Thursday, July 17, 2008

Respons Reza Gunawan tentang Perceraian Dewi & Marcell

Tulisan ini saya buat sebagai respons atas berita tentang keterlibatan saya dalam kasus perceraian kedua sahabat dekat saya, Dewi Lestari dan Marcell Siahaan. Awalnya ketika dihubungi beberapa media, saya memilih untuk bungkam karena tidak ingin mengusik ketenteraman proses mereka dengan bumbu-bumbu sensasi pemberitaan. Setelah waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini.

Setelah beberapa waktu berlalu, saya merasa perlu untuk memberikan pernyataan langsung lewat tulisan ini, demi mempertahankan keaslian komentar saya tanpa menjadi komoditas infotainment yang seru bagi sebagian konsumennya, meskipun tidak selalu faktual dan cenderung menyesatkan.

Distorsi Pemberitaan di Media Gosip

Selama beberapa waktu terakhir, saya menyaksikan betapa tingginya distorsi pemberitaan yang terjadi di berbagai media tentang kasus ini.

Yang saya amati, kebenaran sesungguhnya menjadi terdistorsi karena: (1) pernyataan asli dipotong-potong dari kalimat yang utuh, menjadi berbeda artinya karena disajikan secara parsial, (2) pernyataan jujur menjadi bias karena ditambahi atau bahkan dibuat-buat media sehingga memojokkan pihak di luar proporsinya, (3) kisah yang disampaikan jujur dan benar tidak bisa dijual sehingga harus dibumbui agar menjadi berita yang fiktif dan penuh sensasi.

Dari mulai pernyataan yang tidak pernah dituturkan bisa tampil seolah-olah terjadi dialog antara narasumber, klarifikasi jujur yang tidak diterima sebagai pernyataan kebenaran, karena terkadang wartawan dan publik lebih suka mencari ‘sensasi’ ketimbang kebenaran, hingga muncul berbagai pelanggaran etika dan privasi yang menyebabkan stres yang lebih besar daripada keputusan dan proses perceraian itu sendiri bagi para pihak.

Apa yang saya tulis di blog ini bisa dipertahankan kemurniannya, karena meskipun barangkali tulisan ini akan diputarbalik lagi untuk memenuhi standar komoditas gosip, minimal publik setiap saat bisa mengakses blog ini dan melihat versi aslinya.

Bagi yang berminat pada kisah yang parsial, bias, fiktif penuh sensasi, silakan “beli” apa yang Anda cari di toko gosip langganan Anda, namun tulisan ini saya sajikan sebagai upaya untuk memberikan informasi yang lebih utuh, murni dan faktual.

Saya hanya bisa berpesan, jangan telan dan percaya bulat-bulat apa yang Anda baca, simak, tonton di media gosip. Tentunya percaya atau tidak adalah pilihan Anda, saya hanya sekadar menggarisbawahi bahwa banyak porsi pemberitaan yang disajikan bukanlah fakta apalagi kebenaran. Itulah kenyataan dunia pemberitaan figur publik, sebagai bisnis citra yang bisa laku karena menjadikan rumor sebagai komoditi, demi honor, rating dan oplah.

Komentar Saya Tentang Isu Pihak Ketiga

Dalam pertemuan pers yang dilakukan Dewi dan Marcell baru-baru ini, dari mulut mereka sendiri telah disampaikan bahwa tidak ada pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian mereka. Setelah pernyataan tersebut disampaikan, beberapa media sibuk mengutak-utik kebenaran dari pernyataan tersebut, termasuk kepada saya, yang diberitakan sebagai pihak ketiga yang menjadi penyebab dari perceraian tersebut.

Bersama ini, saya sebagai diri sendiri, maupun sebagai sahabat Dewi dan Marcell, serta sebagai pihak yang dituding, menyatakan sejauh pengetahuan saya, pernyataan Dewi dan Marcell tentang tidak adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, adalah benar. Sekali lagi, saya tegaskan bahwa rumor tentang adanya pihak ketiga yang menjadi penyebab perceraian mereka, baik itu saya sendiri maupun pihak lain, adalah salah.

Saya sadar bahwa pernyataan ini bisa saja mengundang reaksi percaya maupun tidak percaya, dan rentang diantara rasa percaya dan tidak percaya ini menjadi ruang yang bisa dikomoditaskan kembali oleh ‘pedagang drama dan gosip’ di manapun mereka berada. Saya hanya bisa menyatakan kebenaran, percaya atau tidak kembali kepada pilihan masing-masing individu.

Bagi yang haus drama dan gosip, entah karena kisah ini memberikan nafkah bagi mereka yang berdagang rumor, atau karena kisah ini memberikan Anda kesempatan untuk berpaling dari kerumitan hidup Anda sendiri, silakan percaya apa yang ingin Anda yakini, silakan berikan cap yang ingin Anda sematkan. Bilamana gosip ini memberikan manfaat buat Anda, anggaplah itu kepedulian sosial saya yang merelakan diri untuk berperan menjadi objek kesimpangsiuran suasana.

Komentar Saya Tentang Perceraian

Saya sependapat dengan Dewi Lestari, sebagaimana pernyataan yang dia buat di tulisan “Catatan tentang Perpisahan” baru-baru ini dalam blog pribadinya dee-idea.blogspot.com.

Segala perpisahan, apakah itu perceraian, putus pacaran maupun kematian, pada hakikatnya yang paling sederhana, hanya bisa dicetuskan oleh penyebab yang paling mendasar: memang sudah waktunya. Ketika sudah waktunya berpisah, kita bisa meronta disertai dengan berbagai bumbu ‘gejala’, namun pertemuan dan perpisahan sebenarnya sama-sama kehendak Tuhan, sama-sama jalan takdir.

Tentang dampak negatif terhadap anak dan keutuhan jiwa para pihak, saya merasa kita perlu lebih jeli. Yang menimbulkan efek negatif bukanlah perpisahan itu sendiri, namun pertikaian dan ketidakjujuran hati dari para pihak yang terlibat.

Memang barangkali 95% perpisahan pernikahan bisa saja selalu disertai dengan pertikaian tersebut, sehingga kita lompat pada kesimpulan bahwa perceraian itu berdampak negatif, namun sesungguhnya bukan perceraian itu sendiri yang merusak jiwa, dan sepengetahuan saya, baik Dewi maupun Marcell menyadari betul hal ini.

Itu juga yang membawa saya pada poin bahwa ketika mereka bisa menjalani perpisahan ini dengan damai, tanpa bertikai dan jujur dengan hati masing-masing, memang ini sesuatu yang langka. Justru melalui kelangkaan “cerai damai” ini muncul harapan positif bahwa dalam keputusan mereka yang memilih untuk berpisah tanpa bertikai, mungkin efek negatif pada jiwa yang terlibat, termasuk Keenan, bisa diminimalkan ketimbang mempertahankan pernikahan yang dari luar terlihat manis, namun di dalamnya menyimpan pertikaian dan kepalsuan hati.

Bagi saya, bersatu dalam pernikahan tidak selamanya pasti baik, dan berpisah melalui perceraian tidak selamanya pasti buruk. Setiap pihak berhak punya pendapat sendiri tentang hal ini.

Menghargai Privasi, Pilihan dan Proses

Kepada teman-teman di media, saya meminta kerelaannya untuk menghargai privasi, pilihan dan proses yang saat ini sedang dilakoni para pihak yang terlibat. Saya bisa memahami bahwa Anda sedang menjalankan pekerjaan masing-masing dengan sebaik-baiknya, namun kami pun demikian. Pekerjaan saya sebagai terapis (praktisi penyembuhan holistik) menuntut adanya ketenangan yang setiap hari perlu kami sajikan bagi para klien kami. Mohon jangan desak saya untuk mengambil langkah lebih tegas dan akhirnya mengusik keharmonisan hubungan saya dengan pihak media selama ini.

Bersama ini saya tegaskan bahwa saya tidak bersedia untuk dihubungi, ditemui maupun diwawancara dalam format apa pun oleh media mana pun, hingga proses perpisahan kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell, selesai dengan tuntas.

Bagaimanapun juga, kita semua membuat pilihan dan keputusan berdasarkan apa yang kita yakini merupakan hal terbaik yang kita perlu tempuh.

Saya mencintai kejujuran dan keterbukaan, namun kasus ini bukanlah tentang hidup saya sendiri, namun hidup dan ketenteraman mereka. Saya hanya ingin menjaga itu agar keputusan mereka untuk berpisah, yang sebenarnya sudah merupakan pilihan besar dan proses berat, bisa dijalani dengan tenang, ikhlas dan selaras.

Semoga kebenaran sesungguhnya bisa menjadi jernih dan utuh, dan saya berdoa agar proses perpisahan mereka merupakan keputusan yang terbaik dan membawa kebahagiaan bagi para pihak yang terlibat.

UPDATE 5 SEPTEMBER 2008: CATATAN TERAKHIR

Dua hari yang lalu, 3 September 2008, proses perceraian kedua sahabat saya, Dewi dan Marcell telah resmi tuntas. Begitu banyak hal yang terjadi selama beberapa minggu ini, saya hanya ingin memberikan catatan terakhir tentang masalah ini.

Saya sekadar memenuhi janji kepada beberapa pihak untuk memperjelas duduk situasi yang tidak bisa saya jelaskan sebelumnya, karena saya perlu melindungi beberapa kepentingan (seperti ketenangan klien kami di pusat terapi, kelancaran proses persidangan, maupun ketenangan hati para pihak yang terlibat langsung). Saya tidak mencari persetujuan, dukungan atau pembenaran dari siapapun, toh siapapun yang yang membaca inipun akan bisa punya pendapatnya sendiri.

1. Memang benar saya dan Dewi Lestari berada dalam sebuah hubungan cinta saat ini, namun bagi kami yang terlibat, ini bukanlah hubungan perselingkuhan (yang mana saya definisikan sebagai hubungan asmara yang terjadi antara 2 pihak, di mana salah satu atau keduanya sudah punya pasangan, dan hubungan asmara tersebut terjadi TANPA sepengetahuan atau restu dari pasangan resminya), berdasarkan kronologis faktual yang diketahui langsung oleh para pihak, sebagaimana berikut ini:

· Marcell dan Dewi memutuskan bulat untuk berpisah secara hukum di akhir 2007. Sebelumnya di akhir 2006, mereka sudah punya kesepakatan untuk mengikhlaskan satu sama lain bilamana menemukan seseorang yang dirasakan sesuai menjadi pendamping hidupnya.

· Tidak lama setelah keputusan berpisah tersebut, Marcell pun atas inisiatifnya sendiri kepada saya menyampaikan itikad baiknya untuk tetap menjalin keharmonisan antar pihak, dan juga Marcell menyampaikan kepada saya langsung keikhlasannya, dengan membuka jalan bagi saya untuk memulai hubungan lebih lanjut dengan Dewi.

· Perubahan hubungan dari sahabat dekat menjadi hubungan cinta, baru terjadi beberapa bulan setelah keputusan berpisah secara hukum tersebut, dan setelah terjadi komunikasi langsung antara Marcell dan saya sebagaimana dijelaskan diatas.

· Itulah yang membuat saya memberikan pernyataan di bulan Juli 2008, yang memuat konfirmasi saya bahwa memang tidak ada pihak ketiga yang menjadi PENYEBAB perceraian mereka. Mereka sudah memutuskan untuk bercerai, kemudian baru memutuskan untuk merestui satu sama lain dalam membina hubungan baru dengan pasangan masing-masing. Hubungan cinta antara saya dan Dewi Lestari, adalah AKIBAT dari perceraian mereka.

2. Dewi Lestari tidak pernah menjadi pasien saya di klinik penyembuhan holistik yang saya jalankan. Pengertian pasien di sini adalah individu yang memutuskan untuk mengikuti terapi individual, di mana saya selaku terapis punya kode etik pribadi dan profesional. Kode etik ini memberikan pembatasan kepada saya sebagai terapis, di mana seorang terapis tidak diperbolehkan bersosialisasi (makan siang, ngopi sore, jalan-jalan, dsb) dengan pasien, selama pasien tersebut masih menjalani terapi.

Keterlibatan Dewi dalam dunia penyembuhan holistik selama ini bukanlah sebagai pasien saya, sebagaimana yang secara meleset disebutkan di beberapa forum dan media, namun sebagai peserta pelatihan / workshop berkelompok yang kami adakan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan cinta saya dengan Dewi tidak melanggar kode etik terapis yang selama ini saya jalankan bagi setiap pasien kami.

Demikian klarifikasi final dari saya, yang sekaligus menjadi catatan terakhir tentang kehidupan pribadi saya di blog ini. Terimakasih atas semua pihak yang telah meletakkan perhatiannya pada episode ini, mari kita bersama melanjutkan hidup dengan langkah yang jernih. Read More ..

Menunggu Bimbang Berlalu

Pernahkah Anda merasa bingung, bimbang dan ragu-ragu ketika menghadapi suatu masalah? Atau memilih suatu keputusan yang penting? Atau menunggu lahirnya solusi dari problem yang rumit?

Mencintai hidup tidaklah selalu mudah, terutama ketika kita sedang terbebani oleh berbagai masalah. Waktu kita dihadapkan pada tertundanya penyelesaian suatu masalah, rasa bimbang dan ragu muncul dalam diri. Rasa ini terasa tidak nyaman untuk dipikul, sehingga kita ingin mengusirnya, menghilangkannya, mengubahnya. Dan dalam kepala kita, satu-satunya cara untuk mengakhiri rasa bimbang dan ragu itu adalah dengan menyelesaikan situasi yang sedang kita permasalahkan.

Namun dalam kenyataannya, situasi hidup yang kita hadapi, tidak selalu bisa terselesaikan tuntas dalam waktu yang singkat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi siapnya solusi dan tuntasnya situasi. Dan, faktanya, tidak semua faktor, terutama yang berhubungan dengan orang lain, bisa kita kendalikan secara absolut. Inilah yang kemudian menjadi lahan gembur untuk lahirnya stres. Kita ingin bebas dari stres dengan cara segera tuntas dari masalah, tapi masalah tak kunjung selesai karena ada hal-hal di luar kuasa kita yang belum bisa berubah sesuai harapan.

Kalau memang demikian, adakah cara lain untuk mengobati rasa bimbang dan ragu yang tidak nyaman ini? Bisakah kita memahami lebih baik tentang timbul tenggelamnya masalah dalam hidup ini, sehingga meskipun tidaklah realistis untuk hidup bebas masalah sama sekali, minimal kita bisa menjalani dan menghadapinya lebih ringan dan selaras?

Perlunya Fase Bimbang, Bingung, dan Ragu


Kalau kita memerhatikan alam dan kehidupan ini, sebenarnya ada suatu pola kekacauan yang selalu terjadi sebelum perubahan dan pertumbuhan. Dalam ilmu fisika kuantum, hal ini disebut ‘chaos principle’. Prinsip chaos bilang bahwa setiap hal perlu menjadi kacau, berantakan dan tidak beraturan, sebelum hal tersebut bisa menyusun kembali dirinya sendiri dalam tatanan yang lebih matang, lebih maju dan lebih baik.

Kita bisa mengamati prinsip chaos ini dalam setiap aspek kehidupan. Sebelum musim semi, harus ada musim gugur terlebih dahulu. Bila Anda sedang berniat membereskan rumah, pasti dalam prosesnya rumah Anda akan sejenak lebih berantakan daripada sebelum dirapihkan, sebelum akhirnya menjadi lebih rapi dan apik.

Pada kesehatan anak, dia perlu mengalami sakit dan infeksi sebelum kekebalan tubuhnya menjadi semakin kuat ketika dia pulih. Vaksinasi pun bekerja dengan cara ‘menghancurkan’ kekebalan tubuh untuk sementara, sehingga ketika tubuh memulihkan diri, lahirlah antibodi baru yang sebelumnya tidak tersedia.

Pada skala yang lebih besar, suatu negara pun membutuhkan kekacauan untuk bisa tumbuh. Ketika kekacauan muncul dalam intensitas kecil, kita sebut itu evolusi. Jika kekacauannya besar, kita sebut itu revolusi. Semua kekacauan tersebut adalah prasyarat untuk lahirnya kondisi baru, kematangan baru dan kesempatan baru.

Pada tingkat yang paling pribadi dan dekat di hati kita, cobalah lihat kembali setiap kemajuan dan pertumbuhan yang kita nikmati dalam hidup kita sendiri. Bukanlah selalu bisa kita temukan momen-momen bingung, bimbang dan ragu sebelum mengambil langkah, pilihan dan keputusan yang sekarang hasilnya kita nikmati? Dan ingatkah betapa kita kerapkali berharap bahwa hidup ini bebas dari bingung, bimbang dan ragu, tapi sungguh tidak mungkin seperti itu?

Barangkali inilah yang bisa membantu kita semua: sadarilah bahwa tahapan kita merasa bingung, bimbang dan ragu itu sangatlah PERLU. Semakin cepat kita bisa menyambut dan menerima ‘perlunya’ tahapan yang tidak nyaman ini, semakin lancar pula tuntasnya masalah.

Memperpanjang Rasa Tidak Nyaman Tidaklah Perlu

Meskipun kekacauan diperlukan, bukan berarti rasa tidak nyaman akibat kekacauan perlu ada. Dari mana sebenarnya rasa tidak nyaman ini muncul ketika situasi hidup sedang kacau? Jawabannya hanya satu: penolakan kita terhadap kekacauan. Kita tidak memberikan ruang, izin dan kesempatan untuk hadirnya kekacauan, sehingga ketika kekacauan muncul, kita berjuang setengah mati untuk mengusirnya, dan inilah yang merintis stres dan rasa tidak nyaman.

Stres memang fenomena ajaib. Stres mampu mengubah rentang waktu menjadi elastis. Tentu kita semua ingat betapa momen-momen menyenangkan dalam hidup terasa berlalu begitu cepat, serta betapa momen yang tidak menyenangkan serta membosankan terasa berjalan begitu lambat dan tidak kunjung habis.

Persepsi kita tentang berjalannya waktu ternyata tidak pernah objektif. Bagaimana ini bisa dijelaskan? Prinsip emas inilah kuncinya: apa pun yang kita ingin tolak, ingin ubah, ingin usir, ingin hilangkan, justru hal tersebut akan menjadi awet, langgeng dan bertahan. What you resist, persists. Sedangkan apa pun yang kita izinkan, rasakan, amati dengan hening tanpa reaksi, justru akan menjadi pudar dan tuntas.

Jadi, ketika bingung, bimbang dan ragu muncul, ingatlah prinsip emas tersebut. Membenci dan mengusir rasa tidak nyaman, hanya akan berakibat bertambahnya ‘bensin’ dari rasa tersebut sehingga semakin lama pula kita alami. Belajarlah untuk tidak menolaknya, justru amati, sadari dan rasakan.

Tinggal Menunggu Mangga Jatuh

Mengharapkan munculnya solusi dan tuntasnya masalah sebenarnya bagaikan menunggu mangga jatuh sendiri dari pohonnya. Bila mangga tersebut belum matang, memetik sebelum waktunya akan membuat kita memperoleh rasa buah yang masam.

Sementara itu, biasanya ketika kita sedang mendesak tuntasnya masalah kita, kita justru sibuk berpikir terlalu banyak, menganalisa tanpa henti secara berlebihan, berusaha memilah-milah benar dan salah, menimbang baik dan buruk, seolah-olah itu mampu mempercepat ‘matangnya mangga’ berjudul masalah.

Baru-baru ini saya bercakap-cakap dengan salah seorang klien saya yang sedang bimbang di persimpangan keputusan. Dia tidak menyadari bahwa bimbang itu perlu, dan seandainya dia izinkan dirinya untuk menunggu, ketimbang berusaha mengatasi masalah secara tergesa, tentunya dia bisa menjalani proses lebih rileks.

Padahal setelah dia mengingat kembali, sebenarnya dalam setiap momen hidupnya, bingung selalu hadir sebelum kejernihan. Setelah sekian lama bergulat dengan keraguan, tiba-tiba suatu hari muncullah kesiapan untuk melangkah. Kesiapan tersebut bisa saja berbentuk kondisi eksternal. Misalnya, mau tidak mau sudah harus melangkah karena tiba di batas waktu tertentu, atau karena kondisi internal, misalnya tiba-tiba saja hatinya bulat dan jernih untuk memutuskan. Inilah yang saya sebut dengan saatnya ‘mangga jatuh’ dan kita tinggal siap, sadar dan menangkapnya.

Terkadang memang ketika kita sedang bingung, bimbang dan ragu, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah diam, hening dan menunggu sambil mengamati. Ketika kita mulai menerima perlunya kekacauan dalam hidup, kita mulai mempersiapkan ‘ruang’ dan ‘izin’ bagi kehadirannya. Di situlah kedamaian mulai tersedia bagi kita semua. Bernapaslah, nikmati proses menunggu kekacauan, dan waspadalah untuk menunggu ‘mangga’ Anda matang alami dan jatuh dengan sendirinya.

Published, EVE Magazine, Juni 2008. Read More ..