan, untuk sementara waktu hingga muncul perubahan baru yang akan hadir.

Benang Merah: ‘Perubahan’ dan ‘Penerimaan’

Dalam siklus yang saya ceritakan di atas, tidaklah sulit untuk memahami bahwa hidup ini adalah dansa yang silih berganti antara perubahan dan penerimaan. Di dalam dansa abadi ini, terseliplah pengalaman rasa yang kita sebut stres, sedih, susah, bahagia, lega, kuatir, takut, cemas, sesal, damai, dll.

Pertama, marilah kita tengok mitra dansa pertama yang bernama ‘perubahan’. Perubahan adalah bagian paling alami dalam hidup. Ada datang, ada pergi. Ada untung, ada sial. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada sehat, ada sakit. Ada senang, ada sedih. Ada lega, ada beban. Ada hidup, ada mati. Tidak ada satu orang pun, termasuk orang suci sekalipun, yang bisa terbebas dari dualitas ini serta perubahan yang senantiasa terjadi.

Memang sangat wajar jika kita ingin menumpuk sehat, senang, untung, dan ingin menampik sakit, sedih dan sial. Namun kebijaksanaan jiwa sejati hanya bisa tumbuh ketika kita mengerti dan menerima bahwa kedua sisi tersebut pasti akan hadir, tidak bisa dicegah, tidak bisa dipertahankan, karena kekuatan perubahan akan selalu mengayunkan nasib kita dari satu sisi ke sisi lainnya bagaikan bandul kehidupan.

Seperti pepatah yang mengatakan “satu-satunya yang pasti dalam hidup adalah perubahan”, maka kalau kita ingin lebih mengalir dalam hidup, kuncinya adalah MENERIMA bahwa perubahan itu selalu ada, dan perubahan tersebut bisa saja berubah ke arah mana pun, kapan pun juga. Semakin cepat kita mengerti dan menerima ini, maka semakin mudah kita “mengalir” dengan hidup.

Melatih Otot Menerima

Ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan tidak bisa kita atur-atur, atau kita kendalikan sesuai dengan kehendak dan kepentingan kita, maka kita mulai menengok ke dalam. Mencari jalan keluar dengan memperbaiki situasi di luar memang rasanya ideal, tapi tidak selalu mungkin karena situasi di luar bergantung pada banyak faktor.

Jadi, bagaimana jalan keluar dari berbagai masalah? Jalan ‘keluar’-nya adalah melangkah ‘ke dalam’. Ingat, situasi di luar tidak selalu bisa kita kendalikan. Namun menerima dan tidak menerima adalah sebuah pilihan yang kita semua miliki. Memang benar bahwa menerima bukan selalu mudah, tapi merupakan jalan keluar yang selalu realistis.

Usaha: Perlu atau Tidak?


Kalau sudah tiba pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah pilihan antara menerima atau tidak menerima, pertanyaan alamiah selanjutnya adalah apakah usaha masih diperlukan dalam hidup? Ini barangkali merupakan suatu perenungan yang paling kontroversial.

Di satu sisi, kita punya “sistem keyakinan” yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa memperoleh apa yang kita inginkan, atau mengatasi suatu masalah, atau mengubah keadaan kalau tidak berusaha dan berupaya. Namun kita pun juga punya bukti nyata bahwa terkadang usaha pun tidak membawa perubahan hasil dan kenyataan.

Di lain sisi, ada juga yang meyakini bahwa takdir, kehendak alam dan/atau Tuhan, serta karmalah yang menentukan kenyataan. Jadi, meskipun kita berusaha, hasilnya tidak tergantung dari usaha tersebut semata. Dan lahir pulalah sikap hidup yang ingin pasrah total, sekaligus meniadakan upaya.

Terus terang, saya tidak anti pada konsep usaha dan upaya. Namun saya juga merasa bahwa kadang usaha, apalagi sampai ngoyo’, yang tidak diimbangi dengan keikhlasan dan kepasrahan, seringkali membawa rasa frustrasi dan kepedihan.

Usaha Dahulu atau Menerima Dahulu?


Jalan keluar yang paling lazim kita tempuh ketika ingin mengubah kenyataan atau menyelesaikan suatu masalah adalah pertama-tama berusaha maksimal untuk menciptakan perubahan situasi dan menerima hasil akhirnya—baik menerima dengan ikhlas maupun terpaksa.

Namun, mengingat bahwa kenyataan tidak semata-mata tergantung pada usaha kita, ada jalan lain yang tidak selalu lazim. Ini jalan yang saya sebut “ABC”. Singkatan dari “Acceptance Before Change”.

Jalan ini adalah ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan pasti terjadi, dengan maupun tanpa usaha. Langkah pertamanya adalah menerima tanpa syarat apa pun kenyataan yang ada saat ini, apa pun perilaku dan sikap orang yang terlibat saat ini, apa pun pikiran dan perasaan kita saat ini. Apa pun perubahan yang hadir setelah kita sudah bisa menerima, jauh lebih mudah untuk menyambutnya dengan pikiran jernih dan hati yang lapang.

Saya harus mengakui bahwa ini bukan jalan pikiran yang umum. Namun bagi mereka yang sudah pernah mengalami obat ABC ini dalam hidupnya, mereka juga pernah menyaksikan betapa ajaibnya situasi bisa berubah, ketika masalah yang sedang dihadapi diterima sepenuh hati.

Saya sendiri sudah pernah melihat penyakit fisik yang berat, masalah hubungan cinta yang sudah parah, hingga kesulitan rezeki, bisa berbalik secara ajaib ketika hati sudah mencapai titik ikhlas menerima total keadaan. Ini sungguh sulit untuk ditulis. Anda perlu keberanian untuk mengalaminya sendiri.

Langkah Pertama dan Terakhir untuk Bahagia


Barangkali buah pikiran terakhir yang saya sadari tentang betapa pentingnya kita menerima segala sesuatu yang ada saat ini, sebelum perubahan bisa terjadi, adalah berikut ini: jika kita mencoba untuk mengubah diri, masalah maupun situasi melalui berbagai daya upaya, tanpa kita terlebih dahulu menerima diri sendiri apa adanya, maka meskipun situasi tersebut berhasil kita ubah, kita tidak akan pernah puas, tidak akan pernah damai, apalagi bahagia.

Dahulu, saya pikir kebahagiaan adalah mencapai apa yang saya inginkan. Namun sekarang saya melihat bahwa kebahagiaan adalah ketika tidak ada perselisihan antara keinginan dan kenyataan. Karena kenyataan tidak bisa saya kendalikan sepenuhnya, maka mengelola keinginan menjadi kunci saya untuk bahagia. Dan kunci tersebut bernama: menerima sepenuh hati.

Pilihan dan upaya tidak menghasilkan kenyataan hidup saat ini. Pilihan dan upaya adalah “permainan” yang kita perlu lakukan demi tiba pada kesiapan untuk menerima dan berserah total pada takdir, hidup, dan Tuhan.

Selamat bermain dan berdansa, para sahabatku.

Published, EVE Magazine, Maret 2008. Read More ..

Thursday, May 08, 2008

Lima Jendela “Rumah Sang Lega”

Hidup ini cair, ujar seorang sahabat saya. Segala situasi dan perasaan hati kita terus berubah-ubah, dan di saat kita punya keinginan yang berbeda dengan kenyataan, tak bisa terhindar lahirlah rasa terbebani.

Rasa terbebani ini bisa saja muncul dari hubungan pribadi antara sahabat, orang tua, anak, suami-istri, dan sepasang kekasih. Rasa ini juga bisa muncul akibat permasalahan di tempat kerja, maupun masalah terkait uang. Bahkan ketika kesehatan kita sedang tidak optimal, beban hati pun muncul karena mungkin tidur terganggu, tubuh terasa letih terus, dsb.

Dalam situasi hidup yang seperti ini, tidaklah mengherankan seandainya kita mendamba suatu rasa yang disebut ‘lega’. Hidup ini tak lepas dari tantangan dan permasalahan yang datang dan pergi. Seandainya saja masalah hanya datang satu demi satu, mungkin kita bisa menjalaninya dengan lebih ringan. Namun sayangnya tidak demikian.

Pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda untuk menyadari kembali bahwa ‘kelegaan’ adalah suatu rasa yang kita semua ingin capai. Kita pun bisa belajar dari prinsip alam untuk bergerak menuju lega.

Lihatlah langit di atas kepala Anda. Perhatikan bagaimana alam bergerak dari satu cuaca ke cuaca lainnya. Barangkali Anda lebih suka kalau langit cerah ketimbang mendung, atau udara sejuk ketimbang panas? Atau Anda lebih suka hujan rintik-rintik ketimbang hujan deras berangin?

Guru saya dari Jepang pernah bercerita, bahwa dalam bahasa Jepang, ada kemiripan antara cuaca dengan emosi. Cuaca dalam bahasa Jepang disebut “tenki” yang artinya energi yang bergerak di langit, sementara emosi dalam bahasa Jepang disebut “kimochi” yang artinya energi yang bergerak dalam diri.

Jadi cuaca dan emosi sebenarnya tidak berbeda, karena sama-sama merupakan energi yang bergerak. Atau dengan kata lain, emosi sebenarnya merupakan “cuaca hati”.

Namun, entah mengapa, kita jarang mempermasalahkan cuaca di langit ketimbang mempermasalahkan cuaca di hati. Mungkin karena kita sudah menerima bahwa cuaca di langit hanya bisa diamati, disadari, ditunggu dan dinikmati.

Sementara di lain pihak, kita begitu sibuk berusaha mengendalikan dan meredam emosi. Mungkin karena kita berpikir bahwa emosi itu bisa diatur-atur, disetel bagai mesin, tanpa sadar bahwa segala upaya untuk mengendalikan emosi sebenarnya sama sia-sianya dengan berusaha mengendalikan cuaca di langit.

Bahkan kita akhirnya melupakan prinsip emas “what you resist, persists…” yang artinya apa yang kita tolak, berusaha ubah atau hilangkan, justru akan menjadi awet. Lalu bagaimana caranya kita bisa mencapai rasa lega, kalau bukan dengan upaya?

Izinkan saya menawarkan lima buah jendela. Kelimanya merupakan jalan masuk menuju “Rumah Sang Lega”. Anda tidak bisa memasukinya dengan upaya, bahkan satu-satunya jalan masuk adalah dengan menghentikan segala upaya, dan cukup dengan menyadarinya. Jendela-jendela ini saya sebut “5A” menuju lega.

Awareness…
Artinya ‘sadar dan tahu’ secara jernih dan mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana rasanya dalam hati, buah pikir apa saja yang terlintas dan mendasari beban kita. Biasanya kita hanya ‘sadar dan tahu’ tentang situasi eksternal yang sedang kita permasalahan, atau sekadar memerhatikan perilaku orang lain yang tidak berkenan, atau cuma berupaya untuk mencapai perubahan yang kita inginkan tanpa terlebih dahulu sadar diri dan melangkah ke dalam diri.

Acknowledge…

Artinya mengenali dan mengakui bahwa kondisi hati kita memang dalam keadaan yang terbebani, juga mengakui bahwa kita bertanggung jawab penuh atas pilihan hidup dan kebahagiaan kita masing-masing. Kita memahami bahwa setiap pihak yang terlibat dalam permasalahan ini tentu berusaha yang terbaik menurut persepsinya masing-masing, dan dalam upaya terbaik tersebut terkadang terjadi benturan-benturan yang membuat hati tak lega, tapi sesungguhnya tidak disengaja untuk demikian.

Allow…
Artinya mengizinkan diri sendiri untuk meresapi perasaan hati kita pada saat itu, apa adanya. Begitu banyak di antara kita mengalami frustrasi berusaha ‘meredam’ emosi, tanpa mengerti aturan emas bahwa untuk setiap pikiran dan perasaan yang kita tolak, ubah, maupun sirnakan melalui upaya, di situ pulalah pikiran dan perasaan tersebut menjadi ‘awet’. Padahal mengizinkan pikiran dan perasaan kita untuk diamati, disadari dan dirasakan apa adanya justru memperlancar proses emosi tersebut menuju tuntas.

Accept…
Artinya belajar ikhlas untuk menerima dan mencintai ‘kenyataan” saat ini apa adanya. Ingat bahwa setiap keinginan kita bertempur dengan kenyataan, Sang Keinginan selalu kalah, tidak pernah menang. Ingat bahwa kalau hidup ini cair, tugas kita adalah mengalir. Mengalir berarti mengerti kapan saatnya menghentikan upaya melawan kenyataan, dan pasrah pada arus kehidupan.

Aaah…
Artinya bernapas lega, merasakan bahwa setiap udara yang keluar dan masuk dari tubuh kita menandakan hidup ini baru di setiap napas. Napas adalah jembatan antara tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Ketika menghadapi suatu permasalahan atau beban, kita lebih suka berpikir, berspekulasi, membayangkan yang belum terjadi, atau menyesali yang sudah berlalu. Bernapas dengan sadar, membawa kita pulang ke sini-kini-gini (here, now, as it is). Cobalah, tidak ada salahnya berhenti dari ketergesaan kita sehari-hari untuk sejenak bernapas lega. Perhatikan bahwa tepat di saat bernapas tersebut, roda berpikir kita pun berhenti sejenak… inilah saatnya mengistirahatkan pikiran.

Yang ajaib tentang kelima jendela ini, tidak jadi masalah dari mana Anda masuk, tapi ketika salah satu jendela berhasil Anda lalui, maka empat jendela lainnya akan otomatis terbuka dan mengizinkan cahayanya untuk menyelinap ke hati Anda.

Dengan kata lain, ketika Anda merasa terbebani dan mendambakan kelegaan, berhentilah sejenak. Hentikan segala upaya untuk meredam atau mengendalikan perasaan hati, dan pilih salah satu jendela yang akan mengantarkan Anda pada rasa lapang.

Ingat hidup itu cair, tugas kita adalah mengalir. Selamat meresapi kelegaan, selamat bertumbuh dalam kelapangan.

Published, EVE Magazine, Mei 2008.
Read More ..

Intuisi: Mendengarkan Kata Hati

Dalam hidup yang didominasi oleh kecerdasan otak dan intelektual ini, masih adakah kesempatan untuk berhenti sejenak, memerhatikan hati kita sendiri serta mengikuti bimbingannya, ketika momen keputusan tiba?

Definisi “intuisi” yang paling praktis dan akurat bagi saya adalah “ketika saya tahu sesuatu, tanpa mengetahui bagaimana caranya, kok, saya bisa tahu hal tersebut.” Kita semua pasti pernah mengalami momen-momen intuitif, barangkali suatu ketika kita teringat kawan lama yang sudah lama tidak kontak, tiba-tiba dia menelpon. Atau mungkin ketika keluarga yang dekat sedang mengalami masalah atau musibah, kita bermimpi atau terus teringat dengan mereka. Di permukaan, semua itu terlihat sebagai kebetulan belaka. Namun jika ditelaah dengan mendalam, inilah saat-saat di mana intuisi kita berhasil memenangkan perhatian kita.

Inilah juga yang disebut kecerdasan hati, di mana informasinya tidak hadir sebagai buah pikiran, atau analisa yang komprehensif dan akurat dari segala sudut. Intuisi umumnya hadir dalam bentuk sebuah ‘rasa’ yang sederhana, jernih namun berbisik, sehingga untuk bisa menangkapnya kita perlu lebih terbuka dan peka.

Sebenarnya setiap orang memiliki intuisi yang kuat dan berpotensi sama. Seorang bayi dan ibu berkomunikasi dan saling memahami lewat rasa, lewat intuisi. Hanya memang ketika kita menjadi dewasa, lalu dididik untuk lebih mengasah pikiran dan kecerdasan otak serta cenderung mengabaikan perasaan, maka perlahan-lahan kemampuan intuisi ini pun menjadi pudar, tumpul bahkan hampir hilang sama sekali bagi sebagian individu. Bahkan bagi orang-orang yang 100% bertumpu pada kecerdasan otak saja, mendengarkan rasa hati dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tidak alami, bahkan bodoh. Menurut orang-orang ini, pilihan dan keputusan yang baik adalah yang diambil berdasarkan proses berpikir dan analisa yang baik.

Sumber Stres: Mengambil Keputusan dengan Kepala


Ketika kita berusaha menerka-nerka apa yang sebaiknya kita pilih dan putuskan, biasanya proses berpikir yang terjadi melibatkan daftar keuntungan dan kerugian dari masing-masing pilihan. Namun kalau kita teliti, sebenarnya proses pengambilan keputusan seperti ini sangat tidak akurat. Pertama, kita tidak pernah punya data dan fakta yang lengkap tentang semua sudut permasalahan. Barangkali dari 40 faktor, kita hanya tahu 5-8 faktor saja. Kedua, kita harus mengasumsikan reaksi dan hasil dari pilihan tersebut berdasarkan dugaan dan tebakan kita sendiri, yang belum pasti akan terjadi demikian.

Sebenarnya intuisi merupakan bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada otak, karena meskipun kita tidak bisa mengetahui semua faktor yang terlibat dalam permasalahan apapun, gelombang rasa yang muncul dari hati sebenarnya sudah mencakup seluruh faktor meski tidak kita sadari. Akibat kita terlalu memaksakan untuk menggunakan “kepala” dan jarang bertanya kepada “hati” dalam segala situasi, maka timbullah berbagai fenomena stres di zaman modern.

Memutuskan Pada Saatnya, Bukan Rekaan Antisipasi


Baru-baru ini saya mengikuti pelajaran bersama seorang guru dari Jepang bernama Dharma. Selama hampir dua puluh tahun terakhir, dia menjadi seorang terapis. Pengalaman dan kompetensinya hampir tidak bisa saya ragukan, dan sepanjang tahun dia melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya. Bagi para terapis, seperti saya, ini merupakan kesempatan emas untuk memperdalam ilmu dan meningkatkan keterampilan kami dalam membantu berbagai klien yang datang dengan seribu satu permasalahan.

Selama hampir dua puluh hari di Jakarta, ada satu hal yang sangat menggelitik bagi saya. Di dalam kelas, para peserta yang kebanyakan juga terapis menghujani Dharma dengan puluhan pertanyaan, yang berkaitan dengan berbagai kasus. Ada yang bertanya “Bagaimana caranya mengatasi klien yang tertimpa musibah keuangan?”, atau “Bagaimana kita bisa menolong orang yang putus harapan?”, atau “Bagaimana caranya memberikan saran pada orang putus cinta?”. Yang sangat menarik, hampir di setiap kesempatan, guru tersebut selalu mengatakan: “Saya tidak tahu jawabannya. Seandainya saya benar-benar ada di hadapan klien tersebut, barulah saya bisa merasakan, mendengarkan hati saya, dan melakukan apa yang terasa paling tepat.”

Bagi saya, inilah esensinya intuisi, atau terkadang diistilahkan dengan ‘kata hati’. Kita tidak menghabiskan waktu untuk berteori, menjadi sok pintar dengan segala skenario dan hipotesa yang mungkin terjadi tapi belum tentu terjadi. Ketika intuisi sudah menjadi panduan yang kita percaya, maka apapun yang perlu kita pilih dan kita putuskan, benar-benar dirasakan sepenuhnya pada momen tersebut ketika sedang terjadi secara nyata. Bukan diantisipasi sebelumnya.

Jalan Menuju Ikhlas & Pelajaran Hidup


Apakah mendengarkan intuisi selalu merupakan pilihan dan keputusan yang paling benar dan bijaksana? Menjawab pertanyaan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita tidak pernah tahu dari berbagai pilihan dan skenario yang kita reka-reka sendiri, yang mana yang paling tepat.

Bagi yang mengharapkan kepastian ketika mengikuti kata hati, tidak jarang kekecewaan bisa muncul di kemudian hari, karena hidup ini memang tidak pernah pasti. Namun bagi saya, ketika berbagai pilihan sudah tersedia di depan mata, memilih berdasarkan intuisi bisa memberikan kesiapan hati yang maksimal untuk mampu menerima dengan ikhlas apapun konsekuensi yang hadir kemudian. Jadi, meskipun tidak pasti mendapatkan hasil yang aman dan paling baik, kita lebih siap menghadapi ketidakpastian hasil tersebut.

Mitos lain yang juga terkait dengan intuisi adalah, kalau kita selalu mendengarkan intuisi maka hidup kita akan aman, selamat dan bebas masalah. Padahal kalau kita jeli melihat hidup, setiap tantangan dan masalah merupakan momentum pertumbuhan yang penting dan perlu dilalui setiap orang. Banyak yang mengistilahkan bahwa hidup ini seperti bersekolah. Kalau memang benar demikian, mendengarkan kata hati bukan membuat kita bebas masalah, tapi justru mengantarkan kita untuk menemui serangkaian tantangan dan masalah yang “perlu dan penting” untuk dijadikan pelajaran jiwa. Kita perlu belajar untuk tidak menolak dan menghindari masalah, dan memahaminya sebagai bagian yang esensial dalam hidup ini.

Mengembangkan Intuisi Anda

Bila Anda ingin untuk hidup yang lebih dibimbing oleh intuisi Anda, pertama-tama ingatlah bahwa semua orang punya intuisi secara alamiah. Ini bukan keterampilan baru yang harus diperoleh, namun keterampilan lama yang terlupakan, dan perlu diasah kembali agar bermanfaat dalam keseharian.

Kedua, untuk melatih kembali intuisi kita, kita perlu membiasakan kembali dengan keheningan, apa pun bentuknya. Dari mulai rileks, berdoa, meditasi, bahkan melamun di toilet pun merupakan bentuk keheningan yang bisa membantu kita untuk memunculkan inspirasi dan intuisi. Tanpa keheningan, intuisi akan tersamar dengan segala arus informasi di sekitar kita, dan kebisingan pikiran kita sendiri.

Ketiga, bila Anda ingin berkonsultasi dengan kata hati Anda, setelah mencapai kondisi yang hening, ajukanlah pertanyaan Anda ke dalam hati. Ini bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan sebenarnya sangat wajar dan alamiah.

Keempat, setelah hening dan bertanya, tunggu dan perhatikan. Jawaban atau bimbingan dari hati Anda bisa muncul dalam bentuk rasa, suara, gambar, simbol, mimpi maupun kebetulan-kebetulan yang muncul begitu saja dalam keseharian Anda. Biasanya setiap orang akan memiliki bentuk intuisi yang khas. Ada yang selalu memperoleh intuisi lewat mimpi, atau dalam bentuk rasa hati, maupun rasa di tubuh. Sebagai contoh, sahabat saya selalu memilih restoran yang ingin dikunjungi bilamana perutnya terasa “hangat” ketika mendengar nama restoran itu diucapkan. Sepintas terdengar konyol, tapi saya ingin Anda tahu bahwa kita semua mendengarkan intuisi dengan pola yang berbeda-beda setiap orang.

Kelima, milikilah jurnal intuisi, yang membantu Anda untuk memerhatikan keterkaitan antara kebetulan-kebetulan yang terjadi, isyarat mimpi, rasa di hati dengan kenyataan yang terjadi setiap hari di sekitar Anda. Perlahan-lahan Anda akan mulai memerhatikan bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan, dan Anda mulai bisa membaca intuisi Anda dengan lebih tepat.

Berani Mengikuti Intuisi

Dalam pertemuan saya dengan banyak orang, seringkali muncul ungkapan seperti ini: “Sebenarnya saya sudah bisa merasakan apa yang perlu saya lakukan, dan agaknya inilah bimbingan hati saya, tapi saya tidak berani melangkah dan mengikutinya.” Ini bukanlah problem yang sulit, dan berikut ada beberapa saran yang bisa Anda jalani untuk mengatasinya.

Pertama, mulailah melatih intuisi dari hal-hal atau pilihan-pilihan yang kecil dulu. Seperti memilih menu makanan, mencari lokasi parkir kendaraan yang ideal, memilih warna pakaian, dsb. Sama seperti otot tubuh, otot intuisi Anda pun perlu diperkuat secara bertahap. Lambat laun, otot intuisi Anda semakin kuat, jernih dan lebih bisa diandalkan.

Kedua, mulai perhatikan bagaimana bedanya antara intuisi dengan suara imajinasi dan pikiran Anda sendiri. Salah satu patokan saya pribadi adalah biasanya intuisi tidak diikuti dengan nafsu atau keyakinan yang kuat. Justru begitu kita merasa sangat yakin dan ingin terbukti benar, malah seringkali itu bukanlah intuisi. Dengan rajin mencermati, Anda mulai bisa membedakan intuisi dengan kebisingan pikiran Anda sendiri.

Ketiga, coba renungkan dan ingat kembali beberapa peristiwa di masa lalu, di mana Anda pernah mendengar tapi tidak mengikuti intuisi Anda, lalu ingat hasilnya. Ingat juga berbagai momen di mana Anda pernah mendengar dan juga mendengarkan intuisi Anda, dan ingat bagaimana hasilnya. Secara bertahap, Anda pun akan membangun kembali rasa percaya terhadap suara hati nurani Anda sendiri.

Terakhir, ingat bahwa kita telah dibiasakan untuk lebih mendengarkan kata orang lain (orang tua, keluarga, sekolah, guru, teman, dll), ketimbang mendengarkan panduan kata hati kita sendiri. Kita perlu ingat bahwa kitalah yang paling tahu tentang hidup kita sendiri, dan kita jugalah yang paling bertanggung jawab atas diri kita. Tidak ada salahnya berkonsultasi dengan orang lain, tapi jangan abaikan intuisi Anda ketika sudah tiba saatnya memutuskan.

Intuisi Mendekatkan Kita pada Sang Pencipta


Sebagian orang, termasuk saya sendiri, meyakini bahwa intuisi adalah bimbingan Sang Pencipta yang diberikan melalui hati nurani kita, terlepas dari keyakinan agama apa pun yang kita peluk. Dengan melatih kembali kepekaan intuisi, Anda pun lebih terbuka untuk merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup, serta lebih peka untuk mendengarkan jawaban dari berbagai doa Anda.

Tentu Anda pernah mendengar ungkapan “Manusia yang berusaha, tapi Tuhan yang menentukan hasilnya”. Untuk bisa menjalankan ini, kita perlu menjalani hidup dengan semangat dan upaya yang baik. Namun untuk bisa menerima bahwa hasil akhirnya tidak sepenuhnya tergantung kita belaka, dibutuhkan kepasrahan total. Tanpa mengikuti intuisi, sulit sekali melatih kepasrahan dan keikhlasan yang sebenarnya merupakan kunci untuk hidup ringan dan selaras.

Akhir kata, selamat mengasah kembali hati nurani Anda. Mulailah dengan keheningan, untuk tiba di kebeningan, hingga Anda mampu mengikuti bimbingan yang Anda butuhkan.

Hening, tanya, tunggu, dan perhatikan…

Published, Eve Magazine, April 2008. Read More ..

Dark Chocolate Love

Seiring bulan cinta Februari ini, bisakah kita bersama menemukan pelajaran cinta dalam sepotong cokelat? Pernahkah Anda menikmati sepotong dark chocolate, dan merasakan beragam nuansa yang bisa terasa dalam setiap kunyahan, serta berbagai perasaan hati yang muncul dari pengalaman tersebut? Perhatikan bagaimana awalnya bongkahan cokelat tersebut terasa keras lalu setelah digigit atau dikunyah mulai terasa lembut dan meleleh dalam mulut Anda? Keras dan lembut, padat dan meleleh, merupakan spektrum pengalaman yang sangat nyata, bukan?

Perhatikan juga ketika rasa manis dan pahit datang silih berganti dalam pengalaman santap dark chocolate tersebut. Manis dan pahit pun merupakan rentang pengalaman yang sangat nyata.

Perhatikan juga ketika sepotong cokelat tersebut telah habis dalam mulut Anda. Ada rasa puas, dan tidak lama kemudian Anda merasa ingin untuk menikmati lagi sepotong cokelat yang baru. Siklus antara mendapatkan keinginan dan memperoleh keinginan, serta terpuaskan dan tidak puas, menjadi tema sentral yang juga bisa dirasakan dalam pengalaman menikmati cokelat.

Sekarang saya undang Anda untuk berhenti sejenak dan merenungkan pertanyaan sederhana berikut ini: bukankah semua pengalaman di atas juga merupakan rasa yang sama dalam berbagai pengalaman cinta dalam hidup kita?

Siapa yang tidak pernah merasakan aspek keras dan lembutnya cinta? Ketika dua pribadi bertemu, membawa pengalaman hidup dan ego masing-masing, terkadang interaksinya penuh kelembutan antara satu sama lain, sehingga bagai terhanyut dalam cinta. Dan juga sebaliknya, ketika kedua pihak sedang bersikeras mempertahankan posisinya sehingga terbersit rasa sesal: mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang ini?

Siapa yang tidak pernah merasakan manisnya cinta, senangnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari pasangannya, terbuai dalam segala keindahan yang dijanjikan cinta, dan sebaliknya merasakan pahitnya bertengkar, berbeda pendapat dan juga berpisah dalam hubungan cinta?

Siapa yang tidak pernah merasakan kesendirian, dan rasa ingin untuk berada dalam sebuah hubungan kasih, lalu mendapatkannya serta menikmatinya, lalu kehilangan pertalian cinta tersebut, disisipi dengan rasa tidak ingin berhubungan dengan orang lain lagi, tapi tidak lama kemudian berada lagi dalam sebuah hubungan cinta yang baru? Bisakah Anda memahami rentang rasa hati yang sama, antara menikmati sepotong dark chocolate dengan kehidupan cinta?

Inilah yang saya sebut realitas. Memahami kehidupan dari kedua sisinya secara menyeluruh. Realistis artinya memahami dan menerima realitas bahwa selalu ada dua sisi ini. Senang dan susah, untung dan sial, dipuji dan dihina, bertemu dan berpisah, mendapat dan melepas, merupakan dualitas hidup yang tidak bisa dihindarkan maupun dicegah, apapun caranya, bagaimanapun upayanya.

Bagi saya, pelajaran tentang cinta adalah suatu perjalanan yang merupakan bagian penting bagi kematangan diri dan evolusi. Ada limaa fase pertumbuhan jiwa yang saya amati dalam setiap orang, cobalah Anda renungkan di mana Anda pernah berada dan di mana pembelajaran Anda pada saat ini.

Fase 1: Mengejar manis karena ingin, hindari pahit karena takut


Di sini kita umumnya ‘tahu’ tentang manis/pahitnya cinta, tapi belum ‘ngeh’ tentang betapa mendasarnya pemahaman ini. Kita lebih dikendalikan oleh keinginan kita untuk mengejar manis dan segala cita-cita, serta begitu kuat berusaha menghindari kepahitan karena takut mengalaminya. Bisa juga diikuti dengan sederet upaya kita untuk memperbaiki diri, serta mengubah pilihan dan perilaku pasangan kita supaya memperoleh manis dan terhindar dari pahit. Kata kunci dalam fase ini adalah “berusaha untuk berubah”.

Fase 2: Menyadari bahwa ada manis, ada pahit

Di sini kita mulai membuka mata dan menyadari bahwa manis/pahit merupakan satu paket yang tidak bisa dipilah-pilah. Saat ini kita mulai mengerti bahwa kita tidak bisa hidup separuh saja, memang selalu ada dua sisi yang akan dialami. Upaya yang kita lakukan untuk “kejar manis, hindari pahit” masih dilakukan tapi mulai melunak, sehingga ada ruang dalam hati untuk lebih rileks dan menikmati kenyataan apa adanya. Kata kunci dalam fase ini adalah “sadar akan realitas”.

Fase 3: Sadar bahwa manis/pahit tidak pernah disebabkan oleh orang lain maupun keadaan, melainkan oleh pilihan kita sendiri

Di fase ini, kita mulai melihat kembali begitu banyak upaya yang sudah kita lakukan untuk mengubah pasangan kita agar kehidupan cinta lebih terasa manis juga tidak banyak berguna. Di titik ini pula, biasanya kita mulai sadar ternyata banyak ketidakpuasan kita sebenarnya bersumber dari ekspektasi dan harapan kita sendiri, yang ketika bertubrukan dengan kenyataan yang berbeda, sungguh sakit rasanya. Kita mulai mengerti bahwa orang lain serta keadaan hanyalah pemicu dari bom waktu yang kita rakit sendiri dalam hati. Dan akhirnya kita mulai memilih untuk menetralisir berbagai ekspektasi dan harapan agar lebih mudah ikhlas dalam hidup. Kata kunci dalam fase ini adalah “bertanggung jawab penuh atas diri sendiri serta berhenti menyalahkan dan berusaha mengubah orang lain.”

Fase keempat: Menyadari bahwa manis / pahit tidak bisa dicegah


Di titik ini, banyak beban urusan cinta mulai sirna, meleleh, dan kita terima sebagai bagian wajar dalam hidup, karena kita mulai sadar bahwa segala upaya, strategi dan sejuta trik mengatasi problema cinta pun ada batasannya. Ada momen-momen hidup tertentu, terutama yang mengandung pelajaran hidup, ternyata meski sudah berusaha dan berdoa pun, tetap tidak bisa dicegah dan perlu dijalani sampai tuntas, sehingga lahirlah kepasrahan jiwa yang tulus, bukan dipaksakan. Kata kunci dalam fase ini adalah “pasrah total”.

Fase kelima: Belajar menikmati manis dan mensyukuri pahit

Pada akhirnya, kita mulai mengerti bahwa semakin mengejar manis, semakin sulit manis bisa dialami. Semakin lari dari pahit, semakin awet masalah tersebut ada dalam hidup kita. Kita mulai hidup bebas dari preferensi, seperti potongan lagu “Mawar, melati… semuanya indah”. Kita tetap menjalani peran dan dinamika hidup sesuai dengan porsi yang wajar, tetap merasa manis dan pahit, tapi mengerti secara mendalam bahwa inilah sandiwara kehidupan yang perlu kita jalani apa adanya. Kita bisa hadir sepenuhnya untuk berbagai perasaan hati yang datang dan pergi, meskipun tidak selalu mudah menjalaninya. Kata kunci dalam fase ini adalah “merangkul mesra kedua sisi kehidupan, memetik kebijaksanaan dalam keseharian”.

Hidup ini memang tidak bisa lepas dari dualitas. Baik sepotong dark chocolate, maupun berbagi kasih dengan siapapun, kita tidak punya pilihan untuk hanya mengalami salah satu sisi saja. Selamat bertumbuh dalam kehidupan cinta, dan selamat Hari Kasih Sayang.

I love you and also myself, but most importantly I love whatever life offers me in this moment. Enjoy your wonderful piece of dark chocolate.

Published, Eve Magazine, February 20008.

* Picture taken from faeriesfinest.com Read More ..

Resolusi Awal Tahun

Tiada ucapan selamat tahun baru yang lengkap tanpa meninjau apa yang kita sebut sebagai resolusi awal tahun. Rasanya sudah tidak asing lagi kebiasaan awal tahun di mana kita diajak membulatkan niat, menanam suatu cita-cita, dan menancapkan tekad untuk mencapai suatu perubahan.

Seorang teman pernah bilang, bahwa baginya resolusi awal tahun adalah proses menggodok semangat juang dalam hidup, supaya dia bisa mengukur kemajuan dan prestasinya dari tahun ke tahun. Teman yang lain berkata, resolusi awal tahun itu hanya sumber stres, karena menurutnya dari sekian banyak keinginan yang tercantum, lebih banyak yang tidak tercapai daripada yang terwujud.

Baris demi baris target dirumuskan, dari mulai janji untuk mulai berolahraga secara rutin, berhenti merokok, mulai memperhatikan pola dan asupan gizi yang lebih sehat, mengurangi konsumsi kafein, dsb. Ada juga yang bertarget tentang hubungan cintanya – baik sudah punya pasangan maupun tidak – yang penting tahun ini bisa menikah. Atau barangkali kita menetapkan resolusi yang berkaitan dengan karier, rezeki dan kesuksesan kita.

Jadi apa saja resolusi awal tahun Anda? Bagi saya, meluangkan waktu hening dan merenungkan bagaimana kita mengelola energi kreatif dalam hidup, lebih bermanfaat ketimbang sekadar mencantumkan setiap keinginan dalam “daftar belanja” awal tahun.

Mari kita lihat rutinitas yang biasa terjadi di perbatasan antara akhir tahun dan awal tahun. Pertama, tidak ada resolusi awal tahun yang afdol tanpa refleksi akhir tahun.Pada penghujung tahun, kita menengok resolusi yang telah dibuat pada tahun sebelumnya. Kita tepuk bahu kita sendiri atas niatan yang telah tercapai, dan kita pindahkan semua niatan yang belum tercapai sebagai kandidat penghuni daftar resolusi tahun selanjutnya.

Saya sendiri, terus terang, jarang tergerak untuk menyusun resolusi awal tahun, saya lebih senang menjalani hidup ini langkah demi langkah. Mengapa begitu? Saya berusaha melihat kembali setiap momen ketika saya membuat rencana, dan sering sekali rencana tersebut tidak terjadi sesuai dengan apa yang kita prediksikan sebelumnya.

Hidup ini memang sarat dengan perubahan dan ketidakpastian. Terkadang target dipasang supaya keinginan kita punya “bahan bakar” untuk tumbuh, bergerak dan berkembang, namun di tengah bersemangatnya kita mengejar keinginan, tanpa sadar dalam hati terselip rasa “keharusan” yang memaksa. Ini acapkali menjadi sumber stres yang tidak perlu.

Tidak bisa disangkal, kita memang butuh semangat hidup. Tanpa itu, hidup bisa terasa hambar. Namun semangat hidup yang terjangkit “harusitis” – radang serba harus ini dan itu – berpotensi menjepit hati, dan akhirnya merampas kemampuan kita untuk menikmati hidup momen demi momen, serta membuat kita lebih mudah untuk lupa bersyukur atas hal-hal yang sederhana namun indah dalam hidup kita.

Ada yang mengatakan bahwa potensi kreativitas manusia itu tak terbatas. Sebagian menjelaskan dengan mengatakan bahwa baru 2% dari otak kita yang sudah terpakai secara optimal. Sebagian lagi menyatakan bahwa karena kita adalah bagian dari ciptaan Ilahi, sumber mahakreatif yang mampu menciptakan dan mewujudkan segalanya. Manapun yang benar, agaknya alam berusaha berpesan bahwa kita punya potensi ‘mencipta’ yang luar biasa, termasuk untuk mewujudkan segala hal yang kita inginkan dalam hidup.

Lalu bagaimana caranya agar potensi mencipta ini bisa terwujud menjadi kenyataan? Salah satunya adalah dengan menarik garis batasan yang akan memberikan fokus dan kesempatan agar potensi menjadi nyata.

Contoh, setiap penulis punya segudang ide kreatif untuk menghasilkan karyanya. Namun seringkali tanpa kehadiran garis batasan yang namanya ‘deadline’, kemahakreativan tersebut sulit sekali dilahirkan dalam bentuk kata-kata. Inilah kekuatan agung dari garis batasan.

Di sinilah saya melihat manfaatnya resolusi awal tahun. Garis batasan di awal dan akhir tahun, memberikan kita semua ‘rahim ruang dan waktu’ untuk mencipta, berkarya dan mewujudkan potensi diri seutuhnya.

Gunakan target, dan batas waktu sebagai sarana untuk tumbuh dan berkembang, dan perhatikan dengan saksama agar hal tersebut justru jangan menjadi “penjara serba harus”. Bagaimana caranya?

Pertama, untuk mencegah stres karena terlalu banyak cita-cita dan keinginan, bagaimana kalau kita belajar untuk membatasi berbagai batasan yang kita buat sendiri? Know when to limit your limits. Jangan jadikan diri Anda sebagai tahanan dalam penjara keinginan yang dibuat sendiri.

Kedua, untuk mengimbangi semangat hidup dengan kebijaksanaan, belajarlah untuk juga menyambut terbuka sifat kehidupan yang serba tidak pasti dan senantiasa berubah. Buka hati untuk hadir penuh perhatian di ‘sinikini’ – here and now. Meskipun Anda bisa saja membuat rencana untuk 5 tahun ke depan, kenyataannya rencana tersebut hanya dapat dilakukan, dicapai, dan dinikmati hanya di momen ini. Sekarang juga.

Ketiga, tidak ada salahnya kita mengingatkan diri untuk bersyukur akan hal-hal yang indah namun sederhana dalam hidup. Nikmatnya seteguk air putih, nyamannya bernapas, serta tulusnya senyum, merupakan harta yang bisa kita petik setiap hari, setiap saat.

Dan akhirnya, ikhlaskan segala kemungkinan terbaik dan terburuk, agar Anda tidak nafsu menang dan takut kalah. Menang dan kalah, berhasil dan gagal, merupakan persepsi yang sangat relatif. Apalagi kalau kita ingat bahwa setiap jiwa kita bertumbuh dan semakin kuat, biasanya justru dari pengalaman-pengalaman yang kita tuding sebagai kekalahan dan kegagalan.

Pada awal tahun ini, saya mengajak Anda untuk ‘bermain’ dalam hidup. Have fun in your life, instead of letting your life make fun of you. Dalam setiap tahun yang baru, kita semua dihadiahi 31.536.000 detik baru. Mari kita cintai sepenuh hati setiap detik tersebut, setiap momen, apa adanya.

Published, Eve Magazine, Januari 2008. Read More ..

Bercermin Pada Satu Sama Lain

Pernahkah Anda merenungkan di mana rasa bahagia dapat Anda petik dalam kehidupan sehari-hari? Di manakah letaknya bahagia?

Sebagian orang berpendapat rasa bahagia ditemukan ketika kita mencapai apa yang dicita-citakan, didambakan dengan segenap harap. Tidak jarang juga belakangan kita merasa kebahagiaan yang datang dari terpenuhinya kenginan, agaknya cepat berubah menjadi kegelisahan lagi. Mengapa? Mungkin karena Sang Ego tidak pernah mengizinkan kita beristirahat lama dari demam ‘obsesi’.

Setiap hari kita seperti dibanjiri berbagai keinginan dan keharusan. Eksperimen sederhana: dalam waktu 10 detik, tuliskan berbagai keinginan yang ingin Anda capai, barang-barang yang sangat ingin Anda beli dan miliki, ambisi yang terasa harus Anda raih. Sekarang, berhenti sejenak, bernapas. Lalu luangkan waktu sepuluh detik saja untuk menjawab pertanyaan sederhana ini: “Apakah saya saat ini benar-benar menemukan kebahagiaan dalam hidup?”

Coba bandingkan proses dalam diri Anda ketika menjawab kedua pertanyaan tersebut. Biasanya pertanyaan pertama bisa kita jawab dengan cepat, lancar dan ringan, tanpa harus merenungkan penuh makna. Sebaliknya pada pertanyaan kedua, kita mendadak dipaksa berhenti, merenung, berusaha menjawab, yang kemudian bersambut dengan keraguan, lalu mengorek lagi ke dalam diri untuk menebak jawaban yang lebih baik.

Ini yang terkadang meresahkan saya. Pikiran kita di zaman modern ini kerap tenggelam dalam berbagai obsesi, tanpa memiliki kejernihan tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai di balik segala keinginan tersebut. Memang hidup ini cuma permainan, dan terlalu serius pun bisa berbahaya. Namun apa salahnya kita berhenti dan menengok ulang ke dalam diri?

Sepasang Embrio Bahagia bernama “Saya & Anda”

Dalam studi psikologi yang dilakukan di Barat baru-baru ini, ternyata rasa bahagia tersebut tidaklah ditemukan dalam uang (meskipun tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan), maupun taraf pendidikan yang tinggi.
Justru studi tersebut menemukan bahwa hubungan antar pribadi yang baik, seperti persahabatan, keluarga dan relasi cintalah yang menentukan kadar rasa bahagia seseorang.

Jadi berapa nilai aset pribadi dan gelar pendidikan seseorang bukan lagi rumus yang tepat untuk mengukur bahagia, melainkan bagaimana kualitas hubungan pribadi antara orang tersebut dan orang lain di sekitarnya yang menjadi indikator tulen akan kebahagiaan dan kepuasan hidupnya.

Dengan kata lain, kita butuh satu sama lain untuk mencapai bahagia. Inilah momen pencerahannya. Kualitas relasi yang baik antara ‘Saya’ dengan ‘Anda’ ternyata merupakan resep rahasia yang jarang diperhatikan. Kualitas hidup = kualitas hubungan pribadi. Kita menjadi cermin bagi satu sama lain untuk bisa tumbuh.

Dari pengalaman membantu mengatasi problema hubungan antar pribadi, sebagai terapis saya berupaya untuk menelusuri benang merah yang menjadi kunci utama dalam sehatnya tidaknya relasi antar pribadi. Dan ternyata yang saya temukan adalah bukan komunikasi, bukan kejujuran, dan bukan juga kesetiaan. Yang menjadi jantung dari keharmonisan hubungan antar pihak ternyata adalah kesanggupan kita untuk menerima dengan ikhlas. Menerima diri sendiri dan juga menerima orang lain, sepenuhnya, apa adanya.

Namun mencapai tahap hubungan di mana kedua pihak bisa menerima satu sama lain apa adanya bukanlah pekerjaan mudah, terutama karena kita tidak terbiasa bertanggung jawab atas diri sendiri. Mengapa demikian?

Berharap Orang Lain untuk Berubah

Coba saja lihat dalam sebuah konflik di dalam hubungan pribadi, refleks kita untuk menuding mereka yang bersalah atau berharap bahwa orang tersebut akan berubah menjadi lebih baik adalah respons yang lebih sering muncul, sementara memerhatikan ke dalam diri dan menyadari andil kita sendiri dalam situasi tersebut, adalah suatu fenomena yang langka.

Mengharapkan orang lain yang berubah, meski itu merupakan sebuah perubahan yang positif menurut kita, merupakan sesuatu yang tidak mudah, tidak realistis, bahkan lebih sering mustahil. Konsekuensi dari kesimpulan ini adalah keharmonisan relasi merupakan tanggung jawab dari kita sendiri.Menerima diri dan orang lain adalah peran yang hanya bisa dijalankan diri kita sendiri.

Ketika kita yang berharap agar orang lain yang bisa lebih menerima kita, maka sesungguhnya kita yang sedang tidak menerima diri mereka apa adanya. Bilamana kita merasa sulit untuk menerima dalam hati, maka belajarlah untuk menerima diri kita sendiri yang masih belum bisa untuk menerima orang lain.

Perampok Tanggung Jawab Orang Lain

Dalam kasus sebaliknya, ada juga orang yang tidak mengerti batas tanggung jawab dirinya, sehingga seringkali “merampok” porsi tanggung jawab orang lain. Setiap urusan orang lain dijadikan tanggung jawabnya sendiri, dan kalau ada yang tidak beres, maka dia akan merasa dirinyalah yang paling patut disalahkan atas segala situasi.

Bila Anda cenderung ada di posisi ini, cobalah renungkan ulang apakah Anda sering merasa perlu ‘menyelamatkan dunia’, menolong semua orang, dan menjadikan hidup lebih baik? Kalau iya, kemungkinan Anda tanpa disadari bisa saja sering merecoki hidup orang lain, atas nama cinta atau kebaikan, dan di saat itu jugalah hubungan pribadi Anda dengan orang tersebut menjadi tidak sehat.

Ini seringkali muncul dalam refleks selalu ingin menolong, selalu ingin memberikan nasehat, mudah sekali iba kepada orang lain. Jangan salah sangka, saya tidak menyarankan orang untuk bergabung ke dalam komunitas ‘hati beku’ yang tidak peduli dengan sesama. Saya hanya menyoroti keadaan di mana terkadang kita pun bisa lengah dan kurang bijak dalam menolong orang lain.

Hadiah Cinta Paling Bermakna


Dalam hubungan pribadi yang saya alami langsung, maupun dalam kehidupan orang lain yang saya amati, ada dua hadiah cinta yang tak ternilai maknanya, dan bilamana diberikan dengan seimbang, maka biasanya hubungan tersebut cenderung sehat. Hadiah cinta ini berlaku baik pada hubungan cinta, persahabatan, keluarga dan bentuk hubungan pribadi apapun.

Hadiah tersebut adalah perhatian (attention) dan ruang (space). Terlalu banyak perhatian, tanpa diimbangi dengan kebebasan bagi pasangan untuk hidup dan bertumbuh, akan terasa sempit, dan hubungan tersebut akan perlahan berubah menjadi kontes adu kuat, siapa yang lebih sering menang, kalah, unggul atau mengalah. Contoh paling umum adalah hubungan yang cenderung terlalu overprotective antara orang tua dengan anak, atau terlalu banyak pembatasan dan kesepakatan dalam sebuah hubungan cinta.

Sebaliknya, terlalu banyak kebebasan dan ruang gerak, tanpa diiringi dengan perhatian, seringkali berarti ketidakpedulian. Bagaikan hidup saling memunggungi, relasi seperti ini juga hidup dengan bom waktu. Hampir tidak bisa dihindari, bahwa kita memiliki saat-saat tertentu di mana kita ingin diperhatikan, dan juga saat-saat lain di mana kita ingin bebas untuk bertumbuh ke arah manapun alam membimbing.

Saya sajikan sepotong filosofi kehidupan dari Hawaii tentang relasi yang sehat. Menurut mereka, ada empat penggal kalimat universal yang bilamana dihayati merupakan kunci dari sembuhnya segala bentuk masalah antar pribadi, yaitu:

I’m sorry.
Please forgive me.
I love you.
Thank you.


Maukah Anda menemani saya dalam perjalanan bercermin ini? Ingatlah sejenak orang-orang yang ada dalam kehidupan Anda. Perhatikan bagaimana kehadiran mereka serta hubungan yang Anda jalani bersama mereka, telah memupuk Anda menjadi sosok jiwa saat ini. Sudahkah cukup dan berimbang hadiah ‘perhatian’ dan ‘ruang’ yang kita berikan pada mereka? Bisakah dalam hati, Anda sampaikan kepada mereka, “I’m sorry. Please forgive me. I love you. Thank you”?

Semoga makna dari filosofi tersebut terus bergema dalam hati Anda, dan pantulannya singgah dalam jiwa setiap orang yang singgah dalam hidup kita. Di balik segala peran dan kerumitan hidup ini, pada akhirnya kejernihan sederhana sebenarnya berpangkal pada ‘Saya’ dan ‘Anda’.

Published, Eve Magazine, Desember 2007.
Read More ..

Wednesday, May 07, 2008

Menerima Segala Sesuatu Apa Adanya

Belum lama ini, saya selalu mengirimkan ucapan selamat ulang tahun via sms kepada para teman-teman yang isinya begini: “Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu mencintai dirimu sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.” Apakah ucapan seperti ini seperti menyarankan untuk hidup apatis dan pasif? Ataukah di dalamnya tersembunyi suatu pesan yang bisa kita nikmati?

Sebenarnya, kalau hidup modern ini mau diamati, kita cuma punya satu permasalahan utama. Sesuatu yang begitu lumrah, biasa, bahkan lebih sering tidak kita sadari keberadaannya. Sesuatu yang sudah sedemikian otomatis, tak terhindarkan dan dihadapi setiap hari, sehingga tidak lagi terdeteksi sebagai sesuatu yang perlu diatasi. Sesuatu yang sebenarnya begitu mendasar dalam munculnya berbagai konflik dalam kehidupan pribadi maupun karier kita, bahkan tidak jarang mengakibatkan penyakit.

Hal itu adalah… stres.

Terbiasa Melarikan Diri


Ya, kita tahu tentang kata ‘stres’, mengerti tentang artinya, bahkan akrab dengan rasanya. Namun dalam pengamatan saya berbagi pengalaman dengan para klien terapi, sedikit sekali di antara kita yang tahu dan mampu mengelola stres secara sehat. Dalam percakapan sehari-hari, lazim saya dengar berbagai orang mengatasi stres dengan cara makan enak, berbelanja barang-barang yang diidamkan, menyanyi, berdansa, olahraga, merokok, menikmati alkohol, dll.

Tentunya dari berbagai kegiatan mengatasi stres yang ditulis di atas, tidak ada yang salah bilamana dilakukan pada takaran yang pas. Masalahnya adalah, selain kadang dilakukan berlebihan, semua kegiatan di atas mempunyai suatu kesamaan. Semuanya cenderung dilakukan untuk mengalihkan perhatian kita dari situasi atau permasalahan yang membuat kita mulai stres. Dengan kata lain, semua di atas bersifat “pelarian”, ketimbang menghadapi.

Baru Peduli Ketika Sudah Terlambat


Pertanyaannya sekarang: mengapa kita tidak mau menghadapi masalah atau situasi yang membuat stres? Sementara kita sibuk mengalihkan perhatian dari masalah, sebenarnya stres kita tidak benar-benar sirna, hanya sekadar larut dan tertimbun begitu dalam di gudang jiwa, dan lambat laun gudang tersebut akan penuh dan meledak. Ketika sudah mencapai titik buyar ini, barangkali meledaknya stres tersebut disertai dengan pecahnya konflik dalam hubungan antar pribadi, atau disertai penyakit kronis fisik yang sudah telanjur sulit diobati.

Cukup ironis bahwa terkadang kalau kita mulai ada gejala sakit ringan, seperti batuk, bersin atau demam, maka kita relatif cepat mencari obat, periksa ke dokter atau rumah sakit. Namun, ketika kita stres, terutama ketika memiliki masalah dalam hubungan pribadi kita dengan orang lain, agaknya cenderung ditunggu dulu sampai parah stadium-4 atau kondisi siaga-5, barulah kita sadar dan mulai memerhatikannya.

Saya jadi berpikir, apakah ada hal-hal kecil dan sederhana yang bisa kita pahami, tempuh, dan petik dari sesuatu yang begitu akrab dengan keseharian kita ini? Dalam renungan singkat ini, saya mengundang Anda untuk menelusuri di mana titik lahirnya stres.

Formula Lahirnya Stres & Masalah


Saya ingin menawarkan sebuah formula tentang stres dan masalah, yaitu:

MASALAH = observasi panca indra + evaluasi pikiran + rasa tidak nyaman hati

Contoh pertama, misalnya saya bermasalah terjebak macet dan stres sepanjang jalan karena mengejar waktu untuk rapat bisnis yang penting. Masalah ini punya tiga komponen, dari: (1) panca indra, yang mengobservasi lewat pandangan dan pendengaran bahwa saya sedang terjebak macet, dan beberapa ratus meter ke depan kelihatannya tidak ada tanda-tanda lancarnya lalu lintas, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “ini buruk sekali! Saya bisa terlambat ke rapat bisnis dan ditegur oleh atasan saya”, dan (3) hati, yang takut dimarahi, takut kehilangan kesempatan bisnis, marah dengan kenyataan terjebak macet.

Contoh kedua, misalnya seorang istri yang dimarahi suaminya dalam suatu konflik dan merasa stres. Ini pun punya tiga komponen yaitu, (1) panca indra yang melihat dan mendengar peristiwa konflik dan dimarahi, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “oh, ini tidak benar! Saya kan tidak salah kenapa dibentak-bentak seenak hatinya! Saya harus membela diri”, dan (3) hati, yang tidak terima dimarahi, ingin membalas dengan caci maki atau merasa sedih karena selalu disalahkan.

Obat Stres yang Lazim tapi Rapuh

Jadi, semua bentuk masalah, pasti punya tiga komponen ini. Biasanya upaya yang paling lazim adalah kita mengerahkan segenap kemampuan kita untuk berusaha mengubah komponen pertama, yaitu situasi dan kondisi objektif yang dapat kita amati dengan panca indra. Umpama dalam contoh di atas, kita berusaha mengubah situasi macet dengan mencari jalur alternatif, atau menghentikan omelan suami dengan berbalik marah, kabur ke ruangan lain, atau berusaha menjelaskan posisi kita agar dia tidak lagi marah-marah.

Namun tidak semua situasi dan kondisi dapat kita kendalikan sepenuhnya, karena biasanya melibatkan orang lain serta kehendak Tuhan. Bahkan pada saat kita berhasil mengubah situasi dengan daya upaya sekalipun, belum tentu perubahan tersebut akan stabil dan tidak berubah lagi. Mengubah situasi dan kondisi yang kita tidak inginkan, memang merupakan suatu cara untuk menjadi bahagia. Namun kebahagiaan tersebut sangat rapuh, karena tidak selalu dapat dicapai, dan kalaupun dicapai, belum tentu permanen.

Melirik Kebiasaan Menilai dan Mengevaluasi

Di lain sisi, apa yang menjadi evaluasi di pikiran kita, maupun perasaan di hati yang muncul sekejap setelahnya, cenderung dianggap baku, kaku, dan tidak bisa lagi diubah. Memang, perasaan hati akan cenderung mengikuti evaluasi pikiran, atau bagaimana kita melihat dan menilai suatu kondisi. Kalau kita menilai suatu kondisi baik/benar, maka kita cenderung merasa senang dan nyaman. Kalau suatu kondisi kita nilai sebagai buruk/salah, maka kita menderita dan tidak nyaman. Inilah yang saya sebut penjara baik/buruk vs benar/salah.

Coba kita ingat seorang bayi. Jarang sekali sewaktu kecil, seorang bayi mengalami stres dibanding sewaktu dewasa nanti. Cara mereka menghadapi hidup dan dunia ini adalah bermain, bereksplorasi, dan penuh semangat keingintahuan. Tidak lama kemudian, jiwa sang bayi mulai belajar dari keluarga, sekolah dan lingkungan untuk menilai, mengevaluasi, menghakimi mana yang benar atau salah, mana yang baik atau buruk. Kemudian, ia beranjak dewasa, semangat bermain berubah menjadi serba serius, eksplorasi dan rasa ingin tahu menjadi keharusan untuk selalu benar dan baik, dan penuh rasa takut berbuat salah atau dinilai buruk oleh orang lain.

Saya tidak menyangkal bahwa kemampuan membeda-bedakan memang kita butuhkan agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam hidup ini, tapi pada saat yang sama kita sebagai manusia dewasa terlalu sering menyalahgunakan kemampuan evaluasi ini untuk terlalu banyak membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Saya Selalu Merasa Ada Tidak Beres dengan Diri Saya

Efek akhir dari terlalu sering menilai dan mengevaluasi ini adalah kita selalu merasa kurang layak, kurang percaya diri, kurang bahagia, selalu merasa ada yang perlu kita perbaiki di dalam diri kita, penampilan kita, dan hidup kita.

Tanpa kita sadari, perjalanan jiwa kita menuju kedewasaan telah juga ditunggangi oleh ‘virus pikiran’ yang tak pernah puas dengan hidup. Tak peduli kita punya begitu banyak berkah yang pantas disyukuri, semua itu tidak pernah cukup. Dan rasa ketidakcukupan itulah yang menjadi lahan gembur untuk lahirnya… stres.

Tidak ada Penilaian Yang Absolut, Semua itu Relatif

Kalau kita mau menengok sedikit lebih dalam, segala penilaian yang kita buat dalam pikiran tersebutlah yang membuat kita sulit untuk menerima dengan segala sesuatu apa adanya, apalagi berdamai dengan kenyataan.

Mari kita ambil sebuah contoh, misalnya saja perilaku malas. Umumnya, orang yang sedang malas, akan dicap dan dihakimi sebagai pihak yang berkelakuan buruk dan salah. Namun pada situasi di mana seseorang terobsesi dengan bekerja (workaholic), pernahkah kita terpikir bahwa justru bila dia ‘disuntik’ virus malas, itulah yang akan membawa keselarasan yang sehat dalam hidupnya?

Contoh lain, menangis umumnya dinilai sebagai kelemahan yang perlu dihindari, karena menunjukkan tidak kuatnya jiwa, kurang gagah, dsb. Namun dalam ilmu penyembuhan dan terapi, menangis adalah salah satu tanda terbebasnya jiwa dari tekanan hidup yang berkepanjangan, dan juga seringkali merupakan titik awal sembuhnya seseorang, baik dari penyakit fisik maupun masalah kejiwaan.

Untuk setiap sudut pandang tentang apapun, selalu ada sudut pandang sebaliknya yang memiliki keabsahan yang sama. Dengan kata lain, kita juga tidak harus selalu bersikukuh dengan penilaian, sudut pandang, dan evaluasi kita dalam suatu situasi, maupun tentang perilaku orang lain.

Melatih “Tak Menilai” Dalam Keseharian

Bagi saya pribadi, saya ingin tetap bisa menilai segala sesuatu dengan wajar dan pada tempatnya. Namun saya juga menyadari betapa pikiran saya sudah sedemikian lama terjangkit kebiasaan menilai yang berlebihan, sehingga perlu latihan yang sadar, sengaja dan khusus agar tidak selalu bersikukuh dengan penilaian saya.

Pertama, saya sangat mencintai napas saya. Kapan pun kita bernapas dengan sadar dan mengembuskannya dengan lega, rasa di hati selalu terasa lebih cair, lebih bebas, dan lebih lapang. Itu sebabnya dalam situasi yang sulit, atau ketika saya telanjur menilai situasi atau orang lain, saya sengaja menghentikan diri untuk bernapas sejenak. Tidak perlu terlalu lama, cukup hirup napas dengan lembut, rasakan diri Anda, dan embuskan dengan perlahan, “aaah…”. Ulangi beberapa kali hingga terasa lebih tenang.

Anggaplah napas ini sebagai tombol reset pada komputer yang menetralisasi segalanya atau, seperti ungkapan sahabat saya, bagaikan teriakan seorang sutradara film “Cut!” dan semua drama yang dilakoni berhenti. Kembali ke kenyataan.

Kedua, setelah lebih tenang, saya mengingat bahwa apa pun penilaian saya akan situasi atau orang lain saat ini, tentu ada berbagai penilaian dan sudut pandang lain yang sama sahnya, dan belum tentu sudut pandang sayalah yang paling benar. Bahkan ketika saya mengerti sepenuh hati bahwa semua sudut pandang sebenarnya memiliki kebenaran masing-masing, tergantung dari arah mana kita menghadapi masalah, saya tidak punya alasan untuk memaksakan pendapat ataupun membuktikan bahwa sayalah yang paling benar, dan pihak lain yang salah.

Ketiga, saya berusaha mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi, segala sesuatu muncul dengan sempurna sebagaimana yang memang harus terjadi. Secara singkat: apa yang seharusnya terjadi, adalah apa yang sedang terjadi. Barangkali saya tidak selalu langsung mengerti mengapa situasi harus terjadi seperti ini, ataupun langsung mengerti hikmahnya, namun ketika saya siap untuk memahami, saya akan melihat dengan perspektif yang lebih melegakan.

Semuanya Berpulang pada Diri Sendiri

Saya sadar betul bahwa berbagai sudut pandang yang saya cantumkan di atas merupakan sebuah evaluasi pribadi saya terhadap kehidupan. Berbagai persetujuan maupun keberatan yang mungkin saja muncul dalam benak Anda, memiliki kebenaran yang sama sahnya, karena kita sulit sekali hidup tanpa menilai dan berpendapat.

Pada akhirnya, apapun sudut pandang yang kita pilih sebagai kebenaran, tentunya tergantung dari diri kita sendiri. Bagi yang jeli dalam merenungkan formula stres di atas, mereka pun akan menyadari bahwa semua masalah sebenarnya kuncinya pun kembali pada diri kita sendiri, bukan berubahnya situasi atau tergantung orang lain.

Dan mungkin, kalau kita bersama-sama lebih sadar tentang hal ini, maka segala upaya mengatasi kehidupan dan dunia yang semakin cepat, tegang, dan penuh beban ini bisa menjadi perjalanan yang lebih ringan, ikhlas, dan selaras.

Semoga kita semakin mencintai diri kita sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.

Published, Eve Magazine, November 2007.
Read More ..

Tiada Maaf Bagimu

Bertepatan dengan berakhirnya bulan suci Ramadhan, di mana mulut dan laku sudah dibudayakan untuk mengucap maaf, serta jari jemari sibuk mengirimkan untaian kata-kata indah yang bernada pemaafan via SMS, saya mengundang Anda untuk merenungkan sejenak makna maaf yang sebenarnya, agar benar-benar bisa berlatih saling memaafkan dari hati.

Saya seorang pecinta kebijaksanaan hidup. Tidak karena ingin menjadi orang bijak, tapi saya menemukan bahwa kebijaksanaan membuat hidup lebih ringan, lebih ikhlas dan lebih selaras.

Kebijaksanaan adalah esensi dari bagaimana kita memaknai dan menjalani hidup. Namun bungkusnya sungguh bisa bermacam-macam. Dulu saya berpikir kebijaksanaan hanya ada di segala hal yang saya anggap “suci”, seperti kitab suci, orang suci, dan bulan suci. Ternyata saya salah besar. Benar-benar dungu dan acuh terhadap kenyataan bahwa kebijaksanaan hidup ada dalam setiap bungkus. Masalahnya saya kurang jeli dalam menghayati momen-momen hidup.

Bungkus-bungkus yang paling sering tidak saya kenali sebagai “pembawa kebijaksanaan” adalah justru orang-orang yang membuat perasaan hati saya terusik, momen kehidupan di mana saya merasa sial, dirugikan, disakiti, di mana hati sungguh bergelut mengunyah pahitnya hidup dengan penuh rasa geram.

Kita semua tentu pernah mengalami betapa sulitnya memaafkan dengan ikhlas, tuntas dan sepenuh hati. Kita juga pasti pernah merasakan beratnya memohon maaf kepada orang lain, apalagi kalau orang tersebut tidak berkenan memaafkan kita. Bagaikan hidup menanggung beban yang semakin mendera, tidak hanya bagi yang mohon maaf, melainkan bagi semua yang terlibat dalam suatu konflik.

Pada saat-saat seperti ini, tidak jarang batin menjerit untuk mengutuk keadaan, menolak kenyataan sebagaimana apa adanya, dan ingin rasanya mengatakan “Tiada maaf bagimu!” kepada orang-orang yang kita salahkan sebagai penyebab derita ini, meskipun banyak guru bijak mengajarkan jalan pemaafan sebagai sarana untuk memulihkan ketentraman hidup.

Jadi tidaklah sulit untuk melihat bahwa pemaafan (forgiveness) yang terjadi sepenuh hati, merupakan suatu obat kedamaian. Obat yang membantu mengakhiri penderitaan, menerima kenyataan, dan mencintai diri sendiri serta orang lain.

Untuk bisa menyadari esensi pemaafan (forgiveness) yang sesungguhnya, kita perlu belajar dari tidak tercapainya pemaafan (unforgiveness). Apa saja salah kaprah tentang pemaafan, yang justru mengurangi manjurnya obat maaf, barulah setelah itu kita bisa belajar pemaafan yang efektif.

Salah Kaprah 1: Kita harus memaafkan

Untuk setiap pekerjaan hati, kata “harus” seringkali melahirkan keterpaksaan, dan rasa terpaksa ini mendistorsi pemaafan yang jernih dan tuntas. Meskipun orangtua, budaya dan agama mengajarkan bahwa pemaafan adalah sesuatu yang baik, sering sekali hati punya ritme dan tahapan tersendiri yang perlu dihormati. Ini sebabnya setiap kali kita memaksakan hati, sulit sekali merasakan lega atau tuntas dari masalah.

Bahkan sebelum segala emosi seperti sedih, marah, sakit hati, frustrasi sempat dinetralisir, seringkali kita memaksakan diri untuk memaafkan. Akibatnya, dalam keseharian kita sering mendengar orang mengatakan, “Sebenarnya saya sudah memaafkan dia dan peristiwa itu, tapi entah mengapa masalah itu masih sering sekali menyelinap di pikiran saya, dan ini sungguh mengganggu.” Ini yang disebut pemaafan prematur (premature forgiveness).

Bisa jadi, bilamana kita merasakan hati belum siap memaafkan, lebih sehat kita akui itu kepada diri sendiri, daripada membohongi diri maupun pihak lain bahwa kita sudah memberikan maaf. Ingat bahwa tidak memaafkan karena belum siap, belum tentu lebih buruk daripada pura-pura memaafkan karena dituntut untuk memaafkan.

Salah Kaprah 2: Pemaafan menentukan siapa yang benar / salah

Berikutnya seringkali masing-masing pihak menunda untuk meminta atau memberi maaf. Mengapa ini terjadi? Dalam bawah sadar, kita menganggap bahwa meminta maaf berarti mengaku sebagai salah, dan memberikan maaf berarti memosisikan diri sebagai pihak yang benar.

Sebuah konflik akhirnya terus berkepanjangan karena ego masing-masing akan menemukan 1001 alasan yang membenarkan posisi dirinya sendiri, dan tidak mau sepenuh hati mengaku salah. Mungkin yang perlu berubah adalah konsep benar/salah ini, sebab kalau pemaafan terus berkait dengan siapa yang benar/salah, sebuah masalah bisa menjadi semakin panjang umur, sementara si manusia yang bermasalah bisa jadi semakin pendek umur.

Seandainya saja kita bisa merenungkan lebih dalam, sebenarnya dalam setiap konflik tidak ada pihak yang secara absolut benar maupun salah. Biasanya setiap pihak sebenarnya sekadar bertindak berdasarkan “apa yang dirasakan paling benar” menurut dirinya sendiri, dan kebetulan tindakan tersebut berbenturan dengan pihak lain yang bertindak juga sesuai dengan apa yang dirasakan paling benar bagi pihak tersebut. Dengan kata lain, keduanya punya tujuan yang sama. Namun dalam mencapai tujuan tersebut, terjadi konflik yang menyebabkan penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat.

Kalau kita mengerti bahwa tidak ada keabsolutan dalam posisi benar/salah, maka dalam sebuah konflik kita mengerti bahwa setiap pihak punya kontribusinya masing-masing dalam terjadinya derita. Dan dari pengertian ini, meminta maaf bisa lebih mudah dilakukan karena bukan untuk mengaku salah tetapi untuk bertanggung jawab dalam mengakhiri penderitaan bersama sesuai andil masing-masing.

Anehnya, ketika kita dengan tulus meminta maaf atas andil kita sendiri dalam suatu persoalan, seringkali memberikan maaf kepada orang lain juga lebih mudah, karena mengerti bahwa masing-masing pihak punya andil. Inilah praktek pemaafan yang lebih realistis dan bertanggung jawab, ketimbang hanya membuktikan siapa yang benar atau salah.

Latihan untuk Pemaafan yang Sempurna

Sama dengan keterampilan apa pun, pemaafan yang sempurna hanya bisa dicapai dengan latihan, setiap saat, sepanjang hidup kita. Ada tiga bentuk latihan yang memungkinkan kita untuk hidup lebih ikhlas, dan mampu memaafkan dengan tulus dan sepenuh hati.

Pertama-tama, meskipun tidak selalu mudah, belajarlah mengomunikasikan pikiran dan perasaan Anda dengan jujur dan apa adanya. Kita semua punya keinginan mendasar yang ada di dalam jiwa setiap manusia. Keinginan tersebut adalah ingin dipahami, ingin dimengerti. Berlatihlah jujur kepada diri sendiri dan menyampaikannya kepada orang lain.

Sangatlah penting juga melatih kemampuan untuk mendengarkan dan memahami orang lain, tanpa menilai, berkomentar, menghakimi atau menyetujui mereka. Bentuk-bentuk komunikasi yang lebih jujur, baik dalam mengungkap isi hati maupun mendengar tanpa menilai, membantu mencairkan beban hati yang seharusnya dinetralisir terlebih dahulu sebelum kita siap untuk tahap pemaafan.

Kedua, kita perlu belajar menata hati. Apa yang dirasakan dalam hati sebenarnya bagaikan cuaca. Tidak bisa kita ubah, hanya bisa disadari, dirasakan dan dipahami—seperti halnya cuaca, kalau sudah waktunya akan berlalu. Namun kalau cuaca hati tersebut ditolak, dipaksakan untuk berubah, justru malah jadi bertahan lebih lama. Latihlah diri untuk menerima perasaan hati dan kondisi hidup seperti apa adanya.

Ketiga, latih diri untuk lebih hidup nyata, di sini dan saat ini (here and now) ketimbang hidup di pikiran kita yang penuh dengan memori dari masa lalu serta fantasi tentang masa depan. Apa pun yang pernah terjadi yang mungkin menyakitkan hati, sungguh sebenarnya sudah terjadi dan sudah berlalu. Apa pun yang kita takutkan dan kuatirkan di masa depan, tidak bisa kita perbaiki atau tanggulangi karena belum benar-benar terjadi di saat ini.

Satu-satunya pilihan yang nyata, adalah hidup dari momen saat ini sepenuhnya, jujur dengan diri dan hati sendiri, mengizinkan pemaafan muncul dari jiwa yang terdalam, dan bersyukur atas pembelajaran yang bisa kita petik dari hidup ini.

Published, Eve Magazine, Oktober 2007.
Read More ..