Tuesday, July 25, 2006

Divine Games We Like to Play

Sudah hampir genap 4 tahun saya berpraktek sebagai “Praktisi Penyembuhan Holistik”, atau terkadang disebut sebagai penyembuh yang menggunakan berbagai terapi alamiah untuk memulihkan kembali keseimbangan tubuh, pikiran dan jiwa manusia.

Hari ini, saya terdiam untuk merenungkan: apa yang saya bisa petik dari pengalaman ini?

Tidak jarang dalam proses penyembuhan, para klien saya mengalami “keajaiban”, mulai dari hilangnya tiba-tiba penyakit yang dulunya tak kunjung sembuh, kelegaan hati yang luar biasa diiringi tangis syukur dan rasa haru, hingga jiwa yang meledak penuh rasa cinta ketika menyadari “kehadiran Ilahi” dalam hidupnya.

Tak jarang pula, saya turut tersentuh dengan pengalaman nyata yang terjadi di depan mata saya, bahkan ikut menangis penuh haru dan rasa syukur.

Terkadang ego saya bermain, membuat saya merasa bahwa “penyembuhan” yang saya fasilitasi adalah berkat peran saya, Sang Penyembuh.

Ego yang senantiasa bertumbuh dan senantiasa dileburkan. Lahir dan mati, sama persis seperti proses hidup ini.

Ketika ego saya lahir, kok Tuhan jadi ada di luar saya, bahkan kadang-kadang saya curi peran-Nya. Ketika ego saya lebur, malahan Tuhan tidak ada sebagai objek eksternal dalam doa saya. Saya cari di atas, tidak ada. Di depan saya, juga tidak ada. Di dalam diri saya, juga tidak ada, padahal kata buku-buku spiritual dan orang bijak: “Carilah Tuhan dalam dirimu”. Enggak ada juga, tuh.

Lucunya waktu saya mengalami "Tuhan kok nggak ada, ya?" saya juga sadar bahwa klien saya juga tidak ada, meskipun panca indera saya masih melihat kehadirannya di depan saya. Yang paling aneh lagi, saya – Reza, juga tidak ada!

Apakah hidup ini? Bukankah hanya persepsi kita yang berkumpul jadi satu, kemudian kita definisikan, bubuhkan hukum, mekanisme dan peraturan hidup, tentukan penokohannya, lalu pencet tombol START dan berjalanlah ilusi yang mahadahsyat, sehingga kita “berasumsi” hidup ini nyata dan ada.

Aneh sekali rasanya menulis ini.

Seperti hidup ini dua permainan yang berbeda. Yang pertama, penuh dengan peran dan dinamika. Tidak sejati tapi rasanya nyata banget, mungkin karena terbiasa dengan realitas hasil dari “pabrik pikiran” yang sudah dipupuk puluhan tahun. Kita sebut saja: GAME 1.

Yang kedua, kok semuanya Aku? Nggak seru. Karena di mana-mana bertemu dengan Diri Sendiri yang paling Sejati. Tidak ada peran, tokoh, permainan ekspektasi dan harapan. Tidak ada masalah, karena hanya pikiran yang mempermasalahkan segala sesuatu. Hanya ada satu kesadaran. Satu eksistensi. Inilah GAME 2.

Mau main yang mana?

2 comments:

  1. Mas Reza, gimana caranya ikutan GAME2 ya?

    ReplyDelete
  2. Anonymous4:42 PM

    This is a 3 years ago blog, so you probably won't see this comment anyway, but still, I would like to say.... couldn't agree more...
    benar, yang ada hanyalah ADA.
    :)

    ReplyDelete