Wednesday, May 07, 2008

Tiada Maaf Bagimu

Bertepatan dengan berakhirnya bulan suci Ramadhan, di mana mulut dan laku sudah dibudayakan untuk mengucap maaf, serta jari jemari sibuk mengirimkan untaian kata-kata indah yang bernada pemaafan via SMS, saya mengundang Anda untuk merenungkan sejenak makna maaf yang sebenarnya, agar benar-benar bisa berlatih saling memaafkan dari hati.

Saya seorang pecinta kebijaksanaan hidup. Tidak karena ingin menjadi orang bijak, tapi saya menemukan bahwa kebijaksanaan membuat hidup lebih ringan, lebih ikhlas dan lebih selaras.

Kebijaksanaan adalah esensi dari bagaimana kita memaknai dan menjalani hidup. Namun bungkusnya sungguh bisa bermacam-macam. Dulu saya berpikir kebijaksanaan hanya ada di segala hal yang saya anggap “suci”, seperti kitab suci, orang suci, dan bulan suci. Ternyata saya salah besar. Benar-benar dungu dan acuh terhadap kenyataan bahwa kebijaksanaan hidup ada dalam setiap bungkus. Masalahnya saya kurang jeli dalam menghayati momen-momen hidup.

Bungkus-bungkus yang paling sering tidak saya kenali sebagai “pembawa kebijaksanaan” adalah justru orang-orang yang membuat perasaan hati saya terusik, momen kehidupan di mana saya merasa sial, dirugikan, disakiti, di mana hati sungguh bergelut mengunyah pahitnya hidup dengan penuh rasa geram.

Kita semua tentu pernah mengalami betapa sulitnya memaafkan dengan ikhlas, tuntas dan sepenuh hati. Kita juga pasti pernah merasakan beratnya memohon maaf kepada orang lain, apalagi kalau orang tersebut tidak berkenan memaafkan kita. Bagaikan hidup menanggung beban yang semakin mendera, tidak hanya bagi yang mohon maaf, melainkan bagi semua yang terlibat dalam suatu konflik.

Pada saat-saat seperti ini, tidak jarang batin menjerit untuk mengutuk keadaan, menolak kenyataan sebagaimana apa adanya, dan ingin rasanya mengatakan “Tiada maaf bagimu!” kepada orang-orang yang kita salahkan sebagai penyebab derita ini, meskipun banyak guru bijak mengajarkan jalan pemaafan sebagai sarana untuk memulihkan ketentraman hidup.

Jadi tidaklah sulit untuk melihat bahwa pemaafan (forgiveness) yang terjadi sepenuh hati, merupakan suatu obat kedamaian. Obat yang membantu mengakhiri penderitaan, menerima kenyataan, dan mencintai diri sendiri serta orang lain.

Untuk bisa menyadari esensi pemaafan (forgiveness) yang sesungguhnya, kita perlu belajar dari tidak tercapainya pemaafan (unforgiveness). Apa saja salah kaprah tentang pemaafan, yang justru mengurangi manjurnya obat maaf, barulah setelah itu kita bisa belajar pemaafan yang efektif.

Salah Kaprah 1: Kita harus memaafkan

Untuk setiap pekerjaan hati, kata “harus” seringkali melahirkan keterpaksaan, dan rasa terpaksa ini mendistorsi pemaafan yang jernih dan tuntas. Meskipun orangtua, budaya dan agama mengajarkan bahwa pemaafan adalah sesuatu yang baik, sering sekali hati punya ritme dan tahapan tersendiri yang perlu dihormati. Ini sebabnya setiap kali kita memaksakan hati, sulit sekali merasakan lega atau tuntas dari masalah.

Bahkan sebelum segala emosi seperti sedih, marah, sakit hati, frustrasi sempat dinetralisir, seringkali kita memaksakan diri untuk memaafkan. Akibatnya, dalam keseharian kita sering mendengar orang mengatakan, “Sebenarnya saya sudah memaafkan dia dan peristiwa itu, tapi entah mengapa masalah itu masih sering sekali menyelinap di pikiran saya, dan ini sungguh mengganggu.” Ini yang disebut pemaafan prematur (premature forgiveness).

Bisa jadi, bilamana kita merasakan hati belum siap memaafkan, lebih sehat kita akui itu kepada diri sendiri, daripada membohongi diri maupun pihak lain bahwa kita sudah memberikan maaf. Ingat bahwa tidak memaafkan karena belum siap, belum tentu lebih buruk daripada pura-pura memaafkan karena dituntut untuk memaafkan.

Salah Kaprah 2: Pemaafan menentukan siapa yang benar / salah

Berikutnya seringkali masing-masing pihak menunda untuk meminta atau memberi maaf. Mengapa ini terjadi? Dalam bawah sadar, kita menganggap bahwa meminta maaf berarti mengaku sebagai salah, dan memberikan maaf berarti memosisikan diri sebagai pihak yang benar.

Sebuah konflik akhirnya terus berkepanjangan karena ego masing-masing akan menemukan 1001 alasan yang membenarkan posisi dirinya sendiri, dan tidak mau sepenuh hati mengaku salah. Mungkin yang perlu berubah adalah konsep benar/salah ini, sebab kalau pemaafan terus berkait dengan siapa yang benar/salah, sebuah masalah bisa menjadi semakin panjang umur, sementara si manusia yang bermasalah bisa jadi semakin pendek umur.

Seandainya saja kita bisa merenungkan lebih dalam, sebenarnya dalam setiap konflik tidak ada pihak yang secara absolut benar maupun salah. Biasanya setiap pihak sebenarnya sekadar bertindak berdasarkan “apa yang dirasakan paling benar” menurut dirinya sendiri, dan kebetulan tindakan tersebut berbenturan dengan pihak lain yang bertindak juga sesuai dengan apa yang dirasakan paling benar bagi pihak tersebut. Dengan kata lain, keduanya punya tujuan yang sama. Namun dalam mencapai tujuan tersebut, terjadi konflik yang menyebabkan penderitaan bagi pihak-pihak yang terlibat.

Kalau kita mengerti bahwa tidak ada keabsolutan dalam posisi benar/salah, maka dalam sebuah konflik kita mengerti bahwa setiap pihak punya kontribusinya masing-masing dalam terjadinya derita. Dan dari pengertian ini, meminta maaf bisa lebih mudah dilakukan karena bukan untuk mengaku salah tetapi untuk bertanggung jawab dalam mengakhiri penderitaan bersama sesuai andil masing-masing.

Anehnya, ketika kita dengan tulus meminta maaf atas andil kita sendiri dalam suatu persoalan, seringkali memberikan maaf kepada orang lain juga lebih mudah, karena mengerti bahwa masing-masing pihak punya andil. Inilah praktek pemaafan yang lebih realistis dan bertanggung jawab, ketimbang hanya membuktikan siapa yang benar atau salah.

Latihan untuk Pemaafan yang Sempurna

Sama dengan keterampilan apa pun, pemaafan yang sempurna hanya bisa dicapai dengan latihan, setiap saat, sepanjang hidup kita. Ada tiga bentuk latihan yang memungkinkan kita untuk hidup lebih ikhlas, dan mampu memaafkan dengan tulus dan sepenuh hati.

Pertama-tama, meskipun tidak selalu mudah, belajarlah mengomunikasikan pikiran dan perasaan Anda dengan jujur dan apa adanya. Kita semua punya keinginan mendasar yang ada di dalam jiwa setiap manusia. Keinginan tersebut adalah ingin dipahami, ingin dimengerti. Berlatihlah jujur kepada diri sendiri dan menyampaikannya kepada orang lain.

Sangatlah penting juga melatih kemampuan untuk mendengarkan dan memahami orang lain, tanpa menilai, berkomentar, menghakimi atau menyetujui mereka. Bentuk-bentuk komunikasi yang lebih jujur, baik dalam mengungkap isi hati maupun mendengar tanpa menilai, membantu mencairkan beban hati yang seharusnya dinetralisir terlebih dahulu sebelum kita siap untuk tahap pemaafan.

Kedua, kita perlu belajar menata hati. Apa yang dirasakan dalam hati sebenarnya bagaikan cuaca. Tidak bisa kita ubah, hanya bisa disadari, dirasakan dan dipahami—seperti halnya cuaca, kalau sudah waktunya akan berlalu. Namun kalau cuaca hati tersebut ditolak, dipaksakan untuk berubah, justru malah jadi bertahan lebih lama. Latihlah diri untuk menerima perasaan hati dan kondisi hidup seperti apa adanya.

Ketiga, latih diri untuk lebih hidup nyata, di sini dan saat ini (here and now) ketimbang hidup di pikiran kita yang penuh dengan memori dari masa lalu serta fantasi tentang masa depan. Apa pun yang pernah terjadi yang mungkin menyakitkan hati, sungguh sebenarnya sudah terjadi dan sudah berlalu. Apa pun yang kita takutkan dan kuatirkan di masa depan, tidak bisa kita perbaiki atau tanggulangi karena belum benar-benar terjadi di saat ini.

Satu-satunya pilihan yang nyata, adalah hidup dari momen saat ini sepenuhnya, jujur dengan diri dan hati sendiri, mengizinkan pemaafan muncul dari jiwa yang terdalam, dan bersyukur atas pembelajaran yang bisa kita petik dari hidup ini.

Published, Eve Magazine, Oktober 2007.

1 comment:

  1. Anonymous9:07 PM

    Makasih Reza... Kayaknya aku musti belajar hidup lebih nyata... here and now.
    A million thanks, Inoth

    ReplyDelete