Thursday, May 08, 2008

Lima Jendela “Rumah Sang Lega”

Hidup ini cair, ujar seorang sahabat saya. Segala situasi dan perasaan hati kita terus berubah-ubah, dan di saat kita punya keinginan yang berbeda dengan kenyataan, tak bisa terhindar lahirlah rasa terbebani.

Rasa terbebani ini bisa saja muncul dari hubungan pribadi antara sahabat, orang tua, anak, suami-istri, dan sepasang kekasih. Rasa ini juga bisa muncul akibat permasalahan di tempat kerja, maupun masalah terkait uang. Bahkan ketika kesehatan kita sedang tidak optimal, beban hati pun muncul karena mungkin tidur terganggu, tubuh terasa letih terus, dsb.

Dalam situasi hidup yang seperti ini, tidaklah mengherankan seandainya kita mendamba suatu rasa yang disebut ‘lega’. Hidup ini tak lepas dari tantangan dan permasalahan yang datang dan pergi. Seandainya saja masalah hanya datang satu demi satu, mungkin kita bisa menjalaninya dengan lebih ringan. Namun sayangnya tidak demikian.

Pada kesempatan ini saya ingin mengajak Anda untuk menyadari kembali bahwa ‘kelegaan’ adalah suatu rasa yang kita semua ingin capai. Kita pun bisa belajar dari prinsip alam untuk bergerak menuju lega.

Lihatlah langit di atas kepala Anda. Perhatikan bagaimana alam bergerak dari satu cuaca ke cuaca lainnya. Barangkali Anda lebih suka kalau langit cerah ketimbang mendung, atau udara sejuk ketimbang panas? Atau Anda lebih suka hujan rintik-rintik ketimbang hujan deras berangin?

Guru saya dari Jepang pernah bercerita, bahwa dalam bahasa Jepang, ada kemiripan antara cuaca dengan emosi. Cuaca dalam bahasa Jepang disebut “tenki” yang artinya energi yang bergerak di langit, sementara emosi dalam bahasa Jepang disebut “kimochi” yang artinya energi yang bergerak dalam diri.

Jadi cuaca dan emosi sebenarnya tidak berbeda, karena sama-sama merupakan energi yang bergerak. Atau dengan kata lain, emosi sebenarnya merupakan “cuaca hati”.

Namun, entah mengapa, kita jarang mempermasalahkan cuaca di langit ketimbang mempermasalahkan cuaca di hati. Mungkin karena kita sudah menerima bahwa cuaca di langit hanya bisa diamati, disadari, ditunggu dan dinikmati.

Sementara di lain pihak, kita begitu sibuk berusaha mengendalikan dan meredam emosi. Mungkin karena kita berpikir bahwa emosi itu bisa diatur-atur, disetel bagai mesin, tanpa sadar bahwa segala upaya untuk mengendalikan emosi sebenarnya sama sia-sianya dengan berusaha mengendalikan cuaca di langit.

Bahkan kita akhirnya melupakan prinsip emas “what you resist, persists…” yang artinya apa yang kita tolak, berusaha ubah atau hilangkan, justru akan menjadi awet. Lalu bagaimana caranya kita bisa mencapai rasa lega, kalau bukan dengan upaya?

Izinkan saya menawarkan lima buah jendela. Kelimanya merupakan jalan masuk menuju “Rumah Sang Lega”. Anda tidak bisa memasukinya dengan upaya, bahkan satu-satunya jalan masuk adalah dengan menghentikan segala upaya, dan cukup dengan menyadarinya. Jendela-jendela ini saya sebut “5A” menuju lega.

Awareness…
Artinya ‘sadar dan tahu’ secara jernih dan mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana rasanya dalam hati, buah pikir apa saja yang terlintas dan mendasari beban kita. Biasanya kita hanya ‘sadar dan tahu’ tentang situasi eksternal yang sedang kita permasalahan, atau sekadar memerhatikan perilaku orang lain yang tidak berkenan, atau cuma berupaya untuk mencapai perubahan yang kita inginkan tanpa terlebih dahulu sadar diri dan melangkah ke dalam diri.

Acknowledge…

Artinya mengenali dan mengakui bahwa kondisi hati kita memang dalam keadaan yang terbebani, juga mengakui bahwa kita bertanggung jawab penuh atas pilihan hidup dan kebahagiaan kita masing-masing. Kita memahami bahwa setiap pihak yang terlibat dalam permasalahan ini tentu berusaha yang terbaik menurut persepsinya masing-masing, dan dalam upaya terbaik tersebut terkadang terjadi benturan-benturan yang membuat hati tak lega, tapi sesungguhnya tidak disengaja untuk demikian.

Allow…
Artinya mengizinkan diri sendiri untuk meresapi perasaan hati kita pada saat itu, apa adanya. Begitu banyak di antara kita mengalami frustrasi berusaha ‘meredam’ emosi, tanpa mengerti aturan emas bahwa untuk setiap pikiran dan perasaan yang kita tolak, ubah, maupun sirnakan melalui upaya, di situ pulalah pikiran dan perasaan tersebut menjadi ‘awet’. Padahal mengizinkan pikiran dan perasaan kita untuk diamati, disadari dan dirasakan apa adanya justru memperlancar proses emosi tersebut menuju tuntas.

Accept…
Artinya belajar ikhlas untuk menerima dan mencintai ‘kenyataan” saat ini apa adanya. Ingat bahwa setiap keinginan kita bertempur dengan kenyataan, Sang Keinginan selalu kalah, tidak pernah menang. Ingat bahwa kalau hidup ini cair, tugas kita adalah mengalir. Mengalir berarti mengerti kapan saatnya menghentikan upaya melawan kenyataan, dan pasrah pada arus kehidupan.

Aaah…
Artinya bernapas lega, merasakan bahwa setiap udara yang keluar dan masuk dari tubuh kita menandakan hidup ini baru di setiap napas. Napas adalah jembatan antara tubuh, pikiran, perasaan dan jiwa. Ketika menghadapi suatu permasalahan atau beban, kita lebih suka berpikir, berspekulasi, membayangkan yang belum terjadi, atau menyesali yang sudah berlalu. Bernapas dengan sadar, membawa kita pulang ke sini-kini-gini (here, now, as it is). Cobalah, tidak ada salahnya berhenti dari ketergesaan kita sehari-hari untuk sejenak bernapas lega. Perhatikan bahwa tepat di saat bernapas tersebut, roda berpikir kita pun berhenti sejenak… inilah saatnya mengistirahatkan pikiran.

Yang ajaib tentang kelima jendela ini, tidak jadi masalah dari mana Anda masuk, tapi ketika salah satu jendela berhasil Anda lalui, maka empat jendela lainnya akan otomatis terbuka dan mengizinkan cahayanya untuk menyelinap ke hati Anda.

Dengan kata lain, ketika Anda merasa terbebani dan mendambakan kelegaan, berhentilah sejenak. Hentikan segala upaya untuk meredam atau mengendalikan perasaan hati, dan pilih salah satu jendela yang akan mengantarkan Anda pada rasa lapang.

Ingat hidup itu cair, tugas kita adalah mengalir. Selamat meresapi kelegaan, selamat bertumbuh dalam kelapangan.

Published, EVE Magazine, Mei 2008.

No comments:

Post a Comment