Wednesday, May 07, 2008

Menerima Segala Sesuatu Apa Adanya

Belum lama ini, saya selalu mengirimkan ucapan selamat ulang tahun via sms kepada para teman-teman yang isinya begini: “Selamat ulang tahun, ya. Semoga kamu mencintai dirimu sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.” Apakah ucapan seperti ini seperti menyarankan untuk hidup apatis dan pasif? Ataukah di dalamnya tersembunyi suatu pesan yang bisa kita nikmati?

Sebenarnya, kalau hidup modern ini mau diamati, kita cuma punya satu permasalahan utama. Sesuatu yang begitu lumrah, biasa, bahkan lebih sering tidak kita sadari keberadaannya. Sesuatu yang sudah sedemikian otomatis, tak terhindarkan dan dihadapi setiap hari, sehingga tidak lagi terdeteksi sebagai sesuatu yang perlu diatasi. Sesuatu yang sebenarnya begitu mendasar dalam munculnya berbagai konflik dalam kehidupan pribadi maupun karier kita, bahkan tidak jarang mengakibatkan penyakit.

Hal itu adalah… stres.

Terbiasa Melarikan Diri


Ya, kita tahu tentang kata ‘stres’, mengerti tentang artinya, bahkan akrab dengan rasanya. Namun dalam pengamatan saya berbagi pengalaman dengan para klien terapi, sedikit sekali di antara kita yang tahu dan mampu mengelola stres secara sehat. Dalam percakapan sehari-hari, lazim saya dengar berbagai orang mengatasi stres dengan cara makan enak, berbelanja barang-barang yang diidamkan, menyanyi, berdansa, olahraga, merokok, menikmati alkohol, dll.

Tentunya dari berbagai kegiatan mengatasi stres yang ditulis di atas, tidak ada yang salah bilamana dilakukan pada takaran yang pas. Masalahnya adalah, selain kadang dilakukan berlebihan, semua kegiatan di atas mempunyai suatu kesamaan. Semuanya cenderung dilakukan untuk mengalihkan perhatian kita dari situasi atau permasalahan yang membuat kita mulai stres. Dengan kata lain, semua di atas bersifat “pelarian”, ketimbang menghadapi.

Baru Peduli Ketika Sudah Terlambat


Pertanyaannya sekarang: mengapa kita tidak mau menghadapi masalah atau situasi yang membuat stres? Sementara kita sibuk mengalihkan perhatian dari masalah, sebenarnya stres kita tidak benar-benar sirna, hanya sekadar larut dan tertimbun begitu dalam di gudang jiwa, dan lambat laun gudang tersebut akan penuh dan meledak. Ketika sudah mencapai titik buyar ini, barangkali meledaknya stres tersebut disertai dengan pecahnya konflik dalam hubungan antar pribadi, atau disertai penyakit kronis fisik yang sudah telanjur sulit diobati.

Cukup ironis bahwa terkadang kalau kita mulai ada gejala sakit ringan, seperti batuk, bersin atau demam, maka kita relatif cepat mencari obat, periksa ke dokter atau rumah sakit. Namun, ketika kita stres, terutama ketika memiliki masalah dalam hubungan pribadi kita dengan orang lain, agaknya cenderung ditunggu dulu sampai parah stadium-4 atau kondisi siaga-5, barulah kita sadar dan mulai memerhatikannya.

Saya jadi berpikir, apakah ada hal-hal kecil dan sederhana yang bisa kita pahami, tempuh, dan petik dari sesuatu yang begitu akrab dengan keseharian kita ini? Dalam renungan singkat ini, saya mengundang Anda untuk menelusuri di mana titik lahirnya stres.

Formula Lahirnya Stres & Masalah


Saya ingin menawarkan sebuah formula tentang stres dan masalah, yaitu:

MASALAH = observasi panca indra + evaluasi pikiran + rasa tidak nyaman hati

Contoh pertama, misalnya saya bermasalah terjebak macet dan stres sepanjang jalan karena mengejar waktu untuk rapat bisnis yang penting. Masalah ini punya tiga komponen, dari: (1) panca indra, yang mengobservasi lewat pandangan dan pendengaran bahwa saya sedang terjebak macet, dan beberapa ratus meter ke depan kelihatannya tidak ada tanda-tanda lancarnya lalu lintas, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “ini buruk sekali! Saya bisa terlambat ke rapat bisnis dan ditegur oleh atasan saya”, dan (3) hati, yang takut dimarahi, takut kehilangan kesempatan bisnis, marah dengan kenyataan terjebak macet.

Contoh kedua, misalnya seorang istri yang dimarahi suaminya dalam suatu konflik dan merasa stres. Ini pun punya tiga komponen yaitu, (1) panca indra yang melihat dan mendengar peristiwa konflik dan dimarahi, (2) pikiran, yang mengevaluasi bahwa “oh, ini tidak benar! Saya kan tidak salah kenapa dibentak-bentak seenak hatinya! Saya harus membela diri”, dan (3) hati, yang tidak terima dimarahi, ingin membalas dengan caci maki atau merasa sedih karena selalu disalahkan.

Obat Stres yang Lazim tapi Rapuh

Jadi, semua bentuk masalah, pasti punya tiga komponen ini. Biasanya upaya yang paling lazim adalah kita mengerahkan segenap kemampuan kita untuk berusaha mengubah komponen pertama, yaitu situasi dan kondisi objektif yang dapat kita amati dengan panca indra. Umpama dalam contoh di atas, kita berusaha mengubah situasi macet dengan mencari jalur alternatif, atau menghentikan omelan suami dengan berbalik marah, kabur ke ruangan lain, atau berusaha menjelaskan posisi kita agar dia tidak lagi marah-marah.

Namun tidak semua situasi dan kondisi dapat kita kendalikan sepenuhnya, karena biasanya melibatkan orang lain serta kehendak Tuhan. Bahkan pada saat kita berhasil mengubah situasi dengan daya upaya sekalipun, belum tentu perubahan tersebut akan stabil dan tidak berubah lagi. Mengubah situasi dan kondisi yang kita tidak inginkan, memang merupakan suatu cara untuk menjadi bahagia. Namun kebahagiaan tersebut sangat rapuh, karena tidak selalu dapat dicapai, dan kalaupun dicapai, belum tentu permanen.

Melirik Kebiasaan Menilai dan Mengevaluasi

Di lain sisi, apa yang menjadi evaluasi di pikiran kita, maupun perasaan di hati yang muncul sekejap setelahnya, cenderung dianggap baku, kaku, dan tidak bisa lagi diubah. Memang, perasaan hati akan cenderung mengikuti evaluasi pikiran, atau bagaimana kita melihat dan menilai suatu kondisi. Kalau kita menilai suatu kondisi baik/benar, maka kita cenderung merasa senang dan nyaman. Kalau suatu kondisi kita nilai sebagai buruk/salah, maka kita menderita dan tidak nyaman. Inilah yang saya sebut penjara baik/buruk vs benar/salah.

Coba kita ingat seorang bayi. Jarang sekali sewaktu kecil, seorang bayi mengalami stres dibanding sewaktu dewasa nanti. Cara mereka menghadapi hidup dan dunia ini adalah bermain, bereksplorasi, dan penuh semangat keingintahuan. Tidak lama kemudian, jiwa sang bayi mulai belajar dari keluarga, sekolah dan lingkungan untuk menilai, mengevaluasi, menghakimi mana yang benar atau salah, mana yang baik atau buruk. Kemudian, ia beranjak dewasa, semangat bermain berubah menjadi serba serius, eksplorasi dan rasa ingin tahu menjadi keharusan untuk selalu benar dan baik, dan penuh rasa takut berbuat salah atau dinilai buruk oleh orang lain.

Saya tidak menyangkal bahwa kemampuan membeda-bedakan memang kita butuhkan agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam hidup ini, tapi pada saat yang sama kita sebagai manusia dewasa terlalu sering menyalahgunakan kemampuan evaluasi ini untuk terlalu banyak membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Saya Selalu Merasa Ada Tidak Beres dengan Diri Saya

Efek akhir dari terlalu sering menilai dan mengevaluasi ini adalah kita selalu merasa kurang layak, kurang percaya diri, kurang bahagia, selalu merasa ada yang perlu kita perbaiki di dalam diri kita, penampilan kita, dan hidup kita.

Tanpa kita sadari, perjalanan jiwa kita menuju kedewasaan telah juga ditunggangi oleh ‘virus pikiran’ yang tak pernah puas dengan hidup. Tak peduli kita punya begitu banyak berkah yang pantas disyukuri, semua itu tidak pernah cukup. Dan rasa ketidakcukupan itulah yang menjadi lahan gembur untuk lahirnya… stres.

Tidak ada Penilaian Yang Absolut, Semua itu Relatif

Kalau kita mau menengok sedikit lebih dalam, segala penilaian yang kita buat dalam pikiran tersebutlah yang membuat kita sulit untuk menerima dengan segala sesuatu apa adanya, apalagi berdamai dengan kenyataan.

Mari kita ambil sebuah contoh, misalnya saja perilaku malas. Umumnya, orang yang sedang malas, akan dicap dan dihakimi sebagai pihak yang berkelakuan buruk dan salah. Namun pada situasi di mana seseorang terobsesi dengan bekerja (workaholic), pernahkah kita terpikir bahwa justru bila dia ‘disuntik’ virus malas, itulah yang akan membawa keselarasan yang sehat dalam hidupnya?

Contoh lain, menangis umumnya dinilai sebagai kelemahan yang perlu dihindari, karena menunjukkan tidak kuatnya jiwa, kurang gagah, dsb. Namun dalam ilmu penyembuhan dan terapi, menangis adalah salah satu tanda terbebasnya jiwa dari tekanan hidup yang berkepanjangan, dan juga seringkali merupakan titik awal sembuhnya seseorang, baik dari penyakit fisik maupun masalah kejiwaan.

Untuk setiap sudut pandang tentang apapun, selalu ada sudut pandang sebaliknya yang memiliki keabsahan yang sama. Dengan kata lain, kita juga tidak harus selalu bersikukuh dengan penilaian, sudut pandang, dan evaluasi kita dalam suatu situasi, maupun tentang perilaku orang lain.

Melatih “Tak Menilai” Dalam Keseharian

Bagi saya pribadi, saya ingin tetap bisa menilai segala sesuatu dengan wajar dan pada tempatnya. Namun saya juga menyadari betapa pikiran saya sudah sedemikian lama terjangkit kebiasaan menilai yang berlebihan, sehingga perlu latihan yang sadar, sengaja dan khusus agar tidak selalu bersikukuh dengan penilaian saya.

Pertama, saya sangat mencintai napas saya. Kapan pun kita bernapas dengan sadar dan mengembuskannya dengan lega, rasa di hati selalu terasa lebih cair, lebih bebas, dan lebih lapang. Itu sebabnya dalam situasi yang sulit, atau ketika saya telanjur menilai situasi atau orang lain, saya sengaja menghentikan diri untuk bernapas sejenak. Tidak perlu terlalu lama, cukup hirup napas dengan lembut, rasakan diri Anda, dan embuskan dengan perlahan, “aaah…”. Ulangi beberapa kali hingga terasa lebih tenang.

Anggaplah napas ini sebagai tombol reset pada komputer yang menetralisasi segalanya atau, seperti ungkapan sahabat saya, bagaikan teriakan seorang sutradara film “Cut!” dan semua drama yang dilakoni berhenti. Kembali ke kenyataan.

Kedua, setelah lebih tenang, saya mengingat bahwa apa pun penilaian saya akan situasi atau orang lain saat ini, tentu ada berbagai penilaian dan sudut pandang lain yang sama sahnya, dan belum tentu sudut pandang sayalah yang paling benar. Bahkan ketika saya mengerti sepenuh hati bahwa semua sudut pandang sebenarnya memiliki kebenaran masing-masing, tergantung dari arah mana kita menghadapi masalah, saya tidak punya alasan untuk memaksakan pendapat ataupun membuktikan bahwa sayalah yang paling benar, dan pihak lain yang salah.

Ketiga, saya berusaha mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi, segala sesuatu muncul dengan sempurna sebagaimana yang memang harus terjadi. Secara singkat: apa yang seharusnya terjadi, adalah apa yang sedang terjadi. Barangkali saya tidak selalu langsung mengerti mengapa situasi harus terjadi seperti ini, ataupun langsung mengerti hikmahnya, namun ketika saya siap untuk memahami, saya akan melihat dengan perspektif yang lebih melegakan.

Semuanya Berpulang pada Diri Sendiri

Saya sadar betul bahwa berbagai sudut pandang yang saya cantumkan di atas merupakan sebuah evaluasi pribadi saya terhadap kehidupan. Berbagai persetujuan maupun keberatan yang mungkin saja muncul dalam benak Anda, memiliki kebenaran yang sama sahnya, karena kita sulit sekali hidup tanpa menilai dan berpendapat.

Pada akhirnya, apapun sudut pandang yang kita pilih sebagai kebenaran, tentunya tergantung dari diri kita sendiri. Bagi yang jeli dalam merenungkan formula stres di atas, mereka pun akan menyadari bahwa semua masalah sebenarnya kuncinya pun kembali pada diri kita sendiri, bukan berubahnya situasi atau tergantung orang lain.

Dan mungkin, kalau kita bersama-sama lebih sadar tentang hal ini, maka segala upaya mengatasi kehidupan dan dunia yang semakin cepat, tegang, dan penuh beban ini bisa menjadi perjalanan yang lebih ringan, ikhlas, dan selaras.

Semoga kita semakin mencintai diri kita sendiri apa adanya, dan menerima segala sesuatu apa adanya.

Published, Eve Magazine, November 2007.

2 comments:

  1. Anonymous5:30 PM

    Satu lagi hasil dialog dengan sahabat So In..tanpa label, tanpa nama, membebaskan diri dari penilaian. Saya posting hari ini, di blog www.onlyoneearth.wordpress.com
    boleh saya bagi di sini juga ya...
    eh lupa, saya Chindy seko yk;) mampir ke blogku kalo selo yee, nuwuun
    So In berkata:

    “melepaskan penilaian susahnya minta ampun. kita udah terbiasa memakai label. dan ketika saya pernah menanyakan ke teman amerika saya, Tuhan itu apa? dia menjelaskan panjang lebar tapi saya tidak menangkap intinya. akhirnya dia mengambil sehelai daun, dia cuma bilang kalau kamu sudah memberi label ini “DAUN” maka kamu tidak mau tau daun lebih jauh lagi. kamu tau daun itu kebanyakan warnanya hijau, daun itu bentuknya begini dan begitu. dan akhirinya kamu cuma tau daun sebatas itu. anyway, ada yang mau share pengalaman mengenai Tuhan ga? please bantu beri pencerahan.”
    Chindy:
    Pagi ini, saya benah-benah buku dan iseng buka buku Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis-Harold .Isaacs. Bisa-bisanya pas buka pas ketemu halaman 91, permulaan Bab 5 dengan judul besar NAMA. Diawali dengan kutipan Hsun Tzu (CA.250 Sebelum Masehi)

    “Di dalam pekerjaan Ilmiah tentang Nama-nama, terdapat tiga buah pikiran yang keliru: kekeliruan dalam mengubah nama-nama dengan nama; kekeliruan di dalam mengubah nama-nama dengan keadaan yang sebenarnya: kekeliruan dalam mengubah keadaan yang sebenarnya dengan nama-nama”

    Hmm, lebih lanjut dituliskan kearifan China ada yang menyuarakan” ingin mengoreksi…hubungan antara nama dan keadaan yang sebenarnya, sehingga dengan demikian dapat mengubah seluruh dunia.” Di dalam versi William James, “alam semesta selalu tampak sebagaimana aslinya, seakan-akan merupakan sebuah teka-teki yang membingungkan, di mana kuncinya harus dicari dalam bentuk nama atau kata-kata gambaran yang jelas”

    Sesaat saya mabok habis baca paragraf ini, begitu misteri segala ritme hidup kita, begitu besar keinginan kita untuk menjembatani sejuta tanda tanya yang meraja di hati. Didi Sugandi, salah seorang sahabat terbaik saya pernah bercelutuk,”segala sesuatu ingin kita konkritkan.” Begitu konkrit, final sudah. Misteri usai. Dan saat itu mungkin tanpa sadar kita telah membatasi ruang jumpa dengan Tuhan, ruang sentuh dengan Cinta. Ibarat seekor kutu loncat yang diletakkan dalam sebuah kotak korek api, sepengetahuannya tinggi lompatan yang bisa dijangkaunya adalah setinggi ruang kotak korek api. Ketika dikeluarkan dari kotak tersebut dia tetap melompat setinggi ukuran kotak. Tak terpikir olehnya dia bisa melompat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.

    Mungkin demikianlah apa yang terjadi pada elastisitas nalar dan intuisi bila segala sesuatu dipaksa harus konkrit. Tuhan, Cinta, dan Manusia adalah label yang sebenar-benarnya belum selesai dan menurut saya biarkanlah tak kenal selesai sebagai tanda tanya besar di hati kita masing-masing. Dengan begitu mungkin kita akan bisa melihat Tuhan, sebanyak laksa entitas yang eksis dan tak eksis. Bisa mencicip cita rasa Cinta sebanyak pori-pori tubuh. Dan bisa memahami manusia dalam ruang hati yang tak berbatas, tak kenal tepi.

    Ijinkan saya bersuara bahwa ketika hati saya benar-benar menyapa hati Papa, menyapa hati sang ulat saat itulah saya diberi kesempatan bersua dengan Tuhan dan mencicip getar Cinta. Cinta adalah salah satu wajah Tuhan dan Tuhan sedikit konkrit dalam wajah Cinta

    ps. So In maap ye, malah jadi mubeng-mubeng ria, lagi mabok soale…hehe…

    ReplyDelete
  2. Anonymous6:06 PM

    Oia Reza, tambah sedikit lagi ya, obrolan dengan So In bermula dari tulisan pengalaman saya mencoba mengenal arti apa adanya.

    Emang kata ego sering banget kita sebut-sebut, tapi ujud riil seriil2nya seperti apa kita masih kabur…mungkin karena kita juga masih kabur dengan siapa kita ya…ego yang kasar dapat dengan mudah kita kenali namun ego yang halus, sulit Nara tapi bukan berarti tak bisa. Mungkin karena kita masih ada pemisahan, pembedaan, masih kecekok dualitas, siapa loe siapa gue. loe ya loe, gue ya gue. menurutku ini adalah salah satu bentuk salah kaprah kita pada wilayah otoritas diri yang notabene menghambat kita melihat segala sesuatu apa adanya. Ego adalah aku yang palsu dan melihat dengan ego menutup keadaan azali segala sesuatu. Lagi-lagi perjalanan mengenal ego adalah perjalanan mengenal aku yang sebenar-benarnya.

    salah satu cara yang cukup membantu mungkin adalah dengan belajar melepaskan penilaian. bebas penilaian, akan bebas label terhadap siapa pun dan apa pun. dengan demikian sikap bisa lebih luwes, apa adanya. menerima realitas apa pun apa adanya. agak bingung ya. mungkin dengan ilustrasi dapat sedikit membantu. Ketika menunggu bus dari klaten-yogya saya berlindung di bawah pohon kersen. iseng saya memegang dahannya, yang ternyata setelah saya ikuti ke atas, ternyata itu adalah ekor kadal. kaget bukan main, pegangan saya lepas dan melompat menjauhi dahan tersebut. gradakan setengah mati, gludag-gludag g karuan. Jantung berpacu dengan sangat cepat. Namun seketika itu saya berpikir, mengapa saya demikian takut pada kadal tsb? Padahal kadal itu tetap ayem kalem di tempatnya. tidak ketakutan atau lari. Dia tetap menikmati rehatnya. Persepsi saya tentang kadal itulah yang membuat jarak, yang membentang takut dan curiga. Kita memang kadung dibentuk oleh persepsi yang menutup realitas objek yang sebenar-benarnya. Kadal yang tidak sedikit pun curiga apalagi takut pada saya namun saya takuti dan curigai setengah mati. Hingga saya tidak bisa menerima keberadaaan kadal apa adanya.

    salam
    Chindy

    ReplyDelete