Seekor ikan hias yang indah begitu riang bergerak dalam sebuah kotak kaca yang dilengkapi dengan lampu hias dan segala wahana permainan yang tersedia dalam akuariumnya, dunia tempat dirinya merasa aman dan bahagia.
Dia mampu melihat dunia di sekitarnya yang penuh nuansa dan perubahan, tetapi tidak sadar bahwa dirinya telah memilih untuk terbatas pada ruang edar sebatas dinding kaca yang mewadahi air. Air yang memberinya kehidupan. Bahkan ketika mendengar kabar sepintas bahwa kehidupan yang sebenarnya jauh lebih luas dari kotak kacanya, belum tentu dia siap menguji kebenaran kabar tersebut.
Ketika suatu hari dia memberanikan dirinya untuk menguji kebebasannya… tok! Ternyata barulah dia menyadari adanya kaca-kaca yang selama ini tidak dilihatnya, baru ketika dia menyadari dirinya tidaklah lebih dari sebuah kesadaran yang dibatasi oleh kesadaran lain, yakni kesadaran si pemelihara ikan. Mulai hari itulah si ikan menyadari keterbatasannya dan punya pilihan untuk menerima keterbatasan tersebut atau mengubah kondisi hidupnya yang selama ini “disangka” bebas.
Tidak terasa sudah 62 tahun negara ini menyatakan dirinya merdeka. Bagi mereka yang lahir setelah masa kemerdekaan tahun 1945, termasuk saya, kita mengenal kemerdekaan sebatas pelajaran formal di sekolah saja, entah bagaimana rasanya.
Bagi sebagian besar orang, merdeka merupakan suatu momen historis, suatu peristiwa yang tidak sempat kita alami dan rasakan langsung. Barangkali bentuk konkretnya yang terasa di hati pun tidak ada, hanya cuplikan kata-kata atau gambar historis seperti sedang menonton film dokumenter di televisi.
Tetapi apakah Anda tahu rasanya kebebasan? Bagi yang tidak pernah merasakan, mungkin baginya tidaklah penting untuk menghayati ini. Masih adakah relevansi dari kemerdekaan bagi Anda dan saya di saat ini?
Untuk bisa merasakan kemerdekaan, pertama-tama kita harus mengerti benar esensi dari ketidakmerdekaan. Segala bentuk ketidakmerdekaan akan melahirkan penderitaan dalam hidup, baik dalam kesehatan, kesuksesan maupun hubungan pribadi kita.
Kita mengenal istilah medis seperti gastritis (radang lambung), bronkhitis (radang saluran napas), dan berbagai istilah penyakit lain yang menggunakan akhiran “-itis”. Dalam berbagai istilah tersebut, “-itis” diartikan sebagai radang, yang mengganggu kesehatan tubuh kita.
Kalau boleh saya kaitkan dengan pembahasan tentang kemerdekaan sejati, barangkali kita terbenam dalam budaya global yang tanpa disadari telah mencuri pilihan dan kebebasan kita untuk menikmati momen-momen hidup. Penyakit tersebut saya beri nama “harusitis”, di mana kita terjepit dalam berbagai keharusan, baik keharusan yang kita tetapkan sendiri maupun yang dituntut oleh masyarakat.
Harus sehat, harus bahagia, harus sukses, harus kaya, harus cantik, harus punya pasangan, harus punya ini-itu, dan lain lain. Segala bentuk “harus” ini, mau tidak mau, mendidik kita untuk tidak menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya, serta tidak bisa berdamai dengan kenyataan hidup saat ini apa adanya. Selama jiwa kita masih terinfeksi “harusitis”, bagaimana kita bisa berhenti dari kegelisahan dan rasa tidak cukup yang senantiasa menghantui hidup, memaksa kita untuk selalu merasa bahwa yang ada saat ini belum cukup baik, memaksa kita untuk meyakini bahwa “more is better than less”?
Biasanya ketika menghadapi suatu masalah, kita meng-kambinghitam-kan situasi atau orang lain sebagai penyebabnya. Misalnya saja, di zaman penjajahan dahulu, yang dipersalahkan adalah para penjajahnya. Namun apa yang terlintas dalam jiwa pihak yang terjajah sebenarnya juga punya andil dalam situasi tersebut, atau jika dicermati, sebenarnya pikiran dan perasaan seseorang tentang situasi yang dihadapinya turut menciptakan ketidakbahagiaannya.
Inilah sebabnya saya berani mengambil kesimpulan, terutama dari pengalaman memberikan terapi secara holistik, bahwa banyak orang salah kaprah tentang apa inti masalah yang mereka hadapi. Tanpa disadari pikiran dan perasaan kita menjadi “penjajah terselubung” yang tidak kita ketahui, dan kita terkecoh menyangka bahwa perilaku orang lain atau situasi di luarlah yang menjadi sumber ketidakbahagiaan kita.
Salah satu penulis favorit saya, Thich Nhat Hanh, pernah mengatakan bahwa pada dasarnya aspirasi setiap manusia memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin mencapai kebahagiaan sejati. Dan syarat mencapai kebahagiaan tersebut, adalah dengan mengalami suatu kemerdekaan dalam diri, untuk memiliki keberanian dalam menjadi diri sendiri apa adanya.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita secara realistis bisa mencapai kebahagiaan melalui kemerdekaan di masa modern ini?
Ada banyak yang berpendapat, berbahagia dicapai ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan (getting what we want). Mungkin kita menginginkan sukses, harta, kekuasaan, kesehatan, persahabatan, cinta, keluarga, dan sederet “paket” keinginan yang kita jadikan sebagai syarat. Seolah terukir dalam hati: “Kalau semua keinginan saya terwujud, maka barulah saya akan berbahagia”. Ini yang saya istilahkan conditional happiness.
Barangkali ukiran hati ini layak diperiksa ulang, karena tidak sedikit orang yang harapan dan keinginannya terwujud, kemudian merasakan kesenangan sesaat, lalu mulai tidak puas lagi karena dua hal yang muncul dalam dirinya.
Pertama, karena seringkali ego kita tidak bisa dipuaskan, begitu satu keinginan tercapai, muncul lagi sederet keinginan baru yang mencegah kita untuk merasa lega, damai dan tercukupi. Kedua, karena sudah menjadi kodrat bahwa tiada sesuatu pun yang kekal, maka setiap hal yang kita miliki, mau tidak mau akan berubah. Keinginan kita yang terwujud tidak pernah selalu bersama kita selamanya, sehingga kita kembali mengejar hasrat yang dahulu sudah sempat terpenuhi.
Bolehkah kita mempertanyakan kembali apakah merasakan kebahagiaan dengan cara mencapai apa yang kita inginkan benar-benar efektif? Jika tidak, apakah itu berarti keinginan, hasrat dan harapan justru menjadi ketidakmerdekaan terselubung yang membatasi kebahagiaan kita?
Barangkali para penjajah eksplisit yang ada d iluar sana sudah tidak ada, tapi bagaimana tentang penjara rutinitas hidup dan kerja, arus informasi yang begitu dahsyat di sekitar kita, gaya hidup yang penuh upaya untuk memuaskan keinginan kita secara instan?
Bagaimana juga dengan pengondisian cara berpikir dan berperilaku yang selama ini kita peroleh dari pola asuh keluarga, tatanan sosial, agama dan budaya, yang “dilekatkan” pada kita sebelum kita punya kejernihan untuk mempertimbangkan apa yang sesuai dengan diri kita, serta keberanian untuk menerima atau menolak nilai yang disodorkan pada kita?
Bisakah kita dalam suatu hari mengatakan, “Saat ini saya bebas untuk memilih, bebas untuk menjadi diri saya sendiri, dan menentukan apa yang sesuai dengan jatidiri saya?”
Saya tidak berani menjawabnya secara absolut bagi Anda. Saya percaya semua orang mampu bercermin dari pengalaman hidup kita masing-masing dan menyimpulkannya sendiri. Untuk saat ini, sekadar bernapas, menyadari dan memerhatikannya sudah lebih dari cukup bagi saya.
Published, EVE Magazine, Agustus 2007.
Read More ..
Surat Suara Tanpa Angka
-
*Surat Suara Tanpa Angka *
Setelah empat tahun absen, saya kembali ke rumah tua ini, *blog* yang
tadinya sudah ingin saya pensiunkan demi pindah ke alam...
10 years ago