Friday, May 09, 2008

Menahan Diri, Menghidupkan Hati

Setiap tahun, ketika memasuki suasana berpuasa, saya merenungkan makna dan relevansinya. Demi kejujuran, terkadang saya mengikuti serunya sahur, dan merayakan nikmatnya berbuka puasa. Namun ada kalanya saya juga bertanya tentang apa perlunya melatih diri selama 30 hari ini. Mengapa dalam sebelas bulan lainnya saya tidak selalu tergerak untuk mengasah kemurnian diri? Kok, saya merasa lebih sering sekadar mengikuti arus ketimbang melatih diri dengan sadar?

Ini bukan masalah ketaatan atau kepatuhan. Saya hanya merasa, pada usia dewasa manusia perlu berevolusi dari sekadar keyakinan yang “dituangkan” pada saat masih kecil dan belum bisa menentukan pilihan, menjadi individu yang mampu melihat dengan jernih tujuan dan pilihan hidupnya, termasuk meninjau ulang kebiasaan-kebiasaan yang bersifat tradisi atau ritual agar esensinya tidak hilang.

Dalam perjalanan hidup selama ini, saya cenderung universalis, yang memandang bahwa kebenaran hidup bisa diperoleh di mana pun. Dan itu membuat saya memberanikan diri untuk mengintip berbagai tradisi, budaya, dan agama di dunia.

Saya sangat takjub ketika menemukan bahwa dalam setiap ajaran yang saya telaah, selalu saya temukan suatu bentuk latihan menahan diri, dari mulai menahan lapar, menahan emosi, menahan nafsu, hingga menahan untuk tidak menilai suatu situasi atau orang lain. Memang, judul, bungkus, dan tujuannya berbeda-beda, tapi bentuk latihan ini bisa ditemukan dalam setiap suasana hidup.

Padahal, tidak jarang juga terlintas di benak saya, “Hidup pada zaman ini kan sudah penuh masalah, mengapa kita perlu dengan sengaja membuatnya lebih susah dengan menahan diri?”

Saya jadi mulai menelusuri segala macam hal yang biasanya perlu ditahan. Nafsu makan, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu untuk menguasai. Semua ini muncul dalam batin. Batin kita bereaksi akibat pasokan informasi yang mampir lewat panca indra kita. Dengan kata lain, ketika panca indra berhenti memberikan informasi, maka kita pun tidak punya dorongan untuk merasakan apalagi memenuhi “nafsu”.

Masih ingat cerita pahlawan Daredevil, superhero pembela kebenaran yang begitu gesit dan tangguh, padahal sebenarnya buta? Sudah menjadi hukum alam, ketika informasi di salah satu panca indra terhenti, maka semua indra lainnya secara alamiah menjadi lebih peka, lebih mampu menangkap getaran halus yang biasanya tidak diperhatikan.

Barangkali inilah yang terjadi ketika seseorang melatih menahan diri. Dengan memperlambat pemenuhan nafsu yang biasanya dituruti dengan seketika, barulah kita bisa melihat lebih jernih batas antara nafsu dan kebutuhan. Kita lebih menghargai beragam berkah hidup yang sebelumnya mungkin kurang disyukuri. Rasa syukur ini tumbuh dari satu hal, yaitu bertambah pekanya hati.

Ya, memang kalau ditelusuri barulah kita sadar bahwa meskipun mata bisa melihat, hatilah yang mengapresiasi apa yang dilihat. Meski lidah kita mengecap, hati jugalah yang menikmati apa yang dikecap. Meskipun telinga kita mendengar, hati kitalah yang terbuai oleh keindahan bunyi, suara dan musik. Panca indra hanya menangkap informasi. Pada akhirnya kepekaan rasalah yang memungkinkan kita untuk menuai keindahan, kenikmatan dan kebahagiaan dari informasi tersebut.

Proses perenungan panjang ini melahirkan suatu kesadaran dalam diri saya, bahwa hidup bukanlah tergantung dari apa yang terjadi, apa yang kita inginkan maupun apa yang kita dapatkan dari kehidupan ini. Hidup ini tergantung dari bagaimana kita menghadapinya, bagaimana kita menari dengan perubahannya.

Bagi saya, tanpa hati yang hidup, peka dan terbuka, tidaklah mungkin kita menjadi manusia yang mengerti, menikmati dan mensyukuri. Dan jika melatih untuk mengelola berbagai nafsu dalam diri memang jalan menuju hidupnya hati, saya merasa ada suatu urgensi untuk “berpuasa” setiap saat, setiap momen. Sudahkah Anda menghirup napas, berhenti sejenak dan menghidupkan hati Anda pada hari ini? Dalam jeda-jeda sederhana seperti inilah, saya menemukan hidup yang sebenarnya, dan saya berharap untuk bertemu Anda di sana.

Published, EVE Magazine, September 2007.

4 comments:

  1. Saya suka sekali ketika melihat interview Mas Reza di Pagi Jakarta - O Channel beberapa waktu silam.
    You really did inspire me.
    And Now I've found your blog! Great.

    ReplyDelete
  2. Seperti kata Bimbo:
    Buat apa berlapar-lapar puasa?
    Lapar mengajarmu rendah hati selalu.
    Wah.. melatih diri utk menahan nafsu? Lewat blog ni, sy br sadar, mpe umur sy yg 20taun ini, saya blom pernah benar2 melatih menahan nafsu.
    Jujur saya takut, kak! Takut puasanya batal. Hwehe.. bukannya ga bs menahan nafsu, tp saya cenderung menghindari nafsu tsb dg TIDUR. Bangun cm pas sholat ma belajar, trus tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi, maghrib buka puasa deh..
    too bad!!
    Yah.. klo diijinkan bpuasa thn ni, nyoba melatih diri deh.. harus! ;)
    Tp menurut kak reza, gmn esensi MENGHINDARI nafsu dibanding MENAHAN nafsu?

    ReplyDelete
  3. Nafsu itu perlu dipahami mekanismenya. Kalau ditahan/dihindari, dia akan semakin berapi-api. Kalau diikuti tanpa kesadaran, dia akan menimbulkan masalah.

    Kita perlu belajar menjadikan nafsu sebagai kawan, bukan lawan, bukan atasan. Ini dimulai dengan mengasah AWARENESS (sadar, tahu, cermati, ngeh, eling) terhadap berbagai pikiran dan rasa yang muncul dalam diri. Ketika awareness meningkat, maka cengkeraman nafsu akan melonggar terhadap diri kita.

    Selamat berlatih.

    ReplyDelete
  4. Anonymous4:23 PM

    Berangkat dari sisi yang hampir sama dengan apa yang kamu pikir, Saya bertanya pada diri sendiri apakah makan dan minum termasuk dalam difinisi puasa? Padahal makan dan minum adalah kebutuhan basic dari manusia. Apakah jika kita sudah susah harus dibebani lagi dengan tidak makan dan minum? Padahal untuk menahan diri dalam keadaan kenyang saja sudah sulit. Saya terkadang berpikir untuk yang sudah begitu miskinnya dan makanpun belum tentu di lanjutkan juga harus tidak makan dan minum . Ada lagi pertanyaan apa sebenarnya difinisi puasa / Shaum dalam Al Qur'an itu .

    ReplyDelete