Wednesday, April 23, 2008

Liburan Sepenuh Hati

Saya merindukan kelegaan, kedamaian dan kebebasan. Mengapa? Apakah karena hidup ini begitu sering terasa sesak, bising, dan terjepit dalam berbagai keharusan, kewajiban, dan tanggung jawab?

Memang begitu banyak peran yang harus kita jalankan. Dari mulai tugas sebagai anak, orang tua, karyawan, teman, maupun tugas yang hadir sesuai dengan profesi kita.

Gambaran yang muncul di benak saya adalah seekor hamster yang berlari di atas roda tempuhnya, merasa akan sampai di suatu tujuan akhir, padahal sebenarnya hanya berputar-putar dalam rutinitas yang sama. Apakah ini mirip dengan hidup kita?

Dulu, ketika saya bekerja di perusahaan bidang perbankan dan keuangan, saya menyangka bahwa obat dari kejenuhan akan rutinitas ini adalah melakukan liburan di luar kota, melihat tempat baru, mengalami pengalaman yang tidak biasanya dirasakan. Berpisah dari fenomena rutin, memang merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh.

Namun setelah beberapa kali merenung, apakah benar ini cara yang tuntas untuk mengobati rasa jenuh? Seringkali ketika liburan ke luar kota atau ke luar negeri, di mana rasanya dalam waktu sekian hari, kita ingin sekali mengunjungi dua puluh lokasi wisata yang berbeda, malah justru rasanya letih, uang habis, belum lagi jetlag serta semakin tidak bersemangat untuk kembali ke rutinitas kerja yang sudah lapar dan tidak sabar untuk melahap kita kembali ke dalamnya.

Jadi, bagaimana sebenarnya liburan yang manjur?

Seorang sahabat saya, sebutlah namanya Yola, lebih menyukai liburan yang bersifat wisata alami. Menurutnya rutinitas harus dinetralisir dengan hidup yang lebih spontan, bebas dari perencanaan dan target. Yola meluangkan waktu 1-2 kali dalam setahun untuk berlibur, yang diisi dengan kegiatan yang tidak direncanakan seperti pola kerja pada umumnya, bersentuhan dengan alam yang memberikannya inspirasi. Baginya, di situlah kesempatan dia untuk meluangkan waktu bagi diri sendiri, untuk rehat sejenak dari kewajiban sehari-hari.

Ada lagi teman saya yang bernama Tessa. Liburan favoritnya adalah pergi ke resor liburan yang bernuansa alam, diisi dengan kegiatan detoks, makan sehat, yoga dan terapi spa. Menurutnya, lebih penting merilekskan diri dari kepenatan hidup di kota. Dan berbagai jenis terapi, seperti hidroterapi, aromaterapi dan pijat tubuh benar-benar mengendurkan saraf-sarafnya yang letih. Menurutnya, liburan semacam ini punya kelebihan tersendiri, karena biasanya karyawan perusahaan hanya bisa cuti panjang sekitar 1-2 kali dalam setahun. Sementara, bila terbiasa liburan yang penuh kegiatan relaksasi ini, maka setelah selesai liburan, setiap 1-2 minggu sekali pun dia bisa pergi menikmati terapi di spa dalam kota. Baginya, ini bisa memberikan efek rileks yang lebih merata sepanjang tahun bekerja.

Saya sendiri punya kegiatan libur favorit yang juga tidak lazim. Sekitar 6 tahun yang lalu, saya mengenal kegiatan meditasi untuk ketenteraman dan kesehatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, kegiatan berlatih meditasi ini diadakan di sebuah hotel yang bernuansa alami di Bali.

Coba Anda bayangkan situasinya. Selama 7 hari 6 malam, setiap peserta tidak diizinkan untuk berbicara satu patah kata pun, tidak membaca atau menulis, tidak menonton televisi, dan tidak boleh juga merokok maupun minum alkohol. Setiap peserta hanya diberikan makanan vegetarian selama program tersebut.

Melihat peraturan di atas, sebagian orang akan merasa ragu, dan bahkan enggan melakukannya karena merasa bentuk kegiatan ini bukanlah liburan, melainkan lebih seperti asrama yang penuh disiplin. Saya pun merasakan hal ini ketika belum pernah mengalaminya, dan sempat tergoda untuk mengundurkan diri.

Kami diberitahu bahwa semua aturan ini bertujuan agar bagian otak yang biasanya begitu aktif dan terstimulasi oleh berbagai informasi, komunikasi dan kegiatan yang kita lakukan, bisa beristirahat, dan juga batin mengalami kejernihan yang dalam agar meditasinya pun mencapai ketenangan sempurna.

Ternyata, setelah dijalani, saya dan setiap peserta merasakan hasilnya. Kami semua pulang dengan penuh rasa bahagia dan bersyukur. Pikiran pun begitu lega dan ringan, karena tidak lagi penuh dengan penyesalan masa lalu dan kekuatiran masa depan. Kalau biasanya di akhir liburan rasanya begitu berat kembali bekerja, justru dengan liburan meditatif seperti ini, saya merasa begitu segar dan bersemangat untuk kembali bekerja. Selain itu hal-hal kecil yang terkadang mencetuskan rasa kesal, marah dan stres tiba-tiba semakin berkurang pengaruhnya terhadap suasana hati sehari-hari.

Bagaimana dengan Anda sendiri? Apa pun pilihan liburan Anda, ingatlah bahwa pikiran dan jiwa Anda juga perlu diistirahatkan. Seringkali ketika kita berlibur tempat yang paling indah sekalipun, pikiran kita masih bekerja dan itulah sebenarnya sumber kejenuhan yang sering kita tidak sadari. Ketenteraman bukanlah suatu konsep yang cukup sekadar dicita-citakan, tapi perlu dialami langsung dalam keseharian.

Published, Eve Magazine, July 2007.

1 comment:

  1. Bercermin pada New York Time 1st Bestseller 'Eat, Pray, Love' by Elizabeth Gilbert; liburan sang pengarang ke Itali, India, dan Bali yg nyata tertuang dalam novel tsb benar2 bikin saya iri. Liburan anda yg bergenre -no talking vocation- itu serupa bgt dengan yg ditulis Liz.
    Saat saya benar2 merasa sepi, hampa, dan kosong ditengah keramaian; sering saya bertanya 'kapan ya saya bisa menjadi seorang devotee Ashram seperti di India', 'kapan ya saya bisa dapat pengalaman enlightenment', 'kapan ya saya punya seorang guru kehidupan', dan yg terakhir 'kapan juga ya saya bisa jadi guru kehidupan bagi seseorang?'. Well semoga saya segera bisa mendapatkan liburan seperti itu, sebuah liburan yang membuat saya menjadi seperti yg anda bilang: menjadi gelas yang penuh, tumpah, dan akhirnya meluberi baskom di sekeliling saya'

    -hanita, the singing dentist-

    ReplyDelete