Seiring bulan cinta Februari ini, bisakah kita bersama menemukan pelajaran cinta dalam sepotong cokelat? Pernahkah Anda menikmati sepotong dark chocolate, dan merasakan beragam nuansa yang bisa terasa dalam setiap kunyahan, serta berbagai perasaan hati yang muncul dari pengalaman tersebut? Perhatikan bagaimana awalnya bongkahan cokelat tersebut terasa keras lalu setelah digigit atau dikunyah mulai terasa lembut dan meleleh dalam mulut Anda? Keras dan lembut, padat dan meleleh, merupakan spektrum pengalaman yang sangat nyata, bukan?
Perhatikan juga ketika rasa manis dan pahit datang silih berganti dalam pengalaman santap dark chocolate tersebut. Manis dan pahit pun merupakan rentang pengalaman yang sangat nyata.
Perhatikan juga ketika sepotong cokelat tersebut telah habis dalam mulut Anda. Ada rasa puas, dan tidak lama kemudian Anda merasa ingin untuk menikmati lagi sepotong cokelat yang baru. Siklus antara mendapatkan keinginan dan memperoleh keinginan, serta terpuaskan dan tidak puas, menjadi tema sentral yang juga bisa dirasakan dalam pengalaman menikmati cokelat.
Sekarang saya undang Anda untuk berhenti sejenak dan merenungkan pertanyaan sederhana berikut ini: bukankah semua pengalaman di atas juga merupakan rasa yang sama dalam berbagai pengalaman cinta dalam hidup kita?
Siapa yang tidak pernah merasakan aspek keras dan lembutnya cinta? Ketika dua pribadi bertemu, membawa pengalaman hidup dan ego masing-masing, terkadang interaksinya penuh kelembutan antara satu sama lain, sehingga bagai terhanyut dalam cinta. Dan juga sebaliknya, ketika kedua pihak sedang bersikeras mempertahankan posisinya sehingga terbersit rasa sesal: mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang ini?
Siapa yang tidak pernah merasakan manisnya cinta, senangnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari pasangannya, terbuai dalam segala keindahan yang dijanjikan cinta, dan sebaliknya merasakan pahitnya bertengkar, berbeda pendapat dan juga berpisah dalam hubungan cinta?
Siapa yang tidak pernah merasakan kesendirian, dan rasa ingin untuk berada dalam sebuah hubungan kasih, lalu mendapatkannya serta menikmatinya, lalu kehilangan pertalian cinta tersebut, disisipi dengan rasa tidak ingin berhubungan dengan orang lain lagi, tapi tidak lama kemudian berada lagi dalam sebuah hubungan cinta yang baru? Bisakah Anda memahami rentang rasa hati yang sama, antara menikmati sepotong dark chocolate dengan kehidupan cinta?
Inilah yang saya sebut realitas. Memahami kehidupan dari kedua sisinya secara menyeluruh. Realistis artinya memahami dan menerima realitas bahwa selalu ada dua sisi ini. Senang dan susah, untung dan sial, dipuji dan dihina, bertemu dan berpisah, mendapat dan melepas, merupakan dualitas hidup yang tidak bisa dihindarkan maupun dicegah, apapun caranya, bagaimanapun upayanya.
Bagi saya, pelajaran tentang cinta adalah suatu perjalanan yang merupakan bagian penting bagi kematangan diri dan evolusi. Ada limaa fase pertumbuhan jiwa yang saya amati dalam setiap orang, cobalah Anda renungkan di mana Anda pernah berada dan di mana pembelajaran Anda pada saat ini.
Fase 1: Mengejar manis karena ingin, hindari pahit karena takut
Di sini kita umumnya ‘tahu’ tentang manis/pahitnya cinta, tapi belum ‘ngeh’ tentang betapa mendasarnya pemahaman ini. Kita lebih dikendalikan oleh keinginan kita untuk mengejar manis dan segala cita-cita, serta begitu kuat berusaha menghindari kepahitan karena takut mengalaminya. Bisa juga diikuti dengan sederet upaya kita untuk memperbaiki diri, serta mengubah pilihan dan perilaku pasangan kita supaya memperoleh manis dan terhindar dari pahit. Kata kunci dalam fase ini adalah “berusaha untuk berubah”.
Fase 2: Menyadari bahwa ada manis, ada pahit
Di sini kita mulai membuka mata dan menyadari bahwa manis/pahit merupakan satu paket yang tidak bisa dipilah-pilah. Saat ini kita mulai mengerti bahwa kita tidak bisa hidup separuh saja, memang selalu ada dua sisi yang akan dialami. Upaya yang kita lakukan untuk “kejar manis, hindari pahit” masih dilakukan tapi mulai melunak, sehingga ada ruang dalam hati untuk lebih rileks dan menikmati kenyataan apa adanya. Kata kunci dalam fase ini adalah “sadar akan realitas”.
Fase 3: Sadar bahwa manis/pahit tidak pernah disebabkan oleh orang lain maupun keadaan, melainkan oleh pilihan kita sendiri
Di fase ini, kita mulai melihat kembali begitu banyak upaya yang sudah kita lakukan untuk mengubah pasangan kita agar kehidupan cinta lebih terasa manis juga tidak banyak berguna. Di titik ini pula, biasanya kita mulai sadar ternyata banyak ketidakpuasan kita sebenarnya bersumber dari ekspektasi dan harapan kita sendiri, yang ketika bertubrukan dengan kenyataan yang berbeda, sungguh sakit rasanya. Kita mulai mengerti bahwa orang lain serta keadaan hanyalah pemicu dari bom waktu yang kita rakit sendiri dalam hati. Dan akhirnya kita mulai memilih untuk menetralisir berbagai ekspektasi dan harapan agar lebih mudah ikhlas dalam hidup. Kata kunci dalam fase ini adalah “bertanggung jawab penuh atas diri sendiri serta berhenti menyalahkan dan berusaha mengubah orang lain.”
Fase keempat: Menyadari bahwa manis / pahit tidak bisa dicegah
Di titik ini, banyak beban urusan cinta mulai sirna, meleleh, dan kita terima sebagai bagian wajar dalam hidup, karena kita mulai sadar bahwa segala upaya, strategi dan sejuta trik mengatasi problema cinta pun ada batasannya. Ada momen-momen hidup tertentu, terutama yang mengandung pelajaran hidup, ternyata meski sudah berusaha dan berdoa pun, tetap tidak bisa dicegah dan perlu dijalani sampai tuntas, sehingga lahirlah kepasrahan jiwa yang tulus, bukan dipaksakan. Kata kunci dalam fase ini adalah “pasrah total”.
Fase kelima: Belajar menikmati manis dan mensyukuri pahit
Pada akhirnya, kita mulai mengerti bahwa semakin mengejar manis, semakin sulit manis bisa dialami. Semakin lari dari pahit, semakin awet masalah tersebut ada dalam hidup kita. Kita mulai hidup bebas dari preferensi, seperti potongan lagu “Mawar, melati… semuanya indah”. Kita tetap menjalani peran dan dinamika hidup sesuai dengan porsi yang wajar, tetap merasa manis dan pahit, tapi mengerti secara mendalam bahwa inilah sandiwara kehidupan yang perlu kita jalani apa adanya. Kita bisa hadir sepenuhnya untuk berbagai perasaan hati yang datang dan pergi, meskipun tidak selalu mudah menjalaninya. Kata kunci dalam fase ini adalah “merangkul mesra kedua sisi kehidupan, memetik kebijaksanaan dalam keseharian”.
Hidup ini memang tidak bisa lepas dari dualitas. Baik sepotong dark chocolate, maupun berbagi kasih dengan siapapun, kita tidak punya pilihan untuk hanya mengalami salah satu sisi saja. Selamat bertumbuh dalam kehidupan cinta, dan selamat Hari Kasih Sayang.
I love you and also myself, but most importantly I love whatever life offers me in this moment. Enjoy your wonderful piece of dark chocolate.
Published, Eve Magazine, February 20008.
* Picture taken from faeriesfinest.com
Surat Suara Tanpa Angka
-
*Surat Suara Tanpa Angka *
Setelah empat tahun absen, saya kembali ke rumah tua ini, *blog* yang
tadinya sudah ingin saya pensiunkan demi pindah ke alam...
10 years ago
Teringat akan petuah indah seorang Gede Prama : Mencintai kehidupan berarti bersedia untuk berpelukan sama mesranya dengan manis dan pahitnya esensi hidup, bila tidak..apa bedanya dengan minta neraka sebelum mati?
ReplyDeleteMencintai dan menikahi seseorang berarti bersedia untuk berpelukan sama mesranya dengan sisi indah dan sisi iritatif orang tersebut, bila tidak..apa bedanya dengan minta cerai sebelum nikah?
-Hanita,the singing dentist-
bitter chocolate is like bitter things in life..the bitterness gives pleasure,bitterness teaches us to learn to cope of life cycles of joy and bitterness,all the senses that can hurt yet to please.
ReplyDeleteAku suka dan sangat setuju dengan tulisan Hanita. Minta cerai sebelum nikah.
ReplyDeleteKalau cuman pengen manisnya cinta, pahitnya gak mau.
Terus kemudian mencari coklat lain yang kemungkinan cuman ada rasa manisnya saja, eh.... ternyata tetap saja ada pahitnya sedikit, kemudian dari sedikit itu menjadi banyak karena dipikir terus sehingga coklat yang seharusnya banyak manisnya menjadi banyak pahitnya.
Disisihkan lagi deh coklat itu, akhirnya memilih gula yang rasanya hanya manis saja.
Eh... tetap disisihkan gulanya seperti coklat tadi, karena rasanya manis terus akhirnya menjadi bosan terlalu manis.
Reza sudah pernah menikah ?
Yang kuat yaaa calon istrinya butuh bimbingan tuh..
Lebih berat daripada klien