Monday, December 01, 2008

Media Gosip: 'secuil' Fakta berbumbu Isapan Jempol & Fitnah

Entah sudah beberapa tahun di Indonesia, kita memperhatikan fenomena dan sepak terjang dunia pergosipan (baca: infotainment). Saya masih ingat suatu waktu ketika keluarga saya sendiri seringkali menikmati tayangan kehidupan figur publik tanah air, setiap hari. Saya sendiri sejak dahulu tidak terlalu menikmatinya, karena menurut saya buat apa mengintip urusan pribadi orang lain. Begitu banyak urusan sendiri yang masih perlu perhatian. Namun karena tinggal di satu rumah, saya akhirnya memutuskan untuk latihan bertoleransi terhadap kebiasaan keluarga tersebut.

Saya tidak pernah menyangka bahwa observasi saya pada saat itu, ternyata berkembang menjadi suatu pengalaman, bahkan pelajaran, yang cukup mendalam. Pengalaman selama beberapa bulan terakhir ini dipicu oleh perubahan baru dalam kehidupan pribadi saya. Rasa pahit, sedih, bercampur marah tidak jarang menghampiri. Memang benar kata orang bijak, kita belajar bukan dari pengalaman yang manis, namun justru yang berat dan pahit.

Jarak dan Keterlibatan Mempengaruhi Strategi

Dahulu, mudah sekali saya menyimpulkan dalam hati ketika teman-teman figur publik menyampaikan uneg-unegnya diburu pers. Dalam benak saya berkata “ah, itu kan resikomu menjalani peran sebagai figur publik, mau tidak mau harus belajar menerimanya kan?” Hidup memang lucu, ketika kita mengamati suatu pengalaman dari jarak tertentu, dengan kadar keterlibatan tertentu, maka rasa, pengalaman dan kesimpulan yang kita petik bisa jauh berbeda begitu jarak dan keterlibatan kita mengental. Itupun terjadi pada saya, sekarang saya belajar memelihara kewarasan dengan kadar keterlibatan yang baru.

Menurut pengamatan saya, yang juga diperkuat dengan saran berbagai pihak, untuk menghadapi buruan serigala pelaku infotainment, strategi yang paling jitu adalah “cuekin aja”, atau “no comment”, atau “diam itu emas”. Boleh dibilang sebagian besar figur publik menggunakan strategi ini sebagai “agama”-nya.

Entah apa alasannya, saya merasa cuek itu berbahaya. Memang kita jadi lebih terlihat dari luar seperti tenang, seperti tak terpengaruh, dan seperti kuat. Namun ketika rasa tidak nyaman tersebut terus menerus diacuhkan, dia mulai menyelinap ke bawah sadar, dan mulai menggerogoti ketenangan sejati, bahkan kesehatan fisik dan mental.

Diam itu emas pun, bilamana tidak ditakar dengan bijaksana, seringkali bagaikan menumpuk bom waktu. Saya sudah beberapa kali mengalami ini. Justru ketika saya mengizinkan diri untuk berbicara, tanpa diikuti harapan untuk mengubah orang lain, hanya sekadar mengkomunikasikan isi hati, di saat itulah saya berhasil memulihkan ketenangan dan kedamaian.

Dalam ilmu terapi, kita bisa lega ketika berkesempatan mengekspresikan diri secara jujur, apakah itu melalui menulis, berbicara, melukis, menari, bernyanyi, dll. Selama ekspresi tersebut tidak diikuti harapan hati untuk mengubah pendapat dan sikap orang lain, dia tidak akan menumpuk lebih banyak stres, justru mencairkan beban yang sudah ada.

Agaknya inilah satu-satunya alasan mengapa saya menulis, terkadang tentang kehidupan pribadi saya, karena bagi saya, menulis adalah terapi untuk diri sendiri. Ketika jarak dan keterlibatan narasumber dengan pelaku infotainment sudah sedemikian dekat, maka strategi cuek dan diam sudah kehilangan efektivitasnya bagi saya.

Berita infotainment: lebih banyak fakta atau fiksi?

Kalau dari kata ‘gosip’, sebenarnya kita semua tahu bahwa gosip tidaklah selalu faktual, namun saya sering mendapati bahwa tanpa sadar, saat kita duduk depan televisi yang menyiarkan acara gosip, atau membaca tabloid gosip, sulit sekali untuk tidak berpendapat tentang liputan tersebut, atau bisa menikmatinya dari posisi yang netral. Bahkan tidak mudah juga untuk menerimanya sebagai gosip (baca: belum tentu fakta).

Saya ingin berbagi pengalaman pribadi tentang proses peliputan berita gosip yang saya alami. Tentunya belum tentu setiap figur publik mengalami persis sama dengan yang saya alami. Sebelum pengalaman ini, saya pun sudah cukup sering menghadapi media cetak maupun televisi (yang bukan media gosip) untuk keperluan liputan seputar kesehatan holistik.

Dari pengalaman media umum (bukan media gosip), tidak jarang ada pemberitaan yang melenceng dari wawancara. Ini cukup saya bisa maklumi karena terkadang pewawancara kurang jeli atau kurang mengerti, sehingga ketika dia menuangkan tulisannya, terpaksa memang menggunakan interpretasi subjektifnya sendiri.

Namun dalam pengalaman dengan media gosip, sungguh luar biasa derajat pemutarbalikan fakta, dan berikut ini saya ingin berbagi beberapa strategi peliputan gosip yang sudah pernah terjadi. Ini hanya sebagian contoh yang kami alami, saya hanya ingin memberikan gambaran nyata proses peliputannya saja:

1. Pemalsuan suara narasumber

Dalam suatu kesempatan, asisten Dewi Lestari ditelepon oleh salah satu infotainment yang meminta kesempatan wawancara, sekaligus klarifikasi berita pernikahan kami. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ternyata percakapan telepon tersebut direkam oleh pihak infotainment. Ini belum apa-apa, karena begitu keesokan harinya ketika rekaman percakapan tersebut ditayangkan, di akhir komentar sang asisten tersebut, ada lanjutan suara wanita lain yang mirip dengannya, memberikan komentar dan pernyataan tambahan yang tidak pernah disebutkan oleh sang asisten, dan dibuat seolah-olah menjadi satu komentar utuh dari pihak yang sama.

2. Pelencengan drama melalui narator

Pernahkah Anda memperhatikan suara narator dalam liputan infotainment, dengan intonasi dramatis? Itu juga salah satu alat pembentukan opini dalam liputan infotainment. Ketika sudah diselipkan di antara komentar langsung dari narasumber, maka pemirsa sulit membedakan lagi yang mana fakta, dan yang mana fiksi.

3. Fitnah yang sengaja, maupun (barangkali) tidak disengaja

Baru-baru ini, ada sebuah insiden antara saya dengan peliput gambar infotainment. Saat shooting acara televisi di panggung, saya berbicara baik-baik untuk meminta agar pengambilan gambar tidak dilakukan dengan jarak sangat dekat. Awalnya, kedua peliput gambar dari Indigo Production tersebut mau mengerti, dan kemudian meliput dari jarak yang lebih renggang, sehingga kami lebih nyaman dalam melaksanakan pekerjaan kami. Ini sangat saya hargai.

Namun ketika saya dan Dewi berjalan dari panggung menuju ruang rias, dan kemudian menuju mobil, kamera tersebut terus mengikuti kami dengan jarak sangat dekat, sekitar 30-50 cm dari tubuh kami, dan saya hanya bicara berulang kali agar peliputan gambar sudah cukup. Si peliput gambar hanya sekadar mengiyakan di mulut, tanpa mematikan kamera atau mengambil jarak yang lebih santun. Akhirnya saya memegang lensa kamera dengan permintaan yang sama, sambil memasuki mobil. Tiba-tiba si peliput gambar justru marah, memaki-maki kasar, bahkan memukul mobil saya dengan peralatannya.

Begitu keluar di liputan gosip online 'artistainment.wordpress.com', justru saya yang dinyatakan marah tanpa sebab yang jelas, dan bahkan dicurigai bahwa sayalah yang menghantamkan peralatan kamera ke mobil saya sendiri. Ini tidak mungkin terjadi karena waktu saya mendengar bunyi peralatan bertumbukan dengan mobil, kami semua sudah berada dalam mobil dengan pintu dan jendela tertutup. Saya punya minimal 3 saksi langsung dalam insiden ini. Entah karena dendam atau alasan apa, berita yang keluar justru sangat jauh dari kronologisnya.

4. Wawancara imajiner

Dalam tabloid C&R, pernah sekali Dewi Lestari muncul dalam sebuah artikel yang dikemas dalam bentuk wawancara langsung tentang kedekatan Dewi dengan saya. Ini sudah dibahas sebelumnya dalam posting Dewi di dee-idea.blogspot.com. Wawancara tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi. Tidak pernah ada kontak bicara, email atau telpon dengan sang wartawan. Bahkan beberapa waktu kemudian, kami mendapat input dari salah seorang mantan peliput infotainment, bahwa memang ada teknik ‘wawancara imajiner’, yang dihalalkan (baca: dianggap lazim dan boleh) dalam dunia peliputan gosip, karena teknik ini meningkatkan nilai berita yang disajikan.

5. Bongkar pasang komentar narasumber dan mengubah judul liputannya.

Dalam suatu kesempatan, salah seorang anggota keluarga Marcell diwawancara infotainment dengan pertanyaan apakah dirinya kecewa dengan perceraian Dewi-Marcell, dan dengan tenang dia menjawab di depan kamera bahwa dalam setiap perpisahan tentu ada kekecewaan, namun agaknya kedua pihak sudah memutuskan bahwa itulah yang terbaik, jadi pihak keluarga tentunya juga tidak menghalangi bilamana itulah jalan yang membuat kedua pihak bahagia.

Tetapi dalam liputan infotainment, keluarlah teks “Keluarga Marcell kecewa dengan keputusan Dewi”, didukung narator yang mengatakan bahwa pihak keluarga Marcell kecewa karena Dewi memutuskan untuk menikah dengan saya, bukannya kecewa karena keputusan Marcell dan Dewi untuk berpisah, sebagaimana liputan wawancara yang sebenarnya.

Jadi dalam hasil bongkar pasang tersebut, muncullah kesan adanya kekecewaan keluarga Marcell atas pernikahan kami, bukan atas perceraian sebelumnya. Bongkar pasang komentar dan narasi seperti ini, mungkin juga lazim dan lumrah.

6. Salah menangkap fakta

Kalau kategori terakhir ini, terus terang lebih banyak mengundang gelak tawa dan senyum bagi kami yang diliput. Meskipun saya akui, mungkin saja ini lebih banyak tidak disengaja. Di tengah keterbatasan informasi, keluarlah berbagai liputan maha meleset seperti:

“Marcell dan Dewi tukar pasangan, karena Reza Gunawan dan Rima Adams dulu adalah pasangan suami istri.”

Fakta: Reza dan Rima baru kenal beberapa bulan yang lalu, ketika Marcell memperkenalkan Rima sebagai kekasihnya. Rima memang sudah pernah menikah, dan kemudian bercerai dengan mantan suaminya yang tinggal di luar negeri. Tetapi mantan suami tersebut bukanlah Reza.

“Ketika Reza sudah mengakui hubungan cintanya dengan Dewi Lestari, justru Dewi MENYANGKAL dengan pernyataan blognya ‘There’s nothing unspecial between me and Reza’ yang artinya tidak ada yang istimewa dengan hubungan saya dan Reza”

Fakta: salah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Nothing unspecial” artinya tidak ada yang tidak istimewa. Ini cukup membuat kami terpingkal-pingkal karena liputannya menggunakan narator dramatis yang membacakan skrip salah terjemahan tersebut. Ini membuat Dewi dituduh menyangkal, bahkan dicap munafik. Bagi kami, rasanya seperti ada lomba adu bodoh antar infotainment, dan mereka saling mengungguli satu sama lain, sehingga kami sulit menentukan “siapa yang jadi juaranyaaa…”

“Balada wanita paruh baya berusia hampir 50 tahun”

Oh, ada satu lagi. Dulu sekali, Rima sempat diliput sebagai wanita paruh baya yang ada di dalam mobil Marcell. Dengan bermodal niat baik, dalam blognya, Dewi berusaha menjelaskan bahwa Dewi kenal langsung dengan Rima yang begitu baik dan ramah, dan juga Rima itu “nowhere near half century old”. Begitu keluar di salah satu media online, tulisannya menjadi “Kabarnya Rima ini sudah berusia hampir 50 tahun / setengah abad”. Saya langsung menyerah dan angkat tangan.

“Nama anak kami sering sekali salah liput”

Entah mengapa di berbagai media keluar nama “Keenan Sidharta, 3 tahun”, padahal nama aslinya “Keenan Avalokita Kirana” dan dia sudah berusia 4 tahun lebih.

“Seringnya komentar yang tertukar dan/atau ditambah”

Sewaktu saya dan Dewi diwawancari di Blitz Megaplex, dan kami membaca liputan tertulisnya di beberapa media, banyak sekali komentar yang tertukar. Pernyataan yang saya buat, justru diliput seolah Dewi yang berbicara dan juga sebaliknya. Bukankah kalau memang wawancara tersebut direkam gambar dan/atau suaranya, peliput bisa membedakan siapakah yang sedang membuat pernyataan? Bahkan banyak juga pernyataan yang tidak pernah kami sampaikan, tetapi diliput seolah kami mengatakan hal-hal yang sebenarnya isapan jempol sang peliput.

Pernyataan Terpenting yang Perlu Perenungan

Saya belajar untuk realistis. Di tengah praktek pelaku liputan gosip yang seringkali menjengkelkan karena melanggar etika dan privasi, saya tidak menuntut atau meminta mereka berhenti, atau menjadi lebih etis dan cerdas. Itu cukup menjadi doa dalam hati saya saja.

Fokus yang terpenting saat ini adalah bukan pada para peliput gosip, namun pada saya dan Anda sebagai publik. Ketika kita terekspos dengan informasi gosip terkini setiap hari, tentunya merupakan pilihan bebas kita masing-masing untuk mengonsumsinya (baca: lihat, baca dan dengar) atau tidak.

Namun pertanyaan maha pentingnya adalah, setelah kita tahu bagaimana proses peliputan di balik produk berita-jadi-siap-saji tersebut, apakah kita masih bisa berasumsi bahwa apa yang kita tangkap dari media gosip, merupakan fakta, atau minimal lebih banyak faktanya?

Dan lebih lanjut lagi, kalau kita bisa melihat bahwa kadar fakta dalam liputan gosip seringkali sangatlah sedikit, masihkah kita bisa mempertahankan bahkan menganggap benar pendapat, reaksi, dukungan, cibiran, pujian, hinaan, dan sederet penilaian kita yang didasari oleh berita-minim-fakta tersebut?

Hanya diri kita yang bisa menjawabnya dengan hati yang jujur.

Yang saya tahu pasti, sebagai pihak yang terlibat langsung dengan jarak dekat, sekarang saya menyadari bahwa kesehatan mental saya sendiri, berbanding terbalik dengan konsumsi infotainment yang saya terima. Bahkan saya telah mencabut ulang semua penilaian dan pendapat saya terhadap setiap figur publik yang diliput infotainment, karena sejujurnya saya tidak tahu apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi secara faktual dalam hidup dan pilihan mereka.

Bagi saya, mengkonsumsi informasi gosip dengan terus membacanya, menyaksikannya, bahkan menceritakannya pada orang lain, secara tidak langsung menjadikan saya berpartisipasi aktif sebagai pelaku gosip, yang memang terkadang lebih enak daripada membicarakan kelemahan dan permasalahan diri dan keluarga kita sendiri.

Bagi saya, biarlah ukuran baik-buruk dan benar-salah dalam kehidupan mereka tidak diukur oleh kesadaran manusiawi yang tidak lepas dari keterbatasan. Bagi saya, itu urusan pribadi antara mereka dan Sang Maha.

45 comments:

  1. Anonymous12:13 PM

    Hehehe. Dulu, saya selalu berpendapat, kebanyakan tidur adalah sesuatu yang kurang baik karena mengurangi produktifitas dan membuat seseorang jadi tidak efektif dalam menjalani kehidupan sehari-hari maupun bekerja. Sekarang, saya masih berpendapat kebanyakan tidur memang kurang baik, tapi kalau disuruh memilih antara tidur dengan nonton infotainmen, maka bagi saya tidur adalah kegiatan yang SANGAT produktif. Setidaknya, tidur membantu memulihkan energi dan menyegarkan otak. Nonton infotainmen cuma mengotori otak dan menimbun sampah di pikiran. ;-D

    Satu lagi, melalui observasi kecil-kecilan yang saya lakukan dari banyaknya teman dan kerabat yang berkomentar mengenai pemberitaan media sehubungan kasus ini, saya bisa menyimpulkan bahwa begitu banyak orang menghabiskan waktu sia-sia untuk nongkrong di depan pesawat televisi setiap hari, hanya untuk menyimak infotainmen. Bahkan, tidak sedikit juga yang meluangkan beberapa jam sendiri dalam sehari untuk menontoni drama kehidupan orang lain melalui layar kaca, meskipun semua berita yang ditayangkan rata2 sama, cuma stasiun dan programnya saja yang beda2. Hal ini membuat saya jadi berpikir, mungkin yang patut disalahkan dalam mengkerdilkan mental bangsa bukan cuma Raam Punjabi dan Indigo saja. :-)

    ReplyDelete
  2. Anonymous12:15 PM

    Sabar mas, pasti ada hikmah di balik semua itu...
    Jangankan tokoh publik seperti mas dan dee, orang biasa aja (saya) di wawancara lalu di beri bumbu ketika penulisan di media yang notabenenya no1 di indonesia (Kompas) 6 tahun yang lalu hehehe...

    ReplyDelete
  3. Anonymous12:26 PM

    bukankah pada dasarnya, kita selalu ingin tahu urusan orang lain? :D

    it's all about the money ~ Meja

    ReplyDelete
  4. Anonymous1:06 PM

    salam kenal mas Reza...terima kasih untuk artikelnya..saya sudah lama tahu bahayanya gosip ini buat kesehatan saya...kalau dalam agama kita gibah..seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Di rumah saya sudah lama matikan gosip/infotainment. Semoga mas Reza dan mba dewi tetap tegar..

    dari Ita
    itasyam.multiply.com

    ReplyDelete
  5. shame on me,
    saya anak komunikasi merasa malu infotainment yg notabenenya trmasuk "aliran" jurnalistik.. ^^

    the thing is,
    masyarakat indonesia suka sama acara sperti ini and that's why it keep going.. mencari sgala cara mendapatkan sensasi selebritis, so does the artists yg butuh fame!
    sounds like lingkaran setan
    infotainment-masyarakat-artis pen terkenal-infotainment-so on..

    mari2 kita tingkatkan pendidikan di indonesia yg jadi pangkal sgala masalah.. ^^

    ReplyDelete
  6. Anonymous1:24 PM

    Reza, ada baiknya emang klarifikasi kaya gini
    sebelumnya sy yg baca berita di artistainment.wordpress.com, heran dengan cerita yg katanya Reza marah tanpa sebab.
    dengan begini segala keadaan jadi jelas.

    ReplyDelete
  7. Anonymous1:24 PM

    Iyah bung reza, sisi baiknya : anda berdua menafkahi sekian wartawan, dan sekian juta pemirsa yang hopeless dengan situasi bangsa ini. Cinta kalian adalah inspirasi maaf hiburan buat semua.

    Anda juga diuji dengan kapasitas dan tensi tinggi yang tidak dialami yang lain. Istilahnya naik kelas. Naik Maqam pribadi menjadi lebih tinggi. Pasti fase kepompong ini berlalu dan menjadikan mas reza jadi kupu kupu. Tetap antusias, sabar dan membagi cinta buat semua mas. Doa para fans, murid dan orang orang yang pernah tersentuh cinta dan tangan kalian tak pernah berhenti. Keep heal the world.

    ReplyDelete
  8. Anonymous4:45 PM

    Eughh.. emang nyebelin wartawan infotainment .. Kalau kamu mendirikan Komunitas Anti Wartawan Infotainment atau Komunitas Anti Berita Goblok saya ngikuttt..!!!

    ReplyDelete
  9. Sedih sekali mengetahui banyak orang mencari nafkah dengan cara menjual kebohongan-kebohongan. Terlebih, sedih sekali menyaksikan masyarakat yang begitu gandrung pada kebohongan-kebohongan. Semoga lekas sembuh.

    Oya, Mas Reza. Link ke blog saya di "My Blog List" tolong diganti donk. Tinggal ditambahkan hypen (-) aja kok. semula fahdisme.blogspot.com menjadi fahd-isme.blogspot.com

    Makasih.:)

    ReplyDelete
  10. Anonymous6:18 PM

    Mas Reza, Saya yakin prinsip Bad news adalah good news, adalah motto dari hampir 99,9% media. Bagi mereka sesuatu yang normal, udah gak menjual lagi. Sesuatu yang baik, gak perlu diberitakan. Bila perlu berita baik dibikin gak baik supaya menjual! Bahkan ketika seseorang sudah menjelaskan yang paling benar atas apa yang terjadi pun, media tetap berusaha memelintir pernyataan tersebut. Meskipun apa yang akhirnya muncul bisa menimbulkan konflik baru di masyarakat. Alm Ayah saya pernah mengalami hal ini ketika beliau berbicara mengenai kasta dan adat di Bali. Syukurlah pada akhirnya, masalah bisa terselesaikan dengan baik tanpa perlu liputan media. Ditengah himpitan ekonomi yang sangat parah, rasanya menonton "kejelekan", "kekurangan", "masalah" orang lain seperti menjadi obat bagi diri sendiri.
    Lagipula kalo dipikir-pikir, semakin ditanggapi, media makin seneng kok... karena dia punya bahan jualan!
    Jujur... MEDIALAH yang bikin suasana negeri ini makin runyam!!! Mereka udah kebablasan mas....

    ReplyDelete
  11. Anonymous7:14 PM

    Kebetulan saya udah lama memperhatikan masalah ini. Betapa media bisa mengangkat dan menghancurkan orang dalam sesaat. Membentuk opini publik dengan tujuan tertentu dan membuat judgement sepihak yang sayangnya banyak didengarkan banyak orang. Lebih sedihnya lagi, orang2 berduit banyak menggunakan media yang mau dibayar mahal untuk menghancurkan musuh2nya, menjelekkan dan menghasut bahkan kadang2 sudah memberikan hukuman sebelum hakim mengetuk palu. Memang ironis sekali, semakin menyedihkan karena ini menjadi makanan sehari-hari yang menggerogoti mental banyak orang.

    ReplyDelete
  12. Anonymous7:41 PM

    dear mas reza,

    Aku pikir sebagai orang yang menyatakan diri tidak peduli terhadap
    kemenangan, mas reza menampilkan diri sebagai pribadi yang tidak mau
    kalah lewat tulisan2 balasan mas reza ke serena, anonymous, or other.

    Toh dari awal mas reza sudah tau ada tipe pembaca sudah terkunci dalam
    asumsi dan persepsinya sendiri. Lalu apa yang mas Reza lakukan? Mencoba
    membuka kunci-kah? Apa orang-orang seperti itu masih mungkin di dobrak
    persepsinya...? maaf mas, still have no idea apa pentingnya yg mas reza
    dan mba dee lakukan dgn tulisan-tulisan di atas.

    Apa-kah dalam hal ini kebenaran tidak cukup dinyatakan saja di blog
    depan mas reza? dan perlu pembelaan sekuat pikiran? fiuuuuhhh...
    yang mas reza lakukan di atas sebuah pembelaan-kah?atau sebuah
    kompensasi-kah? kompensasi geramnya mas reza atas fitnah media ataupun
    tanggapan yang menghujat bin menghakimi...
    just wonder apa yg sbenarnya sedang mas reza lakukan..jika berkenan,
    tolong dijawab ya mas..

    Jadi bertanya-tanya, ada apa dibalik ajang saling unjuk sudut pandang
    oleh orang-orang di atas...? Nafsu-kah? Ego-kah?

    Hmmm....manusia memang menarik ya ^.^

    Salam Bahagia,
    -NaluRiTa-

    ReplyDelete
  13. Dear Narulita,

    Peduli image dan mengejar kemenangan bukanlah perhatian utama saya. Seperti belasan tulisan saya yang lain, saya senang memperhatikan fenomena kehidupan, yang ketika dirasakan dengan jernih bisa melahirkan wisdom bagi pembelajaran jiwa saya sendiri.

    Ini memang tidak berarti bahwa hati saya selalu imun dengan begitu banyak penghakiman dan fitnah yang terjadi, tetapi saya berusaha menjernihkan rasa melalui tulisan saya dan juga meditasi.

    Mengubah pendapat dan sikap orang lain, serta mendobrak kuncian persepsi, bukanlah upaya yang realistis. Saya tahu kita tidak bisa mengubah orang lain, barangkali hanya bisa kita upayakan sebatas doa dalam hati saja.

    Salam bahagia pula untukmu.

    ReplyDelete
  14. Anonymous8:27 PM

    Sebelum Lulus Kuliah saya pernah bersumpah TIDAK AKAN MENJADI WARTAWAN INFOTAINMENT....
    setelah lulus, saya ditawari untuk bekerja pada sebuah Tabloid!! Saya tau Tabloid sangat identik dengan bacaan yang berbau gosip.. tapi waktu pertama kali ditawarkan, Tabloid Baru tersebut menjanjikan akan menjadi bacaan yang jauh dari gosip dan isu belaka! yang berbicara tentang musik, film-film baru dan profil artis sama seperti yang ada pada tabloid manapun disini. Lalu saya berpikir apa salahnya menjadi wartawan hiburan, bukan wartawan infotainment!! Tapi sepertinya persepsi Mas Reza wartawan infotainment dan wartawan hiburan disama ratakan!!! Jadi bukan bermaksud membela diri, tapi sampai saat ini..saya selalu berusaha mencari berita yang sesuai dengan FAKTA!!!pantang bagi saya memelintir berita meskipun itu berita bahagia seperti pernikahan mas Reza dan Mba Dee ataupun berita kawin cerai artis!!!!
    Tapi biar gimanapun saya berharap mas Reza tidak menganggap semua wartawan hiburan sama dan bodoh seperti yang mas tulis walaupun secara tidak langsung..!!! Terima kasih atas tulisannya, dan akan saya beritahu kesemua wartawan hiburan supaya belajar lagi sehingga tidak dipandang rendah dan dianggap sepele oleh para publik figur... karena biar gimanapun mereka punya Ijazah Lulus Kuliah yang menandakan mereka berpendidikan meskipun terkadang mereka melakukan HAL BODOH... THANKS

    ReplyDelete
  15. Kadang kalau dipikir dari sisi positifnya, dengan adanya infotainment, seorang artis atau publik figure akan selalu diingat oleh para penggemarnya dan menjadi tetap terkenal. Kalau dilihat dari sisi negatif, ya bete juga sih dengan berita yang mereka rekayasa sendiri. Ya, jalani sajalah. Tapi memang bagus juga penjelasan Reza di sini, jadi mengklarifikasi kesalahan yang ada.

    ReplyDelete
  16. Satu kalimat yang paling membuat saya impress, saya setuju apa yang dikatakan Reza mengenai "menulis dengan jujur untuk mengekspresikan diri". saya suka blogging dan secara sebelumnya saya ga tau kenapa saya sangat suka blogging. membaca kalimat itu, saya merasa kalimat itu benar. secara tidak langsung menulis dengan jujur membuat perasaan lebih lega.

    ReplyDelete
  17. sudahlah..
    g perlu harus diklarifikasi terus, seperti kata reza sendiri.. biarkan orang punya opininya masing2,toh kita tak akan bisa mengubah semua pandangan orang menjadi sama dengan yang kita mau..

    ReplyDelete
  18. Anonymous1:03 PM

    Hi mas reza.. sorry for being nosy in reading up ur blog .. i m a fan of Rima .. Ibu saya adalah peminat Sinetron, C&R and many more all those progs in SCTV and RCTI channels (we have that in Singapore)so we are kind of familiar with names like Dewi, Marcel and urself too...being a fan of Rima i do read her blogs too...(happy for her and all of you) anyway back to my story, can say its quite difficult to convince one who is pengikut setia all these infotainments; one classic example is my mum... can be quite a challenge to convince her the fact from fiction... especially when these infotainments provide stories with full of conviction.. sometimes i wonder do they ever get tired of doing all this?? do they ever feel guilty in distributing lies nation wide..(in my case internationlly la)?? are they able to sleep at night?? .. now u gave us the insight of those infotainments industry which my mum has been religiously watched...i should issue her an immediate restraining order to stop her from watching it.. hehehe..

    ReplyDelete
  19. ibarat dua sisi mata uang,,
    ada kiri ada kanan
    ada baik ada buruk

    saya jujur suka menonton infotainment, tapi bukan karna suka akan keburukan orang lain, karna saya suka menertawakan bangsa saya, masyarakat saya, industri media dan semua tetek bengeknya.

    tapi ada sisi positif dari infotainment,, saya bisa tahu blog mas Reza yang isinya menarik dan penting, kalau nggak ada infotainment,, reza gunawan, siapa tuh? yang saya tahu hanya dee,,
    hehehe....

    ReplyDelete
  20. Anonymous9:09 PM

    Yup! Infotainment hanya untuk mengambil data saja... Informasinya harus dicuci yang bersih bahkan sampai tujuh kali pakai tanah.

    Bangsa kita memang sudah lama dibodohbodohi. Sudah tradisi,,, Penjajahan empat abad terlalu lama. Butuh revolusi? :-D

    ReplyDelete
  21. Anonymous9:15 PM

    Panjang lebar anda dan dewi menuliskan di blog kalian masing2 ttg keculasan media terhadap kalian berdua, dibuktikan dengan menikahnya kalian berdua setelah kurang lebih 3 bulan dari perceraian dewi..
    Saya pikir semua orang bisa ambil kesimpulan sendiri dari menikahnya kalian..
    infotaiment sekali lagi hanya media, kalian sumbernya..
    yang salah media atau sumber???

    ReplyDelete
  22. Anonymous9:49 PM

    Buat Anonymous (yang nulis ini: Panjang lebar anda dan dewi menuliskan di blog kalian masing2 ttg keculasan media terhadap kalian berdua, dibuktikan dengan menikahnya kalian berdua setelah kurang lebih 3 bulan dari perceraian dewi..Saya pikir semua orang bisa ambil kesimpulan sendiri dari menikahnya kalian..
    infotaiment sekali lagi hanya media, kalian sumbernya..yang salah media atau sumber???):

    Nyet, mereka mau nikah 3 bulan kek, setengah bulan kek, bukan urusan elu juga. So shut your freaking mouth (or hand?) and stop nyampah di blog orang. Mau si Reza klarifikasi kek, ngomel2 kek, marah2 kek, itu urusan dia dan HAK DIA kaleee, karena ini blog dia. Lah elu siapeeee?

    ReplyDelete
  23. Hehehe... jujur, saya paling senang nonton infotainment :) Soalnya tayangan ini adalah laboratorium hidup bagi saya untuk belajar menganalisa ;) Untuk belajar memilah informasi; mana yang masuk akal dan mana yang tidak.

    Biasanya sih saya having fun mencoba membedakan mana yang fakta, mana yang rekayasa :) Kalau saya pada akhirnya memuji atau mencibir, itu lebih berdasarkan pada analisa saya sendiri. Makanya justru sering bertolak belakang dengan arahan infotainment ;)

    Saya maklum mengapa Anda menumpahkan unek2 di entry ini. Yah, selama menjadi terapi buat diri sendiri, bukan sebagai upaya untuk membujuk masyarakat memusuhi infotainment ;)

    Salam,

    NB: saya nggak ada hubungannya dengan infotainment mana pun :) Boleh di-cek melalui asistennya your spouse ;)

    ReplyDelete
  24. Anonymous8:38 AM

    Dear Mas Reza..

    Awalnya saia suka nonton infotainment..lumayanlah jd tw berita artis2 hehe.. :D tp lama kelamaan merasa jenuh juga karena sepertinya beritanya memang berlebihan..apalagi setelah membaca postingan 'ini'..saia makin yakin klw infotainment itu 'ga bgt'.. :D

    btw selamat yah untuk pernikahan kalian..semoga kalian menjadi keluarga yang selalu bahagia..amiin.. :)

    ReplyDelete
  25. Buat Mas Reza & Mbak Dewi,
    (pasangan ideal tahun 2008 versiku.hehe)

    Sabar aja yaaa..ditengah kebrutalan media yang tak lagi mengenal halal dan haram tidak ada yang bisa dilakukan kecuali bersabar.
    Gunakan saja energi, pikiran, hati, dan jiwa mas & mbak yang kukagumi untuk menghasilkan karya2 tulisan/perkataan yang bagus, yang mampu memotivasi, mencerahkan dan membahagiakan orang lain daripada melayani tulisan/perkataan buruk bin ngawur orang2 diluar sana yang lebih suka menjatuhkan daripada melihat orang lain bahagia.

    percayalah..
    Masih banyak orang yg bisa berfikir n' memilah mana yg bisa memberikan manfaat dan mana yang tidak.

    eniwey,tengkyu dah merubah persepsiku dari
    "Ahh, salah sendiri jadi artis"
    menjadi "Artis juga manusia, punya rasa punya hati, punya hak untuk dihormati, bukan semata untuk konsumsi apalagi dikhianati..*hallah*"

    Cheers,

    ReplyDelete
  26. Salam kenal mas Reza, wah akhirnya dpt pencerahan setelah membaca klarifikasi anda dari blog ini...Kemarin saya memang sempat bertanya-tanya, kenapa kok Mas Reza bisa sampai "segitunya" sama salah satu (wartawan) infotainment...., setelah saya baca tulisan anda, saya jadi tahu kalau peristiwa itu ada kronologisnya. yach memang bener, kalo para narator infotaiment itu pandai "memutar" fakta dan kata2. Salah satu buktinya adalah nama anak Mbak Dee, di infotainment namanya "Keenan Sidharta", lalu waktu saya baca blog nya Mas Marcell, dia menyebut buah hatinya bernama "Avalokita", lho siapa "Avalokita" itu? Eh akhirnya, dari sini juga saya tahu ternyata media yg bikin kesalahan informasi lagi ckckck....

    Sabar saja ya mas, pokoknya tetap menulis, krn apa yg anda katakan benar, "menulis adalah sarana untuk mengekspresikan diri..."

    ReplyDelete
  27. Anonymous7:39 PM

    Halo, salam kenal..

    selamat ya, atas pernikahan kalian berdua :)

    komentar saya untuk tulisan ini, adalah tulisan saya di blog saya beberapa waktu lalu:
    http://herli.web.id/kesedihan-ini-bernama-kenyataan.html

    ReplyDelete
  28. Anonymous7:53 AM

    Saya sempat juga melihat tayangan infotainment yang ada adegan mas Reza menutup2i lensa kamera si wartawan. Sebagai penonton yang juga mendengar narasi2 infotainment tersebut, jujur, kemaren2, saya kesal juga dengan sikap mas Reza tsb. Namun, setelah baca blog ini, saya baru tahu bagaimana awal kejadian yang sebenarnya, jadi saya minta maaf sudah beranggapan yang negatif pada mas Reza.

    Buat tulisan Anonymous yang juga berprofesi sebagai wartawan, saya rasa tulisan mas Reza ini bukan menggeneralisasikan bahwa semua wartawan infotainment bodoh. Nmun, alangkah baiknya jika sebelum menerjemahkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia jangan sembarangan. Jika tidak mampu, minta tolong pada yang ahli. Karena bagaimanapun saat ini, media massa sedang memainkan peran penting dalam menentukan dan menyebarkan opini publik. Apa yang dimuat di media adalah yang dianggap benar dan sah oleh publik. Jadi, sebaiknya para wartawan juga harus berhati2 dalam menulis berita.

    ReplyDelete
  29. saya tergelitik dengan kata-kata mas Reza di blog nya Jenny Yusuf, soal pekerja seks....kenapa mas reza bilang bahwa itu adalah "hal kurang etis yang kita anggap normal"? saya nggak setuju dengan penilaian etis/ nggak etis. apalagi mas sendiri terus2an mengatakan soal menghargai privasi. lalu kenapa mas juga menyebut bahwa PS itu "melanggar privasi dan perasaan dirinya sendiri"? kalau privasi memang cuma punya kita sendiri, saya pikir masalah melanggar atau tidak melanggar itu bukan urusan orang lain. tapi urusan dia sendiri...
    anyway, selamat buat pernikahannya ya...:)

    Rahmi

    ReplyDelete
  30. Anonymous11:42 AM

    Saya ga suka nonton infotainment.. ehm, in fact, saya nggak suka nonton TV lokal.Banyak yang nggak pentingnya. Jadi nggak terlalu ngikutin, seheboh apa berita ini.

    Tapi, bukannya dengan banyak menulis tentang masalah ini, maka akan bermunculan semakin banyak cuilan-cuilan fakta yang dibumbui isapan jempol dan fitnah? Makin banyak yang bisa diangkat/jadi sumber inspirasi mas :D

    Dan kenapa nggak rubah mindset, alih2 merasa jadi 'objek' kenapa nggak ikut jadi penonton dan menertawai ketololan2 acara tersebut?

    eh susah ya? Maab, nggak pernah masuk 'gelanggang sana' sih, jadi nggak tau rasanya.

    pis ah.

    ReplyDelete
  31. Halo mbak Dwirahmi,

    Agak bingung pertama waktu baca comment Anda, karena pernyataan saya dibuat di posting orang lain di blog lain :)

    Barangkali sekadar meluruskan, saya tidak bermaksud bilang bahwa pekerja seks itu kurang etis bagi saya. Maksud saya dalam komentar tersebut, itu adalah profesi yang seringkali dicap tidak etis secara umum. Dan terus terang bagi saya, profesi tersebut tidak perlu dinilai etis atau tidaknya.

    Yang saya maksud adalah, seorang pekerja seks memilih untuk melanggar hal yang biasanya dia tidak akan relakan (tubuhnya) oleh dirinya sendiri demi memperoleh uang.

    Dan sebagai pembandingnya yang saya tulis di blog Jenny tersebut, dalam praktek infotainment yang (terkadang) memaksakan pekerjaan mereka pada narasumber yang butuh privasi, peliput infotainment akan melanggar hal yang biasanya tidak akan direlakan oleh narasumber itu sendiri, demi si peliput memperoleh uang, rating atau oplah.

    Saya tidak bermaksud mendiskreditkan siapa-siapa dengan kesimpulan tak tertulis, hanya memperjelas komentar saya sebelumnya di blog lain. Semoga bisa menjadi lebih dipahami, meski belum tentu harus disepakati.

    ReplyDelete
  32. Anonymous8:50 PM

    Dear Reza,

    Selamat ya atas pernikahannya. Semoga bahagia dan langgeng.
    Lama tidak bertemu sejak lulus SMA 78 dulu.

    Andriyani

    ReplyDelete
  33. Wooooo..zaaaaahhhhhhh,
    congratz guys....

    just dont mind the press...

    keep on finding wat ure looking for in this life..

    ReplyDelete
  34. Anonymous11:47 AM

    salam kenal mas reza
    sudah lama saya ingin kenalan dengan mas reza
    thanks atas artikel2nya yang very inspiring me
    btw aku link ya blog mas reza di multiply ku (boleh ya?)
    anyway, be happy yach!!
    n congratz for the wedding (hope u n mba dee alwayz be happy too)

    hansen_zinck@yahoo.co.id

    ReplyDelete
  35. Anonymous3:30 PM

    Yup, narator & asal penggal-sambung komentar di acara gosip/infotainment memang sering memelintir faktanya dan sering menumbuhkan kesan tertentu yang keliru bagi penontonnya. Bahkan tak jarang si narator yang 'mengkonfirmasi' pertanyaan gosip, bukan narasumbernya. Aneh! Ckckck... *geleng-geleng*

    ReplyDelete
  36. sebaiknya MUI mengeluarkan fatwa pelarangan Infotainment sajah..
    sungguh, sudah kacau kali bah bangsa ini...
    lama2 kita ini jadi bangsa(t) indonesia :)

    UU tentang pornografi aja udah ada,...
    tentang pencemaran nama baek / UU yang mengatur Infotainment harusnya ada juga nih...

    Salam,
    -SH-

    ReplyDelete
  37. Anonymous11:39 PM

    Ya udah lah Rez....Ya udah......kamu juga sih suka banget nulis ya.....cuekin aja, apa kamu merugikan mereka? Udahlah...berkarya ajah, fokus dengan karir kamu n membangun keluarga baru dengan Dee...

    ReplyDelete
  38. Dear maz reza, congratz 4 ur marriage.. Yupz, bicara masalah jodoh, sama seperti air mengalir (yg ga prnh tau, akan kemana mereka bermuara).. Tak ada satu orang pun yg tau, dengan siapa kita akan berjodoh.. Jd, bila mba dee berpisah dg marcell, lalu kemudian menikah dg maz reza, itulah yg dinamakan jodoh (takdir terindah yg Tuhan berikan).. Mungkin kalian jg ga akan menyangka bila perjalanan hidup akan seperti ini.. Sekali lagi: jodoh adalah takdir, bukan suatu keinginan.. Untuk mereka yg selalu menghujat pernikahan kalian, pahamilah.. Jodoh itu Tuhan yg mengatur, bila kalian terus menghujat, sama saja dengan kalian menghujat rencana tuhan.. Salam: nitnotkerenz.blogspot.com

    ReplyDelete
  39. Anonymous10:00 AM

    Duet aja ma Dee, nyanyi EGP-nya Maia =)!

    ReplyDelete
  40. Anonymous2:43 PM

    Saya tersenyum-senyum sendiri membaca tulisan Mas Reza ini. Hehehe. Infotainment ada karena ada pasar. kita 'kan tertarik dgn segala sesuatu yg heboh dan berbau konflik.

    Apapun keputusan hidup yg diambil seseorang, jelas itu hak prerogatif si pelaku hidup sendiri. Tapi, kadang memang acara gosip-gosipan begitu sudah keterlaluan karena sangat subjektif dan tidak verifikatif.

    Anggap saja omongan orang jadi alat kita untuk mawas diri ya, Mas Reza.. ;)

    ReplyDelete
  41. Anonymous12:31 PM

    mas reza,
    saya buka blog anda setelah membaca rectoverso yg indah itu.. selamat ya..atas pernikahan kalian dan cinta kalian yg kuat.. terasa banget dari jauh...:)
    selamat tahun baru.. bahagia selalu..
    salam,
    bonita surabaya

    ReplyDelete
  42. Anonymous11:12 AM

    selamanya orang akan terus bicara, menanggapi akan menghambat langkah kita untuk maju, mendengarkan dan membiarkan mungkin lebih baik, karena banyak yang bisa kita perbuat.

    selamat tahun baru
    sukses semuanya

    salam hangat,
    maya

    ReplyDelete
  43. Anonymous3:04 AM

    Dear mas Reza dan mbak Dewi..

    Saya tuh kuper, jarang sekali ngeliat infotainment,

    Untungnya: Ga terpengaruh ama semua isapan jempol dan fitnah yang diciptakan media.

    Ruginya: Baru tau kalo mbak Dewi, salah satu penulis dan penyanyi favorit saya, nikah dengan mas Reza hari ini..

    Kesimpulannya: Saya cemburu dengan mas Reza! Dan walaupun demikian, selamat ya, untuk kalian berdua! Semoga kalian bisa terus saling menyayangi, saling mencintai..

    Namaste
    -dari seorang fans yg cemburu dan tersenyum-

    ReplyDelete
  44. Anonymous8:34 PM

    this is y i dont have tv in my room... siaran tv kita itu gak bisa bikin kita cerdas. yang ada sakit jiwa (berita2 kriminal dan reality show), culas (sinetron2 bodoh), tukang gunjing (infotainment).. belum lagi iklan2 tv yang menurut saya 'cape deeeh'.. hanya 1 channel tv yg sesekali saya tonton di kamar tmn saya.. METRO TV...

    ReplyDelete
  45. Saya juga sering mengikuti infotainment saat jam makan siang di kantor dan menemukan banyak hasil wawancara dengan artis yang bersangkutan, yang di "bongkar pasang" seperti kata Reza. Hal ini dapat saya dengar langsung saat hasil wawancara dengan sang artis, ditambah-tambah/pelitisir oleh sang reporter supaya beritanya heboh dan bisa membodoh-bodohkan penonton. Saya turut prihatin.

    ReplyDelete