Thursday, September 04, 2008

Bersahabat dengan Nafsu

Siapa manusia yang tidak kenal dengan nafsu? Nafsu adalah bagian alami semua makhluk hidup. Nafsu adalah energi yang mampu menggerakkan kita dalam hidup ini. Dia sanggup mendorong sepotong buah pikiran menjadi minat, dan kemudian menghasilkan tindakan, yang akhirnya berbuah menjadi hobi, pola dan kebiasaan.

Dalam hakikatnya, nafsu adalah daya semangat yang memberikan bensin bagi perjalanan hidup dan pertumbuhan kita. Lihatlah sekitar Anda, hampir tidak ada keberhasilan atau kemajuan bisa dicapai bila tidak disemangati oleh nafsu dan keinginan.

Nafsu Sebagai Sumber Masalah

Tidak jarang juga ketika kita salah dalam mengelola energi nafsu kita sendiri, beragam masalah pun timbul, padahal sebenarnya nafsu itu bersifat alami dan netral. Contoh, nafsu makan. Ketika dikelola dengan baik, nafsu makan memberikan asupan makanan yang lezat dan gizi yang menyehatkan tubuh. Namun bila salah kelola, bisa menyebabkan adiksi makanan, kebiasaan ‘ngemil’ berlebih, bahkan penyakit akibat kelebihan gizi.

Contoh lain, nafsu birahi. Ketika disalurkan dengan baik maka nafsu ini menjadi sarana untuk memproduksi cinta, keintiman hati, dan penciptaan keturunan. Ketika birahi salah dikelola, dia bisa menjadi akar pelarian stres, pemuasan kebutuhan secara dangkal, menimbulkan kecanduan seks, atau bahkan perilaku seksual yang tidak sehat.

Belum contoh terakhir berikut, nafsu emosi. Ketika emosi dirasakan dan disalurkan dengan sehat, apa pun bentuknya, maka emosi menjadi sarana untuk mengenal diri sendiri secara cermat, menjadi jembatan komunikasi hati dalam setiap hubungan, dan juga menjadi dinamika yang membuat hidup ‘lebih hidup’. Akan tetapi, emosi yang tidak dikelola dengan baik begitu mudah menciptakan kerenggangan, pertikaian, dan stres dalam hidup kita.

Tidak terlalu meleset rasanya untuk menyimpulkan bahwa setiap masalah yang kita miliki, bisa dirunut lapis demi lapis hingga kita tiba pada satu ujung yang biasanya sama: nafsu yang salah dikelola.

Yang lebih menyulitkan lagi, lingkungan telah mengondisikan kita untuk memberikan penilaian negatif pada nafsu. Nafsu telah memperoleh cap buruk dari masyarakat, budaya dan agama. Padahal, sesuatu yang sudah bercap buruk, biasanya malah semakin sulit untuk dikelola dengan baik.

Jadikan Musuh, Atasan, atau Sahabat?

Kalau kita periksa dengan jeli, maka ada 2 pendekatan paling populer untuk menghadapi nafsu, yaitu memperlakukan nafsu bagaikan MUSUH, dan memperlakukan nafsu bagaikan ATASAN.

Ketika nafsu dijadikan MUSUH, kita cenderung ingin mengendalikannya, menaklukkannya, menekannya hingga nafsu tak punya kuasa untuk berekspresi dalam diri kita. Pendekatan ini sangat sulit karena semakin kuat kita bermusuhan, berusaha mengusir dan mengalahkan nafsu, maka semakin kuat pula nafsu berceloteh dan meronta. Di puncak adu kuat antara diri dengan nafsu ini, seringkali kita pun menyalahkan diri, atau orang lain, atau situasi, terutama saat nafsu kita ‘menang’. Inilah pendekatan yang paling umum, sekaligus juga sangat tidak natural, sehingga rentan memicu stres.

Sebaliknya, ketika nafsu dijadikan ATASAN, kita cenderung mengikuti dan mengalir dengan apa pun yang diminta oleh sang nafsu. Tentu kita semua tahu bahwa menuruti semua tuntutan nafsu tentunya akan menghasilkan problema yang lebih banyak lagi. Namun kita kadang tak punya jurus lain selain menuruti nafsu yang mungkin saja memang terlanjur kuat karena dipupuk kebiasaan.

Kalau memang demikian, adakah jalan yang bisa kita tempuh demi mengelola nafsu secara sehat dan natural? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana, yaitu belajarlah mengenal nafsu sebagai SAHABAT kita.

Ini berarti pertama-tama kita perlu melepas dahulu cap buruk dan negatif atas segala nafsu. Semua nafsu adalah alamiah dan netral nilainya. Positif atau negatif itu tergantung persepsi dan keberhasilan kita dalam mengelolanya. Bersahabat dengan nafsu berarti kita belajar untuk mengenal, merasakan, memahami dan merawatnya dengan perhatian yang jernih dan hati yang berkesadaran.

Memahami Kebutuhan Sebenarnya Di Balik Nafsu

Setelah Anda mengerti bahwa semua nafsu pada dasarnya adalah netral, cobalah belajar mengenali kembali setiap energi nafsu yang datang dan pergi dalam diri kita. Ini tentu butuh latihan yang sederhana, namun sangat mencerahkan bila dilatih dengan tekun.

Ketika muncul nafsu tertentu, apa pun bentuknya, coba rasakan, sadari dan amati. Kenali dia apa adanya, tanpa memberikan pemenuhan atas tuntutannya. Kuncinya adalah merasakan tanpa langsung memenuhinya.

Mari kita praktekkan langsung. Anda sedang merasa lapar. Remlah sedikit refleks Anda untuk mengambil makanan terdekat, tetapi rasakan dulu dan kenali benar pengalaman lapar tersebut dengan penuh perhatian.

Mungkinkah tubuh Anda sebenarnya sedang tidak butuh makanan? Barangkali Anda hanya ‘merasa’ lapar karena sedang kesal hati dan mengunyah makanan terasa pas sebagai obat kesal?

Ketika muncul nafsu birahi, berhentilah sejenak. Benarkah Anda sedang merasakan energi cinta yang ingin dipadu? Barangkali Anda sebenarnya sedang merasa stres atau tegang, dan butuh pelarian nikmat sejenak?

Suatu saat Anda ingin sekali merokok. Stop dan bernafaslah sebentar. Benarkah tubuh Anda membutuhkannya? Mungkinkah Anda sebenarnya sedang merasa jenuh atau bosan, dan merokok menjanjikan terusirnya rasa bosan tersebut?

Ketika Anda mulai kenal dengan rasanya ‘nafsu’, maka lapisan-lapisan selanjutnya di balik nafsu tersebut seringkali akan menunjukkan dirinya. Dengan kata lain, apa yang DIMINTA oleh nafsu seringkali tanpa kita sadari bukanlah hal yang sebenarnya kita BUTUHKAN.

Jika seandainya hanya atas nama refleks dan pemenuhan instan kita sekadar mengikuti permintaan nafsu, tanpa sadar dan merawat kebutuhan yang sebenarnya, tidak heran kalau kita tidak pernah bebas dari perbudakan sang nafsu. Ketika ‘kebutuhan sebenarnya’ di balik lapisan-lapisan nafsu sudah bisa kita sadari dan rawat, maka permintaan nafsu di permukaan menjadi semakin tidak relevan dan tidak merongrong lagi untuk dipenuhi.

Sekadar Memulihkan Kepekaan Alami yang Hilang

Proses menyadari lapis demi lapis, dari nafsu sepintas hingga bisa tiba pada kebutuhan diri yang sebenarnya, bukanlah suatu hal yang biasa kita lakukan. Membutuhkan latihan untuk bisa perlahan-lahan bersahabat dengan nafsu dan merawat diri kita hingga pada kebutuhan sebenarnya. Tidak perlu kecil hati, karena keterampilan untuk merasakan diri ke dalam bukanlah hal asing.

Pada saat bayi, kita semua sangat peka untuk merasakan ke dalam diri, hanya saja kebiasaan ini mulai pudar ketika kita semakin dewasa. Latihan ini tidaklah sulit sulit karena tidak ditujukan untuk memperoleh keterampilan baru, tapi sekadar untuk memulihkan kepekaan alamiah yang sempat hilang akibat proses kehidupan menjadi orang dewasa.

Selamat berlatih, selamat belajar kembali untuk bersahabat dengan nafsu yang secara alamiah dalam diri Anda. Melatih diri akan mengembalikan kepekaan jiwa dan menghidupkan kembali hati kita. Hati yang hidup adalah hati yang semakin mudah bersyukur dan merayakan hidup itu sendiri.

16 comments:

  1. Nafsu memang salah satu peranti lunak yang menyertai setiap kelahiran manusia ke dunia, sunatullah, dibuat demikian dengan maksud tertentu, dengan manfaat tertentu, dan dengan efek samping tertentu.

    Syarat agar nafsu bisa membawa pada kita kesehatan dan kesejahteraan hidup, saya kira sama seperti kristalisasi ilmu anda sebelum2nya, yang selalu Reza tekankan berulang kali hingga rasanya telah menjadi presipitat di hati banyak orang, sama seperti bagaimana kita seharusnya memperlakukan semua benda dan hal di dunia ini: menerima dia apa adanya, menegakui dia apa adanya, bersifat netral dan berjalan selaras dengannya sepanjang hidup.

    Semoga persahabatan kita dengan nafsu kita akan semakin mesra di bulan ramadhan ini. selamat berpuasa buat semuanya...

    ReplyDelete
  2. Anonymous4:56 PM

    bung reza, tulisannya mirip-mirip filosofi yang diusung suhu kho ping hoo... bagus..

    ReplyDelete
  3. Anonymous11:14 AM

    Hallo Mas Reza,

    Nafsu, dalam pemahaman saya, adalah “nafs”. Ia terambil dari akar yang sama dalam bahasa Arab, nun-fa-sin. Nafsu begitu dekat dengan “nafsun” atau “nafs”, dengan “diri”. Ia berasal dari diri, meletup-mengalir-mendesir-menggelora dalam diri, memberi efek pada diri. Saya setuju dengan ide “bersahabat dengan nafsu”. Sebab, sejatinya, upaya bersahabat dengan nafsu sebanding lurus dengan upaya mengenal diri, mendekati diri, mengakrabi diri—sendiri.

    Tapi di sinilah soalnya. Pada mulanya nafsu memang “netral”. Ia hanya tumbuh, lalu siap bergerak menjelma apa saja yang kita inginkan. Ia tak hanya sekadar bisa jadi sahabat. Ia bisa menjelma atasan, musuh, atau bahkan cuma orang asing yang mengganggu. Dalam beragam wajah nafsu itu pulalah, kita semestinya punya beragam sikap dalam menghadapinya. Atau dalam tafsir yang lain, dalam kemungkinan beragam wajah diri, kita harus lebih giat mengenali diri untuk menentukan sikap yang paling tepat untuk mengakrabinya. Juga, sikap “bersahabat” pada nafsu atau diri itu tak selamanya harus “manis”, bukan? Seorang sahabat kadang juga harus ditegur atau dimarahi. Di lain waktu, sesekali mungkin perlu juga untuk tidak disapa; membiarkan dia kesepian sendirian, misalnya, ketika dia mulai “ngelunjak” dan tidak menghargai kita. Seperti diri, ia kadang harus “diberi pelajaran”.

    Sekadar sharing:
    Dalam tradisi Sufisme, nafsu dibedakan menjadi empat tahap. Di mulai dari yang terendah, nafs al-amarah, nafs al-lawamah, nafs as-sufiyah, dan nafs al-muthmainnah. Pertama, nafsu amarah, adalah nafsu yang bersifat instingtif. Seperti pada binatang, nafsu ini terus menagih dan menggoda untuk dituruti dan diikuti. Terus-menerus. Seperti atasan yang seksi, ia mencocok hidung kita yang kerbau untuk selalu patuh mengikutinya dari belakang. Tentu saja, mereka yang berada dalam level ini jauh dari mengenal dirinya sendiri. Mereka sulit mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai diri yang semestinya mengendalikan diri sendiri. “Merekalah yang terus menerus melupa”, kata Milan Kundera.

    Kedua, nafsu lawamah. Mungkin seperti konsep kesadaran naif (naival consciousness) dalam pemikiran Paulo Freire: seseorang yang tahu tetapi bertindak tak mau tahu. Seperti seorang dokter yang perokok, ia tahu bahwa rokok berbahaya bagi kesehatannya, tetapi pengetahuannya tak melakukan apapun untuk mencegahnya. Ia mengenal tetapi ia acuh. “Diri yang tak mengenal ‘wajahnya’”, kata Emmanuel Levinas.

    Ketiga, nafsu Sufi. Konon, Sufi juga bisa berarti sepi. Dalam sepi kita sering bimbang. Berbagai perasaan campur aduk. Pengetahuan kadang bisa menyelamatkan, tapi kadang juga bisa menyesatkan. Dalam sepi, dirilah yang menentukan. Seorang musafir kelaparan mengunjungi sebuah warung nasi untuk meminta segelas air, warung itu sedang sepi, beberapa kali ia memanggil si empunya warung tetapi tak ada yang menyahut. Ketika itu perasaannya jadi campur aduk. Ia bisa saja mencuri, tetapi pengetahuan dan imannya mencegah, ia tak mau mencuri. “Ini darurat,” pikirannya yang lain menggoda, “Ayolah, tak ada yang melihat,” sekali lagi ia menggoda. Dalam kondisi semacam ini, sepi memang menuntut kesadaran diri. Tergantung si musafir mengenal dan mengidentifikasi dirinya sebagai siapa. Mereka yang mengenal dan mengidentifikasi dirinya sebagai (si)apa, merekalah yang bertindak sesuai dengan pemaknaan itu. Di sini, diri tidak sedang bertarung dengan sirkumstansi, tetapi sirkumstansilah yang sendang mencoba bertarung dengan diri. “I do not fight with the world but the world fights with me,” kata Buddha.

    Terakhir, nafsu muthmainnah, atau nafsu hening yang tenang. Dalam hening yang tenang inilah diri benar-benar mengenal diri. Di sini, “nafsu” sudah tunduk pada “nafs” (diri). Dirilah yang menentukan. Hening yang tenang memang asyik, tak ada intervensi (si)apapun, tak ada lagi bimbang. Dalam hening yang tenang ada kepekaan jiwa. Dalam kepekaan jiwa, hati memiliki nafas yang (meng)hidup(kan). Ketika itulah, seperti kata Mas Reza, hidup bisa dirayakan dengan “ikhlas”.

    Mas Reza, bagi saya, bicara nafsu juga bicara diri. Bagaimana kita memahami dan mengelola nafsu adalah juga soal bagaimana kita memahami dan mengelola diri—sendiri. Sebab nafsu, seperti “nafs”, memang adalah diri.

    Jadi, dalam menghadapi nafsu, mari biarkan “nafs” bernafas lebih leluasa.

    Salam Hangat,
    Fahd Djibran
    www.ruangtengah.co.nr

    P.S. Semoga kita selalu menjadi kekasih Matahari. Seperti kata Rumi: “Engkaulah matahari / kamilah embun // Kau membimbing kami / ke tempat yang paling tinggi.”

    ReplyDelete
  4. Mas Fahd yang baik,

    Terimakasih atas kesediaanmu mengungkap tentang nafsu. Saya setuju juga dengan esensi pesan dari sudut penuturanmu. Hanya saja, dalam memaparkan sesuatu fenomena nafsu, yang begitu akrab dan natural dalam keseharian, saya pribadi punya preferensi untuk tidak terlalu membungkusnya dalam pemahaman yang kategorikal, misalnya memilah nafsu berdasarkan tahapan-tahapan. Mengapa?

    Alasan pertama, memang pikiran analitis kita bisa menikmati pengetahuan teori dan filosofis, namun ketika energi nafsu sedang hadir dan mencengkeram ‘nafs’, kita berdiri di sebuah titik di mana pemahaman teori dan kategorikal cenderung sulit diakses.

    Misalnya, saja hadir nafsu amarah karena situasi hidup tertentu. Saat itu, nalar sedang tertatih-tatih, sementara energi emosi jauh lebih kuat daripada kekuatan logika, dan jika kita berusaha mengatasi amarah tersebut dengan cara BERPIKIR “oh, ini nafsu kategori mana ya?”, maka energi marah yang memohon untuk dirasakan dan ditemani tersebut akan “tersedak”, “nyangkut”, “korslet”. Ini disebabkan kita “pindah gigi” mendadak dari kesadaran berbasis hati menjadi berbasis otak.

    Yang saya maksud dengan bersahabat adalah mengenal, mengamati, menemani dan merasakan. Basisnya adalah awareness itu sendiri. Tidak ada yang buruk atau jelek pada nafsu, namun bilamana ditekan atau diikuti TANPA awareness, maka seringkali membuahkan masalah. Ketika mengajukan jalan bersahabat dengan nafsu, saya tidak menyiratkan sikap “manis” maupun sikap “garang” sebagai sahabat. Yang penting sekali lagi adalah mengenal, mengamati, menemani dan merasakan. Itulah bagi saya esensi persahabatan.

    Alasan kedua, memilah-milah nafsu seperti kategori yang Anda sajikan, di luar dari manfaatnya secara teori dan filosofi, punya perangkap-perangkap kesalahpahaman, karena bagi yang sekadar melihat di batas permukaan saja, akan cenderung mengkategorikan dan menilai nafsu berdasarkan objeknya. Misalnya nafsu amarah dan birahi akan lebih sering mendapat label insting, dan berkonotasi negatif. Sementara nafsu yang muncul sebagai semangat berjuang misalnya, akan cenderung mendapatkan nilai yang lebih mulia atau positif.

    Saya melihat keempat kategori nafsu dalam sufi tersebut lebih sebagai spektrum, yang bergerak berdasarkan variabel derajat awareness atau kesadaran diri. Nafsu level pertama, muncul sebagai energi instingtif yang diikuti, atau minimal menggoda-merayu untuk diikuti, dan ketika diikuti biasanya tanpa kadar kesadaran yang kuat. Nafsu level tertinggi yang mas Fahd sebutkan, baik diikuti atau tidak, bertemu dengan hal yang sama, yakni kesadaran kita yang kuat.

    Dengan kata lain, dari nafsu level 1 hingga level 4, sebenarnya bukan dimaksudkan untuk membedakan jenis dan objek nafsunya, namun mewakili tingkat PERSAHABATAN kita dengan nafsu itu sendiri, apapun jenis dan objeknya. Nafsu birahi maupun amarah pun, bilamana ditemui kesadaran yang kuat, bisa menjadi kendaraan untuk pencerahan diri dan pengalaman ketuhanan. Sementara nafsu untuk berbuat baik, ketika diikuti dengan kesadaran yang buta, bisa menjerumuskan kita juga.

    Tidak ada satupun hal dalam diri atau ‘nafs’ ini yang perlu ditundukkan. Sekali lagi, hanya cukup dikenal, diamati, ditemani dan dirasakan. Pada saatnya, semuanya, diri-nafsu-cinta-mereka-Tuhan-misteri, akan lebur, cair ke dalam keheningan, kesunyian yang tak sanggup lagi berkata-kata.

    Terimakasih atas persahabatan butir embunnya ☺

    Reza

    ReplyDelete
  5. Anonymous12:21 AM

    wuiii
    asiiik. ditulis dalam bentuk artikel, nih topiknya.
    ;)

    ReplyDelete
  6. Anonymous11:06 PM

    Artikel anda cocok seperti apa yang dikatakan guru saya....Osho

    Salam

    ReplyDelete
  7. mas reza aku penggemar nih mau ikutan nimbrung aja.



    peace

    rike

    ReplyDelete
  8. Mas Reza,
    sorry sebelumnya Out of Topic.
    Mau tanya, apa bener mas Reza ini lulusan FE UI angkatan 94 (angkatannya Jafir, Ari WInner) n mantan asdos aplikom ? Saya alumni FE UI angkatan 97, saya kayanya pernah liat Mas Reza di kampus FE UI jaman kuliah dulu.
    Kalau benar, salam kenal dan semoga makin sukses.
    Btw, blognya boleh saya link?

    ReplyDelete
  9. Anonymous5:20 PM

    Hai Reza, boleh bagi opini ya, hasil ngobros sama seorang Sahabat, Ripsi dari topik arsitek hingga ke nafsu.
    oy, ijin ngelink dgn blog Reza ya...hehe, akhirnya blog ku punya napas lagi

    Gapsuwat:Gagap Nafsu Syahwat
    UuuuPs!
    Kaget eeuy…tiba-tiba ada yang nabrak. Si Abang Ripsi ni ga ngebel dulu, kluntung-kluntung tau-tau ude selonjoran kipas-kipas asoy sambil nyuruput kopi tur sertamerta bersuara…

    “nggak semua bugil itu pornografi. memaksakan apa yang ada di otak kita kepada keberagaman bunga itu merusak keindahan taman. gua pikir, pondasi berfikir semacam itulah yang membuat bangunan ekstrim menjulang tinggi, hingga kemudian ambruk sebagai menara babel.
    kedangkalan berfikir memang, saat menganggap orang bugil sama dengan pornografi”

    Topik’e malah jadi makin berbunga-bunga jej! kali ini tamasya ke taman bunga bugil.

    Naked Daisy Flower
    Hmm, omongin bugil jadi ingat Ocha (4thn), anak asisten saya pada saat sedang mandi pernah bertanya pada Mamanya, ‘gajah’ Mama seperti apa? Gelagapanlah mamanya, tak tau bagaimana harus menyikapi pertanyaan Ocha. Apakah pertanyaan seperti ini porno? Rasa ingin tahu yang alamiah, mengalir sebening embun. Bebas tendensi eksploitasi, bebas dari unsur pelecehan, sikap hormat tidak dibuat-buat tetap ada di sana. Di mana batas porno dan tak porno dapat diberi tanda?

    Nafsu syahwat secara alami dimiliki oleh manusia sama seperti nafsu-nafsu lainnya, namun nafsu selalu punya dua mata kail, satu yang runcing dan tajam siap mencucuk hidung, namun mata kail yang lain adalah mata kail tumpul dan licin hingga ada ruang untuk mengambil arah yang berbeda dari nafsu itu sendiri. Bila (diri pasrah saja) dicucuk kait tajam, diri jadi alas kaki nafsu, mengekor kemana saja nafsu menggiring. Namun bila memilih bergantung pada mata kail yang tumpul, kapan saja kita mau, kita dapat melepaskan diri, tidak mengekori nafsu namun berjalan beriringan dengannya. Memasang mata padanya dan bebas mengatur jarak, menempatkan diri sebagai pengamat bukan kroco.

    Barangkali sebagai ilustrasi saya ingin berbagi pengalaman saya saat mencoba mengatakan tidak pada rasa ngiler yang sangat terhadap durian. Saya tidak bermaksud menyamakan dorongan berahi dengan dorongan makan, namun ada kesamaan pola bagaimana dorongan itu menggedor kesadaran kita. Mengguncang keinginan dengan amat sangat yang kata beberapa rekan bisa sakit kepala bila tak dituruti. Saya sangat sangat doyan durian, ketika saya ke indogrosir pas saat itu durian bangkok sedang dibuka untuk dipaket. Begitu masuk, wangi aromanya sudah memaku hidung saya, refresh rekaman betapa daging durian yang tebal, empuk dengan aroma yang aduhai wanginya langsung online. Sontak produksi liur meningkat, detik itu saya iseng memilih mengamati bagaimana kerja dorongan hasrat ‘giur ngiler’ berusaha mendikte diri. Keinginan yang sangat untuk mencicipi saya coba beri jeda, coba beri jarak dengan memasang mata pada gerak hasrat ngiler tersebut. Terhitung sejak hidung terhipnotis wangi aroma durian, air liur ngeces deras, hangat rasanya mulut ini, sampai rasa giur rasanya makin membesar, ngiler makin menjadi-jadi, menguat serasa semakin penuh, semakin memenuhi ubun-ubun, memang agak puyeng ketika keinginan itu rasanya menyentuh ubun-ubun, bombastisnya tembus ubun-ubun namun lalu selang beberapa detik sesudahnya, tek..tek…teek rasa pelan tapi pasti bersalin rupa bersama waktu kadar ngiler berangsur-angsur surut, melemah dan terus melemah hingga kembali biasa. keadaan biasa seperti sediakala. tak ada riak, tak ada ombak.
    Demikianlah bagaimana modus rasa memeras, mendesak kesadaran kita, yang akhirnya mencucuk perilaku kita. Kembali ke masalah esensi porno. Porno sejati tercetak pada pola bagaimana kita merespon setiap rangsang yang datang menyentuh wilayah nafsu. Sebuah kasus pelecehan terjadi yang pelakunya tak kuasa menahan diri lepas menonton pentas dangdut. Penyanyinya tak berbugil ria, namun pelecehan tetap terjadi. Benang merah apa yang bisa ditarik menghubungkan tanya dan jawaban atas kasus ini? Gaya erotis. Mungkin. Namun kalau boleh berpendapat, kegagapan diri terhadap nafsu birahilah yang menjadi akar, gaya erotis hanyalah ranting. Bila hanya mati-matian memotong ranting, tak akan kunjung selesai petaka yang timbul dari gapsuwat, gagap nafsu syahwat.

    ReplyDelete
  10. Anonymous7:14 PM

    Halo Bung Reza, terima kasih, artikel ini seperti salah satu jalan untuk membantu saya mengendalikan nafsu. Beruntung saya telah me-link blog Anda dan sekali tempo saya membacanya.
    Belakangan saya memang ingin sekali bertekad kuat mengendalikan nafsu amarah. Saya orang yang mudah emosi dan untuk itu saya ingin belajar mengendalikannya. Saya juga ingin melatih kepekaan alami untuk berpikir dulu sebelum bertindak.
    Ini karena saya sadar, nafsu amarah dan emosional yang kerap saya manjakan toh banyak mendatangkan kerugian buat saya. Salam hangat.

    ReplyDelete
  11. Hallo, Mas Reza! Udah lama nggak ada posting baru nih. Lagi sibuk apa? hehehe.

    Oya, Mas. Akun blogger saya yang dulu entah kenapa dinonaktifkan blogger.com, jadi tidak bisa saya akses lagi. akhirnya saya memutuskan pindah alamat ke www.fahd-isme.blogspot.com dengan alamat domain tetap www.ruangtengah.co.nr
    jadi link ke blog saya kalo bisa diganti aja sama yang itu. Thanks ya, Mas. :)

    Regards,
    Fahd
    www.ruangtengah.co.nr
    www.fahd-isme.blogspot.com

    ReplyDelete
  12. Anonymous8:53 AM

    Alo mas, nemu blog-mu dari tv acara infotainment, kirain Another Life of Reza Gunawan, ternyata Inner Life of Reza Gunawan. Nice title!

    ReplyDelete
  13. Anonymous3:33 PM

    Salam kenal Mas Reza. Artikelnya bagus banget. Tanpa sadar saya juga selama ini berusaha mempraktekkan hal yg mirip-mirip dengan yg m Reza ceritakan. Namun, saya memperluas lagi untuk seluruh hal yang kita rasakan, seluruh rasa yg kita cerap melalui panca indera, bahkan seluruh imajinasi yang muncul tanpa kita sadari. Jadi tidak hanya nafsu saja. Masalahnya, saya masih belum berhasil melakukan hal tersebut secara kontinyu. Jadi hanya sesekali kalau ingat saja. Tapi intinya sama dengan yg m Reza tuliskan, saya seringkali bisa merasakan lapisan-lapisan perasaan yg tersembunyi dibalik rasa-rasa yg biasa muncul.

    Saya tunggu artikel2 selanjutnya!

    ReplyDelete
  14. Ummh.. agak ribet bagi saya untuk mengerti kata2 di blog nya.. mungkin karena saya yang terlalu memakai kata2 yang tidak seperti ini..
    tapi saya suka!!
    tengkyu juga atas ulasan di blognya!!

    eniwei.. ttg perceraian marcel-dewi, dan ttg media yang kadang terlalu meliput ini, apakah kamu menggapi dengan emosi??

    ReplyDelete
  15. Agak sulit mencerna lapisan2 di balik nafsu yang mungkin sedang dirasakan, apapun bentuknya..

    Tapi nampaknya nasehat yang perlu dicoba..toh, manusia hidup harus selalu ada tujuan. Buat saya, kalau bahaya untuk dituruti, atau tidak terlalu penting utk ditaklukkan, lebih baik ditahan saja dan diamati. Good point.

    ReplyDelete
  16. Anonymous8:47 AM

    Alhamdulillah,
    Finally i find the answer for all my Q

    Makasih,
    Inoth

    ReplyDelete